Jauh setelah pasangan Kham Vred itu menggegerkan jagat Lumiere, Tita masih diam di sana meratapi nasib. Kariernya kembali terancam gara-gara ulah pasangan 537 itu. Kalau Erwan sampai tahu kejadian ini, habislah Tita. Kalau Erwan sampai menghukum Tita dengan menyuruhnya mengurus tiga anak duda itu lagi, mampuslah Tita!
"Gagal lagi, dong!" gerutu Tita entah untuk yang ke berapa kalinya.
Sudah hampir dua jam Tita terus mengeluh, dan selama itu juga ia menggilas habis comring, baso aci, keripik setãn, basreng, cireng, tareng, koreng (eh?), dan entah penganan khas Garut apa lagi yang lainnya. Semua itu milik Mia, oleh-oleh yang Tita bawakan ketika pulang kampung dua bulan lalu, tapi yang akhirnya ia lumat habis sendiri. Mia cuek saja, nanti juga bisa beli lagi. Daripada Tita cerewet tak berujung, mending disumpal dengan semua penganan garing nan pedas itu. Paling-paling juga besok anak ini radang tenggorokan.
"Parah bener ya mereka." Untung saja Mia tidak melihat kejadiannya langsung, bisa-bisa ia tergelak di tempat melihat bokòng Tita yang tidak bisa ditahan ingin berjoget baby shark du du du du.
"Memang mereka kacau." Elle membenarkan. Sudah lama tidak menangani klien Indonesia, langsung disuguhi yang modelan begitu, tambah malas saja Elle menetap di sini.
"Abislah Tita, Mbak. Si Vina itu udah kayak mau nelen aku hidup-hidup," rengek Tita sambil terus menggilas penganan yang menimbulkan bunyi sangat berisik.
"Tenang, Ta,” hibur Mia. “Kan bukan salah kamu. Memang kayaknya hubungan mereka ada yang enggak beres."
Tita menggeleng kuat-kuat sambil mengentakkan kaki kesal. "Baru juga selesai satu masalah, ada lagi sekarang. Bengek Tita lama-lama kalo gini caranya."
Elle yang duduk di sebelah Tita, mengusap punggung gadis itu. Iba juga Elle padanya. Ia tahu sesulit apa perjuangan Tita sejak pertama mereka mulai bekerja bersama. "Udah enggak usah dipikirin."
Merasakan perhatian tulus Elle, Tita langsung meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan jemari berbalut bumbu micin dan bubuk cabai yang sudah lengket. "Mbak, makasih banget ya udah mau bantuin Tita."
"Never mind, Ta. If you need something, just call me, okay?"
Kini Tita merangsek maju dan memeluk Elle. Menenggelamkan wajahnya yang penuh bumbu micin dan bubuk cabai di baju wanita itu. "Sayang banget sama Mbak Elle!"
Elle tahu bajunya kotor, tapi ia tabah. Elle hanya menepuk punggung Tita dengan sabar. "Kamu ini antara nangis sama ketawa cepat banget gantinya."
"Kan harus seterong! Udah, ah!” Tiba-tiba saja semangatnya kembali dan Tita melonjak dari sofa. “Tita pergi dulu, masih banyak kerjaan menanti."
Tita tidak bohong, memang banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Urusannya sudah tertunda gara-gara pasangan Kham Vred yang membuat suasana hatinya ambyar. Selesai mengerjakan berbagai urusannya yang lain, Tita kembali ke Luminous, tepatnya ruko di seberang kantornya. Mencari ketenangan sambil menikmati secangkir kopi ditemani alunan musik mendayu pada jam-jam sore yang membangkitkan kantuk sangatlah menyenangkan.
Tadinya Tita ingin duduk sendiri saja, tapi ketika mencari meja setelah memesan kopi ia merasa tertarik menghampiri Alby yang tengah duduk di salah satu meja pengunjung, terlihat sibuk mengerjakan sesuatu. Pemandangan seperti ini baru pertama kalinya Tita lihat. Biasanya, Alby selalu sibuk di meja kasir, melayani pesanan, atau membersihkan area Delight.
"Hai!” Tita menyapa ceria sambil menepuk bahu Alby. “Aku boleh duduk sini?"
Pemuda yang tengah tertunduk menekuni buku tebal di atas meja sontak terkejut. "Eh, Kak Tita? Mau pesan?"
"Bukan. Udah tadi sama temen kamu."
"Oh …." Alby mengangguk paham.
"Aku boleh enggak duduk di sini?"
"Boleh, boleh, Kak!" Refleks Alby merapikan meja yang penuh bertebaran dengan barang-barangnya.
"Kamu lagi ngapain?"
Alby meringis malu. "Lagi bikin tugas, Kak."
Tita mengerjap bingung. Matanya jelas sekali menyiratkan pertanyaan.
Alby paham arti kebingungan Tita. Ia tersenyum kecil lalu menjawab malu. "Saya masih kuliah, Kak."
"Oh, ya? Kirain udah lulus." Keterkejutan Tita sungguh tidak dibuat-buat.
Tanpa sadar Alby menggaruk telinga. Kebiasaannya saat merasa gugup. "Harusnya memang begitu, Kak."
"Telat lulus?"
"Telat masuk, Kak."
"Kenapa?"
"Kumpulin biaya dulu supaya bisa kuliah, Kak." Alby sangat malu mengakui hal ini di hadapan gadis yang ia kagumi. Inginnya memberi kesan hebat, yang ada malah payah.
"Kok, malu gitu?"
"Ya …, kadang malu, Kak. Orang suka nanya, umur 24 kok baru masuk kuliah."
"Ngapain harus malu? Kan telatnya bukan karena kamu males," ujar Tita tidak setuju. Alih-alih menganggap remeh, Tita justru salut pada orang-orang seperti Alby. Omong-omong Tita akhirnya tahu kalau pemuda ini tiga tahun lebih muda darinya. Pantas saja wajahnya begitu imut dan menggemaskan.
"Iya, Kak."
"Cerita dong!" pinta Tita penasaran.
"Cerita soal apa?"
"Cerita soal kamu aja. Gimana kuliah sambil kerja."
Alby terdiam, terlihat ragu.
“Eh, maaf maaf! Kamu sibuk ya? Nanti aja deh ceritanya.”
“Bukan, Kak. Saya cuma malu mau ceritanya.”
“Jangan malu!”
Melihat ketulusan Tita, Alby akhirnya berani bercerita. "Dulu saya lulus sekolah langsung kerja. Jadi pegawai toko pernah, kerja di swalayan pernah, jadi sales pernah. Baru tahun kemarin akhirnya terkumpul biaya untuk daftar kuliah. Awalnya saya masih kuliah sambil jadi sales, tapi keteteran. Empat bulan lalu dipertemukan sama pekerjaan ini, dan bersyukur sekali bosnya pengertian. Jam kerja saya boleh menyesuaikan dengan jam kuliah. Pokoknya kalau ada kelas, saya ke kampus, selesai kelas balik ke sini. Untung kampusnya dekat."
"Aku juga dulu kuliah sambil kerja. Sebenernya enggak ada uang buat kuliah juga, tapi Tuhan baik sama aku. Ada aja jalannya. Tanteku mau bantu uang masuknya, tapi buat uang semesteran aku harus cari sendiri. Itu juga enggak gratis sih, tapi digantinya boleh cicil pelan-pelan." Tanpa sadar Tita menceritakan hal yang biasanya malas ia bahas dengan orang lain, karena tidak semua orang bisa mengerti perjuangan yang ia alami. Namun, dengan Alby rasanya senasib. Cerita itu mengalir dengan mudahnya.
"Pantas Kak Tita kelihatan sekali pekerja keras,” puji Alby. “Ternyata memang terbiasa kerja keras."
Tita terkekeh geli. "Baru kamu loh orang yang bilang aku pekerja keras. Biasanya aku dikira orang yang cuma tau seneng-seneng doang karena enggak pernah keliatan susah."
Alby memandangi Tita cukup lama sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Yang enggak pernah keliatan susah malah biasanya memendam banyak beban, tapi mereka pandai menutupinya."
"Kamu ini bijak banget, sih! Yakin baru umur 24?" tanya Tita tidak percaya. Bahkan kadar kebijaksanaan Alby ini melampaui deretan pria-pria yang Tita kenal, apalagi barisan mantannya.
"Kak Tita mau lihat KTP saya?" tanya Alby serius.
"Enggak usah gitu juga, sih!" tolak Tita cepat ketika melihat Alby mulai mencari dompetnya di tas. "Cuma heran aja. Jarang banget ketemu cowok yang dewasa. Biasanya udah tua juga kelakuan masih kayak bocah."
"Umur memang bukan jaminan, Kak."
"Andai dari sekian banyak mantan aku ada satu aja yang kayak kamu, mungkin aku enggak akan putus terus-terusan," gumam Tita penuh harap.
"Kak Tita putus terus tiap pacaran?"
"Hm.” Tita mengangguk lesu. “Sebelum lima bulan pasti putus. Udah kayak angka keramat aja itu."
"Kak Tita sudah berapa kali pacaran memangnya?"
"31 kali."
"Hah?" Alby tidak berhasil menutupi keterkejutan di wajahnya. Maklum, pemuda polos yang selalu jujur macam Alby ini tidak mudah berpura-pura.
"Kaget ya?" Tita tertawa geli. "Aku bukan player kok, enggak niat jadi player juga. Tapi selalu gitu ending-nya." Meski Tita terkesan cuek, sesungguhnya ia sedih setiap kali hubungan percintaannya kandas. Tanya saja pada Gin kalau tidak percaya! Buktinya Gin selalu membelikan sekantong cokelat untuk Tita setiap kali gadis itu putus. "Kamu sendiri udah berapa kali pacaran?"
"Baru dua kali, Kak."
Entah siapa yang harus malu di sini. Apakah Alby yang seperti pemain cupu karena baru pacaran dua kali, ataukah justru Tita yang terkesan seperti player sejati.
"Masih?"
Alby menggeleng kecil. "Sekarang enggak, Kak. Mau kerja sama kuliah dulu saja. Biar enggak diremehkan lagi."
"Kamu diremehin?" Kata terakhir yang Alby ucapkan membuat Tita merasa terganggu.
Namun, lagi-lagi Alby hanya tersenyum sabar. "Saya pertama pacaran waktu kelas 11, kami lanjut terus sampai lulus. Waktu tahu saya enggak kuliah, keluarganya menyuruh kami putus. Sekali lagi saya pacaran sama teman kerja. Kami kenal waktu sama-sama jadi pegawai di swalayan. Pacaran hampir empat tahun. Waktu lihat hidup saya begini-begini saja, enggak ada peningkatan, dia memutuskan meninggalkan saya."
"Duh, kok nyesek sih," gumam Tita sedih. Andai dia punya pacar sebaik Alby ini, rasanya tidak mungkin Tita tinggalkan.
"Enggak apa, Kak. Sudah lewat."
"Kirain kisah cinta aku tuh udah paling nyesek, taunya enggak ada apa-apanya dibanding kamu."
"Kalau Kak Tita memang kenapa bisa putus terus?" Melihat Tita yang mau banyak mengobrol, Alby mulai berani bertanya. Hal-hal yang selama ini hanya berani ia impikan, kini bisa Alby lakukan. Mengobrol dengan gadis yang dikagumi rasanya sangat menyenangkan.
Tita mengerucutkan bibir. Mencoba mengingat-ingat apa yang salah dari hubungannya selama ini. Akhirnya, ia hanya menggeleng pasrah. "Enggak ngerti aku juga. Biasanya mereka pada komplain karena aku kelewat sibuk. Enggak punya waktu buat mereka. Taulah ya, namanya wedding-an kan justru banyaknya weekend. Jarang banget yang nikah di weekday. Nah, mereka ngeluh karena weekend aku enggak pernah ada waktu. Enggak ngerti lagi aku gimana jelasinnya."
"Aneh juga. Sudah tahu profesi Kak Tita, kok malah menuntut yang enggak masuk akal.”
"Nah, itu!" Merasa dibela, Tita senang sekali. Akhirnya, ada juga yang bisa mengerti dirinya.
"Kalau saya punya pacar sehebat Kak Tita, saya enggak akan komplain sama sekali. Malah saya akan dukung Kak Tita." Entah keberanian dari mana yang membuat Alby bisa mengatakan hal semacam ini. Setelahnya, ia cemas sendiri. Khawatir Tita merasa tidak nyaman.
Namun, balasan gadis itu di luar dugaan. "Sayang kamu bukan pacar aku."
"Mungkin suatu saat.” Dan lagi-lagi, Alby menyuarakan harapan yang selama ini hanya berani ia angankan. “Hidup manusia tidak ada yang tahu, Kak. Kita hanya bisa berencana, yang menentukan Tuhan."