Bab 5

716 Kata
Bibir Roby kembali menekan bibir Lidia dengan intensitas yang membuat napasnya tercekat. Hangatnya napas pria itu terasa menyapu kulit pipi Lidia setiap kali mereka berhenti sejenak untuk menarik udara, hanya untuk kembali menyatu dalam ciuman yang lebih dalam. Lidah Roby menyapu lembut bibir bawahnya sebelum melesap masuk, mengeksplorasi dengan gerakan teratur yang membuat lutut Lidia sedikit bergetar. Lidia membalasnya dengan tangan yang semakin erat melingkar di leher Roby, jemarinya menyentuh rambut di tengkuk pria itu, merasakan sensasi hangat kulitnya. Kemeja Roby yang hanya terkancing tiga bagian atasnya membuat d**a bidangnya sedikit terbuka, menampakkan kulit kecokelatan yang mengundang pandangan. Ciuman itu semakin liar. Roby mulai meninggalkan bibirnya, bergeser menelusuri rahang Lidia, menurunkan ciumannya ke area leher. Desahan lirih lolos dari bibir Lidia ketika bibir Roby menyentuh kulit sensitif di bawah telinganya, lalu bergerak ke tulang selangka. Aroma parfumnya bercampur dengan aroma tubuh Roby, membuat pikirannya sulit fokus. Bahu Lidia yang terekspos karena gaun berpotongan off-shoulder menjadi target berikutnya. Bibir Roby mendarat di sana, memberi jejak-jejak ciuman singkat namun membakar. Jemari Lidia, seakan kehilangan kendali, mulai bergerak membuka satu demi satu kancing kemeja Roby. Saat kancing terakhir terlepas, pemandangan d**a bidang Roby kini benar-benar terbuka di hadapannya. Ia mengusap kulit perut Roby, merasakan setiap guratan otot yang menegang di bawah sentuhannya, lalu naik ke dadanya. Namun, tepat saat jemarinya menyentuh dad4 itu, ciuman panas mereka yang tadi begitu intens akhirnya terhenti mendadak ketika Roby menarik diri. Gerakan itu begitu cepat, seolah ia sadar bahwa dirinya sudah melangkah terlalu jauh. Lidia masih terengah, matanya sedikit membulat, napasnya terasa berat di sela bibir yang masih basah. Roby berjalan mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak antaranya dan Lidia. Ia kemudian meraih kemejanya dan mulai mengancingkannya kembali, satu per satu, seolah menutup kembali celah yang barusan terbuka di antara mereka. “Cukup,” ucapnya singkat, suaranya tenang tapi tegas. Ekspresi Roby kembali seperti biasa — dingin, tegas, tanpa sedikit pun sisa hangat dari sentuhan yang baru saja mereka bagi. Tatapannya menusuk, namun tidak meledak. Justru nada suaranya terdengar datar, terlalu datar untuk situasi yang barusan terjadi. “Saya hanya menganggap kamu sebagai sekretaris saya, Lidia,” ucapnya perlahan namun tegas, seolah setiap kata itu dipilih dengan hati-hati agar tidak memberi ruang untuk salah paham. “Tidak lebih.” Lidia terdiam. Matanya masih menatap pria itu, mencoba memahami perubahan sikapnya yang drastis. Ia ingin percaya bahwa Roby hanya sedang menutupi perasaannya, tapi ucapannya barusan terasa seperti dinding tebal yang langsung menutup semua jalan. “Sampai kapan pun, hubungan kita hanya sebatas atasan dan sekretaris,” lanjut Roby, matanya tidak bergeser sedikit pun dari tatapan Lidia. “Dan saya harap kamu tetap mengingat batas itu.” Lidia menelan ludah, dadanya terasa sesak. “Tapi… bukankah tadi…” Ia menggantungkan kalimatnya, suaranya lirih. Roby memotong dengan cepat. “Tadi itu hanya respon normal dari seorang laki-laki Lidia.” Nada bicaranya tetap datar, tapi Lidia bisa mendengar ketegasan yang tidak memberi ruang untuk perdebatan. “Saya punya hormon, saya punya hasrat. Jadi wajar kalau saya membalas ciuman ketika tiba-tiba dicium oleh seorang wanita.” Mata Lidia sedikit membulat, bibirnya terbuka namun tak ada kata yang keluar. Penjelasan Roby terdengar seperti tamparan yang dingin, menyingkirkan semua bayangan indah yang sempat ia rasakan beberapa menit lalu. Roby melangkah mendekat, namun bukan untuk menyentuhnya. Ia hanya berdiri cukup dekat untuk memastikan Lidia mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Lupakan yang terjadi malam ini. Anggap saja tidak pernah terjadi.” Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa detik. Lidia bisa mendengar detak jam di dinding, begitu jelas di tengah suasana yang tiba-tiba dingin itu. Roby menarik napas pelan sebelum melanjutkan, “Saya tidak ingin mencari sekretaris baru, Lidia. Saya sudah sangat puas dengan kinerja kamu. Jadi tolong, tetap profesional. Jangan bicarakan lagi soal… perasaan kamu.” Ada jeda panjang setelah kalimat itu. Tatapan Roby tetap dingin, namun Lidia bisa merasakan ada sesuatu yang ia sembunyikan jauh di baliknya. Lidia akhirnya mengangguk pelan. “Baik… saya mengerti,” ucapnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan sorot matanya yang mulai meredup. Roby tidak menambahkan apa pun. Ia hanya merapikan kemejanya yang nampak kusut akibat kejadian beberapa saat yang lalu, kemudian ia berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan tersebut tanpa menoleh lagi. Langkah kakinya terdengar berat, tapi mantap, sementara Lidia tetap berdiri di tempat, membiarkan keheningan semakin menelan dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN