Malam itu, suasana apartemen yang dihuni Lidia terasa hangat sekaligus menenangkan. Lampu ruang tengah menyala redup, memantulkan warna keemasan di dinding krem yang sederhana. Di meja makan kecil yang sekaligus menjadi area kerja, dua cangkir teh chamomile mengepulkan aroma menenangkan.
Apartemen ini terletak di lantai delapan sebuah gedung hunian yang cukup dekat dengan pusat kota, hanya butuh lima belas menit berjalan kaki menuju gedung Darma Corps—kantor tempat Lidia bekerja. Unitnya tidak terlalu besar, tapi tata letaknya rapi. Ada ruang tamu kecil dengan sofa abu-abu lembut, dapur mungil yang tertata bersih, dan dua kamar tidur.
Di salah satu kamar, Amanda Rinjani—sahabat satu apartemen Lidia—tinggal sejak dua tahun lalu. Amanda adalah perempuan asli Lombok yang merantau ke Jakarta dengan semangat membara. Kulitnya sawo matang, rambut hitam legam tergerai, dan sorot matanya selalu hidup, seperti orang yang siap berdebat kapan saja. Lidia mengenalnya saat mereka sama-sama masih staf di divisi administrasi Darma Corps. Amanda terkenal vokal, tidak segan menyuarakan pendapatnya bahkan di depan manajemen. Sifat itu pula yang akhirnya membawanya memutuskan keluar dan menerima tawaran bekerja di sebuah stasiun televisi swasta sebagai wartawan lapangan.
Lidia sendiri bertahan di Darma Corps. Berawal dari staf administrasi biasa, ia bekerja dengan penuh disiplin, selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Ketekunannya diperhatikan langsung oleh Roby Darmawan, CEO muda perusahaan itu, hingga suatu hari ia dipanggil ke ruangannya dan mendapat tawaran menjadi sekretaris pribadi. Tawaran yang tidak pernah ia sangka akan datang—meskipun diam-diam, menjadi dekat dengan Roby memang adalah keinginannya sejak awal.
Malam ini, Amanda duduk bersila di sofa dengan wajah penuh rasa ingin tahu yang bercampur geli. Di hadapannya, Lidia duduk dengan kaki terlipat, memeluk bantal kecil, wajahnya sedikit memerah.
"Jadi… lo beneran bilang semua itu ke dia?" Amanda bertanya sambil memiringkan kepala, bibirnya sudah siap untuk menertawakan jawaban yang akan keluar.
Lidia menghela napas panjang. "Iya… gue bilang, Man. Gue udah nggak tahan lagi nyimpen semuanya sendirian."
Amanda langsung menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa yang nyaris meledak. "Astaga, Lid… Lo itu gila atau nekat sih ? Itu Roby Darmawan, CEO yang nggak pernah kelihatan dekat sama perempuan manapun! Dan Lo… lo malah dengan beraninya langsung nyatain perasaan."
"Terserah lo mau ngatain gue gimana," sahut Lidia, suaranya terdengar campuran antara malu dan pasrah. "Gue cuma… nggak bisa diem waktu lihat dia ngobrol sama Riana Yasinta itu."
Amanda mengerjap, mencoba mengingat. "Riana Yasinta… yang anaknya klien dari Singapura itu, kan? Yang cantik, rambutnya warna coklat gelap dan panjang sepinggang itu, terus gayanya classy banget kayak model majalah?"
"Iya." Lidia mengangguk pelan, matanya menatap kosong ke arah cangkir teh di meja. "Roby biasanya nggak pernah bertahan ngobrol lama sama perempuan. Paling cuma beberapa menit, habis itu langsung alih fokus. Tapi tadi di tempat pesta… nggak tahu kenapa dia ngobrol sama Riana itu dengan santainya, kayak nggak ada beban."
Amanda menyandarkan punggung ke sofa, lalu menatap Lidia dengan sorot mata yang setengah menggoda, setengah iba. "Jadi lo cemburu berat sampai akhirnya ngungkapin perasaan lo terus… nyium dia tanpa mikir panjang?"
Lidia menutup wajah dengan kedua tangan, merasakan panas di area tersebut karena malu. "Jangan diulang, Man… Sumpah gue malu banget kalau nginget lagi kejadian tadi."
"Justru gue harus ngulang terus, biar lo sadar betapa gilanya lo!" Amanda terkekeh, lalu mencondongkan tubuh. "Gimana reaksi dia pas lo nyium?"
"Awalnya… dia bales." Lidia menelan ludah. Ada kilasan rasa manis yang muncul di ingatannya, walaupun cepat saja berubah menjadi pahit. "Tapi habis itu… dia narik diri. Ngejauh. Dan… dia bilang kalau dia cuma anggap gue sekretarisnya. Nggak lebih."
Amanda terdiam sejenak, ekspresinya berubah serius. "Oke… itu nyakitin."
Lidia mengangguk perlahan, seolah kata-kata itu adalah beban yang masih terasa di dadanya. "Dia juga bilang kalau tadi itu cuma respon seorang pria normal. Dia punya hormon, punya hasrat. Jadi ya… wajar kalau dia ngerespon ciuman gue. Tapi nggak ada artinya."
Amanda menghela napas panjang. "Lid… lo udah tahu kan resikonya dari awal? Dari pertama kali lo bilang ke gue kalau lo suka sama dia, gue udah bilang… Pak Roby bukan tipe orang yang gampang buka hati."
"Gue tahu, Man. Tapi gue pikir… kalau selalu ada di dekat dia dalam waktu yang cukup lama, dia bakal ngelihat gue lebih dari sekadar sekretaris."
Amanda tersenyum miris. "Sayangnya, realita nggak selalu ngikutin skenario di kepala kita."
Suasana hening sesaat. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan samar bunyi kendaraan dari jalanan jauh di bawah. Lidia memeluk bantalnya lebih erat, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk.
Amanda mencondongkan tubuh lagi, kali ini dengan nada suara lebih lembut. "Jadi… lo mau gimana sekarang? Tetep bertahan dan pura-pura nggak terjadi apa-apa, atau… mundur?"
Lidia menghela napas, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan langit malam Jakarta. "Gue nggak tahu, Man. Gue… nggak siap kehilangan pekerjaan ini. Dan gue juga… nggak mau kehilangan dia, meskipun cuma sebagai atasan."
Amanda menatap sahabatnya lama-lama, lalu meraih cangkir teh miliknya. "Kalau gitu, siap-siap aja. Lo harus jauh lebih kuat dari ini, Lid. Karena bertahan di samping dia… bukan Cuma buat lo harus ekstra sabar, tapi harus mengontrol perasaan lo sendiri. Takutnya nanti malah bikin hati lo capek sendiri."
Lidia hanya bisa tersenyum tipis. Kata-kata Amanda benar, tapi hatinya tetap menolak menyerah.