Bab 7

1084 Kata
Pagi itu, Lidia melangkah keluar dari apartemen dengan langkah mantap, walau dalam kepalanya masih terus berputar kejadian semalam di rumah Roby. Udara pagi Jakarta yang bercampur bau kopi dari kafe di lantai bawah apartemen membuat pikirannya sedikit tenang. Ia menuruni tangga menuju parkiran basement, masuk ke mobilnya, lalu memacu kendaraan menuju gedung Darma Corps. Perjalanan yang biasanya terasa biasa-biasa saja, hari ini entah kenapa terasa lebih panjang. Saat mobilnya memasuki area parkir kantor, Lidia seperti biasa memilih spot yang dekat pintu masuk karyawan. Ia turun dengan penampilan rapi—blus putih dengan potongan pas badan, rok pensil hitam, rambut diikat setengah, dan sepatu hak sedang yang tidak pernah berdecit di lantai marmer. Begitu melewati pintu lobby, security menyapanya ramah, dan ia membalas dengan senyum singkat sambil tetap melangkah cepat menuju lift karyawan. Lantai 25, kantor pusat eksekutif. Begitu pintu lift terbuka, aroma khas dari ruangan—campuran wangi kayu furnitur dan pendingin ruangan—langsung menyambutnya. Lidia menuju meja kerjanya yang berada tepat di luar ruangan Roby. Meja itu tidak hanya sekadar meja, tapi markas kecilnya: laptop yang selalu terbuka untuk memantau email dan agenda, tumpukan dokumen yang diatur sesuai prioritas, dan rak kecil berisi berkas-berkas penting untuk CEO Darma Corps. Rutinitas paginya selalu sama, namun hari ini ia melakukan semuanya sedikit lebih hati-hati, seolah ingin mengalihkan pikirannya dari rasa gugup. Ia mengecek ulang semua laporan yang akan dipresentasikan Roby hari ini, memeriksa draf kontrak yang sudah ia tandai untuk revisi, serta memastikan dokumen perjanjian kerja sama yang harus ditandatangani sore nanti sudah rapi di map kulit hitam favorit Roby. Setelah itu, ia beralih menyiapkan minuman pagi Roby—kopi hitam tanpa gula, suhu pas, menggunakan cangkir keramik putih yang hanya digunakan Roby untuk minum pagi. Ia lalu masuk ke ruang kerja Roby yang masih kosong. Ruangan luas dengan dinding kaca menghadap pemandangan kota itu ia tata seperti biasa: tirai dibuka setengah agar cahaya pagi masuk, meja kerja dibersihkan dari debu, pena kesukaan Roby diletakkan tepat di sisi kanan berkas yang akan dibacanya, dan kursi kulit hitam itu diputar sedikit ke arah meja—persis seperti yang Roby sukai. Semua kebiasaan Roby sudah di luar kepala Lidia. Ia tahu pria itu tidak suka aroma ruangan terlalu tajam, jadi ia tidak pernah menyalakan diffuser terlalu lama. Ia tahu Roby lebih suka membaca laporan dengan format cetak ketimbang layar, jadi ia selalu menyiapkan hard copy. Bahkan urutan pekerjaan yang harus dikerjakan Roby pagi itu sudah ia susun sesuai ritme pria itu. Beberapa menit kemudian, suara langkah tegas terdengar dari lorong. Roby muncul, mengenakan setelan abu-abu gelap dengan dasi biru tua. Wajahnya datar seperti biasa, tatapannya fokus, tidak ada tanda-tanda kejadian semalam pernah terjadi. “Pagi Pak,” ucap Lidia dengan nada profesional. Roby hanya mengangguk singkat sambil berjalan melewatinya. Lidia mengikutinya masuk ke ruangan, membawa tablet dan berkas untuk briefing pagi. Roby menuju meja kerjanya kemudian melepaskan jas yang ia kenakan. Lidia yang sudah berdiri di depan meja kerja Roby menyadari dasi pria itu sedikit miring. Tanpa berpikir lama, ia melangkah maju dan mendekati Roby. “Dasi anda agak miring,” katanya pelan. Lidia berdiri tepat di depan Roby, jemari rampingnya menyentuh kain dasi sutra itu, merapikannya perlahan. Sentuhan itu bukan pertama kalinya, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda. Jarak mereka begitu dekat—begitu dekat hingga Lidia bisa mencium aroma parfum Roby yang khas, campuran wangi kayu dan citrus yang samar. Nafasnya nyaris membentur wajah pria itu. Roby tidak bergeming, membiarkan Lidia merapikan dasinya. Wajahnya tetap tenang, matanya sesekali menatap ke arah wajah Lidia, membuat jantung wanita itu berdegup lebih cepat. Jemarinya bekerja otomatis, tapi pikirannya melayang pada ciuman semalam. Udara di antara mereka terasa lebih berat, dan Lidia hampir bisa merasakan panas tubuh Roby yang merambat melalui jarak yang tipis itu. Begitu selesai, ia mundur setengah langkah. “Sudah rapi,” ujarnya singkat, mencoba terdengar biasa. Namun, pipinya sedikit memanas. Ia menunduk sejenak sebelum kembali fokus pada catatannya, pura-pura tidak terpengaruh. Tapi di dalam hati, ia tahu, bahkan kebiasaan sekecil ini kini mulai terasa seperti medan perang bagi perasaannya. Begitu dasinya rapi, Lidia segera mundur setengah langkah, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa tak wajar. Aroma maskulin Roby yang khas—perpaduan wangi aftershave dan sedikit hint kopi pagi—masih terasa jelas di hidungnya. Walaupun ekspresi pria itu tetap datar seperti biasa, tatapannya sempat singgah sebentar ke arah Lidia, sebelum kembali fokus pada meja kerjanya. Roby duduk di kursi kulit hitamnya yang tinggi, gerakannya selalu terukur, rapi, dan efisien. Lidia mengikuti dari belakang, meletakkan tablet di hadapannya untuk memantau agenda, lalu menggeser cangkir kopi hitam panas ke sisi kanan meja—tepat seperti yang selalu Roby inginkan, dengan posisi gagang menghadap jam tiga. "Agenda pagi, rapat internal divisi manufaktur jam sembilan. Setelah itu, jam sebelas ada presentasi dari tim marketing terkait proyek joint venture dengan Laras Satyawira," ujar Lidia, suaranya lancar dan tegas. Roby hanya mengangguk kecil sambil memutar pena di jarinya, tanda bahwa ia mendengar namun tidak akan memberi komentar berlebihan. Lidia melanjutkan, "Pukul satu siang makan siang bersama investor dari Singapura di The Royale. Jam tiga ada review laporan keuangan kuartal dua. Terakhir, pukul lima sore ada conference call dengan kantor cabang Surabaya." "Pastikan semua materi untuk rapat investor siap di laptop saya," ucap Roby, suaranya dalam dan singkat. "Sudah saya siapkan di folder khusus, file presentasi dan data pendukungnya," jawab Lidia cepat. Ada jeda sesaat. Roby menyeruput kopinya, lalu matanya bergerak sekilas ke arah Lidia yang masih berdiri. "Kamu sudah kirim draft revisi kontrak ke tim legal?" tanyanya. "Sudah, Pak. Pagi ini mereka akan mengirimkan feedback," balas Lidia, masih berusaha menjaga nada suara profesional meski pikirannya berkecamuk. Keheningan kembali turun di antara mereka, hanya terdengar bunyi jam dinding dan ketikan keyboard dari jari-jari Roby yang cekatan. Namun bagi Lidia, ruangan ini terasa terlalu sempit, atau mungkin dirinya yang terlalu sadar akan keberadaan pria itu. Roby tiba-tiba meraih setumpuk dokumen yang agak miring di tepi meja. Lidia langsung bergerak maju untuk membetulkannya, jarinya tanpa sengaja bersentuhan dengan punggung tangan Roby. Sentuhan itu singkat, tapi cukup membuat napasnya sedikit tertahan. Roby, seperti biasa, sama sekali tak menunjukkan reaksi berlebihan, hanya menarik tangannya pelan sambil tetap fokus pada kertas di hadapannya. "Kalau tidak ada lagi, kamu bisa kembali ke meja kamu," ucapnya datar. "Baik, Pak." Lidia melangkah mundur, namun sebelum keluar, ia sempat memandang sekilas ke arah Roby yang sedang membungkuk membaca laporan. Sorot mata pria itu tetap sama seperti bisanya— selalu dingin, fokus, dan sulit ditebak. Tapi Lidia tahu, perasaannya pada Roby justru semakin tak terkendali, apalagi setelah malam itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN