Rapat internal divisi manufaktur dimulai tepat pukul sembilan. Seperti biasa, Roby duduk di kursi ujung meja, posturnya tegak, tatapannya tajam, dan suaranya rendah namun penuh wibawa. Para kepala divisi duduk berderet di kedua sisi meja, sementara Lidia berada di kursi samping Roby, sedikit di belakang, siap mencatat setiap poin penting.
Dari awal hingga akhir, Roby mengarahkan pembahasan dengan gaya yang tegas dan langsung. Ia menanyakan progres produksi di pabrik Cikarang, menegur masalah keterlambatan pengiriman bahan baku dari pemasok, serta menekankan target efisiensi biaya yang harus dicapai bulan depan. Lidia mencatat dengan kecepatan yang nyaris setara dengan kecepatan Roby berpikir, jemarinya menari di atas layar tablet, mengubah poin-poin diskusi menjadi catatan yang rapi dan terstruktur.
Sesekali, Roby mencondongkan badan untuk melihat catatan di tablet Lidia, bahunya menyentuh sedikit bahu Lidia. Sentuhan itu singkat, biasa saja bagi Roby, namun cukup membuat Lidia menegakkan punggungnya sedikit lebih lurus. Ia berusaha tetap fokus, memaksa pikirannya tidak melayang ke ingatan tentang malam itu.
Rapat berakhir sekitar pukul sepuluh lewat lima belas. Semua kepala divisi meninggalkan ruangan satu per satu setelah Roby mengucapkan penutup. Lidia mengemasi tabletnya, sementara Roby sudah berdiri, merapikan jasnya, dan berjalan keluar. Seperti biasa, Lidia mengikuti satu langkah di belakang, langkahnya teratur, mengikuti ritme kaki Roby.
Begitu mereka kembali ke ruang kerja Roby, pria itu langsung duduk di kursinya.
"Ringkasan rapatnya?" tanyanya singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Lidia sudah siap. Ia berjalan mendekat, meletakkan tablet di hadapan Roby.
"Ini, Pak. Semua poin pembahasan, deadline masing-masing divisi, dan tindak lanjut yang harus dilakukan. Saya juga tambahkan highlight merah untuk masalah yang perlu prioritas."
Roby menoleh sebentar, lalu meraih tablet itu. Saat jemarinya mengambilnya, punggung tangannya kembali bersentuhan dengan jari Lidia—kali ini sedikit lebih lama karena ia membalik layar untuk melihat catatan dengan sudut yang pas.
"Baik," ucapnya singkat, lalu matanya bergerak cepat membaca.
Lidia tetap berdiri di sampingnya, sebagian karena ingin memastikan Roby melihat semua catatan, sebagian lagi karena jarak di antara mereka membuatnya sulit berpikir jernih. Dari sudut pandangnya, ia bisa melihat jelas rahang tegas Roby, juga rambut hitam yang sedikit jatuh ke dahi.
Roby menggeser tablet kembali ke arah Lidia. "Bagus. Kirim ke email saya dan semua kepala divisi."
"Baik, Pak."
Namun sebelum Lidia sempat mengambil tablet itu, Roby mengangkatnya sedikit, seolah ingin memperlihatkan satu poin tertentu. Gerakan itu membuat wajah mereka semakin dekat, dan tanpa sengaja, punggung tangan Roby menyentuh pergelangan tangan Lidia. Kontak yang mungkin sepele bagi Roby, tapi bagi Lidia terasa seakan jantungnya melompat.
"Untuk ini, pastikan mereka update progress setiap dua hari, bukan seminggu sekali," kata Roby, suaranya datar namun cukup dalam untuk membuat Lidia merasakan getarannya di telinga.
"Siap, Pak."
Lidia mengambil tablet itu perlahan, mencoba agar jarinya tidak kembali bersentuhan, walau ia tahu Roby sama sekali tak terganggu dengan kedekatan seperti ini. Baginya, ini adalah bagian dari rutinitas kerja yang sudah bertahun-tahun mereka jalani.
Sementara bagi Lidia… semua terasa berbeda sejak malam itu.
*****
Begitu jarum jam di layar ponsel menunjukkan pukul 12.15, Lidia merapikan tumpukan dokumen di mejanya. Ruangan kerja Roby nampak sunyi, karena pria itu sedang larut dalam pekerjaannya di sana.
Baru saja ia hendak mengambil map lain, ponselnya bergetar. Nama “Bu Arlina Wibisana” ibu dari Roby darmawan muncul di layar. Lidia tersenyum tipis sambil menarik napas.
“Selamat siang, Bu Arlina,” sapanya dengan nada ramah.
“Siang, Lidia. Kamu lagi sibuk?” suara wanita paruh baya itu terdengar hangat, penuh kelembutan yang khas seorang ibu.
“Enggak terlalu, Bu. Lagi beresin dokumen rapat pagi tadi,” jawab Lidia sambil melirik pintu ruangan Roby yang tertutup rapat.
“Kalau gitu, kamu mau enggak makan siang bareng Tante hari ini? tante udah reservasi ruang privat di restoran. Rasanya nggak enak kalau makan sendiri, bosen,” ucap Arlina dari balik telpon dengan nada setengah manja.
Lidia tersenyum kecil. Ini bukan kali pertama wanita itu meminta Lidia menemaninya ketika merasa bosan sendirian.
“Hmm… saya coba izin dulu ke Pak Roby, ya, Bu.”
“Oke, tapi tante yakin dia pasti ngizinin,” jawab Arlina santai.
Begitu panggilan berakhir, Lidia menimbang sebentar. Lalu ia mengetik pesan singkat pada Roby.
From Lidia: Pak, Mama anda mengajak saya makan siang bersama. Boleh saya temani beliau?
From Roby: (balas cepat) Pergi aja. Saya bisa makan sendiri sama klien nanti. Biar Mama enggak sendirian.
Lidia: Baik, Pak. Terima kasih.
Lidia tak bisa menahan senyum kecil saat membaca balasan itu. Jawaban Roby singkat, tapi terasa… hangat. Seolah memang sudah terbiasa membiarkan Lidia dekat dengan keluarganya.
*****
Perjalanan menuju restoran itu tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh menit. Restoran tersebut cukup terkenal di kalangan eksekutif, dengan interior elegan yang memadukan kayu gelap dan cahaya lampu temaram. Begitu masuk, seorang pelayan langsung menyapanya dengan senyum ramah.
"Selamat siang,” sapa Lidia pada pelayan yang menyambutnya ketika memasuki restoran.
“Selamat siang Mba, reservasi atas nama siapa?” Tanya pelayan tersebut.
“Atas nama Arlina Wibisana,” jawab lidia.
“Oh ternyata Nona Lidia. Ruang privatnya sudah disiapkan. Silakan ikut saya."
Lidia membalas dengan senyum sopan lalu mengikuti pelayan itu melewati lorong dengan deretan meja makan yang terisi separuhnya. Aroma masakan khas Perancis bercampur aroma kopi segar memenuhi udara.
Begitu pintu ruang privat dibuka, Lidia langsung melihat sosok wanita paruh baya dengan rambut hitam yang sudah mulai beruban di beberapa helai, tersisir rapi, mengenakan setelan blouse satin berwarna krem yang terlihat mahal. Senyum hangat terpancar dari wajahnya.
"Lidia…," sapa Arlina Wibisana, Mama Roby, sambil berdiri dan membentangkan tangannya.
Lidia segera melangkah mendekat, lalu meraih tangan wanita itu dengan sopan dan sedikit menunduk. "Siang, Bu Arlina. Maaf Bu, sempat telat beberapa menit. Tadi ada beberapa kerjaan yang cukup mendadak"
"Ah, nggak apa-apa. Tante udah senang banget kamu mau nyempetin datang nemenin Tante makan siang ditengah kesibukan kamu," ujar Arlina, menepuk punggung tangan Lidia pelan.
Lidia duduk di kursi di hadapan Arlina, sementara pelayan mulai menutup pintu ruang privat itu. Begitu mereka berdua saja, Arlina langsung memulai pembicaraan.
"Roby nggak ikut? Tante kira dia yang bakal bawa kamu ke sini."
Lidia tersenyum tipis. "Siang ini Pak Roby ada jadwal makan siang bersama klien dari Singapura Bu."
Arlina menghela napas kecil, lalu tersenyum lagi. "Ya sudah, syukurlah dia nggak ngelarang kamu keluar. Kalau nungguin dia, bisa-bisa kita makan sore."
Pelayan kembali masuk untuk menaruh buku menu di meja. Lidia memesan salad dan pasta ringan, sedangkan Arlina memesan salmon panggang dan teh hangat. Begitu pelayan pergi, suasana kembali tenang.
"Tau nggak, Lid…" Arlina menatapnya sambil menopang dagu, nada suaranya berubah agak serius. "Tante itu heran sama kamu sama Roby."
Lidia tersenyum kaku. "Heran kenapa, Bu?"
Wajah Arlina nampak cemberut mendengar Lidia yang tetap konsisten memanggilnya dengan panggilan Bu. “Kamu kenapa sih masih manggil Bu aja. Kan tante udah bilang manggil tante aja."
Lidia tersenyum canggung mendengar perkataan wanita di hadapannya ini. “Tapi bagaimanapun anda adalah Istri dan ibu dari atasan saya,” jawab Lidia.
“Kamu itu kerja sama Roby bukan sama tante. Jadi kamu nggak perlu bersikap formal sama tante.” Perkataan Arlina nampak tegap dan menuntut.
Lidia akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah. ‘”Iya tante.”
Perkataan Lidia membuat Arlina langsung tersenyum puas. “Nah, gitu dong manggil Tante," ujarnya terdengar bahagia. “Oke, lanjut yuk bicarain tentang kamu dan Roby,” lanjutnya.
Lidia mengerutkan alis dengan ekspresi bingung. “Saya dan Pak Roby? Kenapa dengan kami berdua?”
"Menurut tante nih, kalian tuh kelihatan banget cocoknya Lidia. Dari caramu memahami dia, rasanya kamu itu… lebih dari sekadar pegawai. Kamu tahu dia nggak suka minuman terlalu manis, kamu hafal nada bicara dia waktu lagi stres, bahkan kamu bisa bedain mana ‘diam’ karena mikir, dan mana ‘diam’ karena marah. Kebiasaan apa yang sering dia lakukan pun kamu sangat paham dan hafal semuanya. Kadang tante ngerasa, kamu lebih paham dan mengenal dia dibandingkan tante yang adalah Mamanya.”
Lidia mematung sejenak, menatap salad di piringnya. “Tante terlalu memuji. Itu cuma karena saya sudah terbiasa kerja dengan pak Roby. Lama-lama jadi hafal semua kebiasaannya.”
Arlina menggeleng pelan. "Ah, itu bukan cuma soal kerjaan. Tante lihatnya… kamu tuh ngerti dia sampai ke hal-hal kecil yang nggak semua orang perhatiin. Cara dia minum kopi, cara dia suka mejanya diatur, sampai jam berapa dia biasanya mau diganggu atau enggak. Kamu bahkan bisa nebak mood dia cuma dari lihat tatapan matanya."
Lidia menelan ludah pelan. Dalam hati ia ingin bilang kalau semua itu karena ia peduli lebih dari sekadar seorang sekretaris pada atasannya. Tapi bibirnya hanya bisa tersenyum tipis. "Tante terlalu melebih-lebihkan."
Arlina memiringkan kepalanya, seolah mencoba membaca isi hati Lidia. "Kamu nggak pernah kepikiran… untuk beneran ada hubungan sama dia? Maksud Tante, hubungan pribadi?"
Pertanyaan itu membuat Lidia spontan menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. "Saya dan Pak Roby profesional, Tante. Nggak ada hubungan apa-apa."
"Tapi kamu nggak bisa bohong kalau kamu punya perhatian lebih sama anak tante," ucap Arlina dengan nada setengah bercanda tapi penuh keyakinan.
Lidia tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan. "Tante ini kayak wartawan aja nanyanya."
Arlina ikut tertawa, tapi tatapannya tetap lembut dan penuh arti. "Tante cuma pengen lihat anak Tante bahagia. Dan kamu, Lidia, kamu tuh… ya Tuhan, kamu udah kayak keluarga buat Tante."
Hati Lidia terasa hangat sekaligus perih mendengar itu. Ia hanya mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan perasaannya yang mulai memuncak. Dalam pikirannya, terngiang lagi kejadian semalam di rumah Roby—tatapan mata dingin itu setelah ciuman mereka berakhir, dan kata-kata penolakannya yang halus tapi tegas.
Pelayan datang membawa makanan, memecah momen itu. Aroma salmon panggang dan pasta keju memenuhi ruangan. Lidia mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik-topik ringan, seperti acara TV yang sedang populer, berita bisnis yang sedang ramai, dan sedikit cerita tentang pekerjaannya hari ini.
Namun, setiap kali ia mengangkat kepala, Lidia selalu menemukan tatapan lembut penuh arti dari Arlina—tatapan yang seolah berkata, Tante tahu apa yang kamu rasakan.