Bab 9

1141 Kata
Langkah mereka terdengar lembut di lantai marmer restoran yang mengilap, suara hak tinggi Lidia berpadu dengan langkah santai Arlina yang elegan. Aroma lembut parfum Arlina—perpaduan mawar dan vanila—masih terasa di udara, menyatu dengan wangi rempah dari dapur restoran. Mereka berjalan keluar dari ruang privat, memasuki area utama restoran yang lebih ramai, deretan meja dengan tamu-tamu yang bercakap pelan, dentingan alat makan, dan sesekali tawa kecil yang terdengar samar. Arlina melirik Lidia sambil tersenyum tipis, “Makan siang kita hari ini menyenangkan sekali. Tante senang bisa ngobrol lebih dekat sama kamu.” Lidia membalas dengan senyum tulus, “Saya juga senang, Tante. Terima kasih sudah meluangkan waktu. Rasanya... hangat sekali, kayak ngobrol sama ibu sendiri.” Ucapan itu membuat wajah Arlina sedikit melembut, matanya memancarkan tatapan yang penuh arti. Mereka berjalan berdampingan, melewati beberapa meja, sebelum tiba di lorong menuju pintu keluar restoran. Lampu gantung kristal di atas kepala memantulkan cahaya ke permukaan meja, memberikan kesan hangat namun tetap mewah. Baru saja mereka hendak melangkah keluar, suara perempuan memanggil dari arah belakang. “Lidia?” Langkah Lidia dan Arlina serempak terhenti. Lidia menoleh pelan, matanya mencari sumber suara itu. Di jarak sekitar lima meter dari tempat mereka berdiri, terlihat seorang wanita yang cukup Lidia kenal. Rambutnya tergerai rapi, blazer warna krem membungkus tubuh rampingnya, dan ada senyum tipis di wajahnya—senyum yang entah kenapa terasa membawa gelombang ingatan lama pada Lidia. Detik itu juga, d**a Lidia terasa sedikit mengencang. Dia menarik napas perlahan, mencoba tetap tenang meski tatapan wanita itu seperti menelusup menembus pikirannya. Arlina mengikuti arah pandang Lidia, lalu memandang sebentar ke wajah sang sekretaris putranya itu. “Kamu kenal dia?” tanya Arlina, suaranya rendah tapi penuh rasa ingin tahu. Lidia menelan ludah, lalu menoleh kembali ke Arlina. “Iya, Tante... saya kenal.” Nada bicaranya sengaja dibuat netral, meski ada ketegangan yang samar di ujung suaranya. Wanita itu melangkah sedikit lebih dekat, tatapannya fokus pada Lidia. Melihat situasi itu, Lidia tersenyum pada Arlina, berusaha menjaga agar suasana tetap ringan. “Tante... kayaknya saya perlu ngobrol sebentar sama dia. Kalau nggak keberatan, Tante pulang duluan, ya.” Arlina memandang Lidia sebentar, seolah menimbang sesuatu. Lalu dia tersenyum lembut. “Baiklah. Jangan lama-lama, ya. Nanti Roby bisa nyari kamu ke seluruh kota.” Nada menggoda itu disertai tatapan penuh arti, membuat Lidia sedikit gugup. Lidia terkekeh pelan, “Iya, Tante. Saya nyusul nanti.” Mereka berpelukan sebentar sebelum Arlina berjalan keluar restoran, diiringi sopir pribadinya yang sudah menunggu di luar. Saat langkah Arlina menjauh, Lidia menarik napas lagi, lalu menatap kembali wanita yang memanggilnya tadi. Kini, jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah. Tatapan di antara keduanya terasa seperti sebuah percakapan tanpa kata, penuh pertanyaan yang belum diucapkan. ***** Ruang privat itu dipenuhi aroma kopi yang hangat, namun hawa di antara dua perempuan yang duduk berhadapan di meja kayu mengilap terasa dingin dan kaku. Cahaya redup dari lampu gantung jatuh tepat di tengah meja, menciptakan bayangan tipis di wajah mereka. Lidia duduk tegak, kedua tangannya menggenggam cangkir yang sudah dingin sejak lima menit lalu. Di seberangnya, wanita itu menatapnya dengan tenang, namun di balik tatapan itu ada tekanan halus yang terasa menusuk. Laras Putri Satyawira—manajer marketing brilian di Satyawira Group—terkenal sebagai perempuan yang nyaris sempurna di mata banyak orang. Usianya hanya terpaut dua tahun dari Lidia, tapi pencapaian kariernya sudah seperti seseorang yang jauh lebih matang. Rambut hitamnya tergerai rapi, jas blazer elegan membungkus tubuhnya, membuatnya terlihat persis seperti figur pewaris perusahaan keluarga yang karismatik. Satyawira Group sendiri adalah konglomerasi yang menaungi berbagai bidang: properti, manufaktur alat berat, dan distribusi logistik. Pusatnya berada di Jakarta, dengan kantor pusat yang megah di kawasan bisnis elit. Hartawan Satyawira, ayah mereka, adalah direktur utama yang dikenal keras, perfeksionis, dan punya ekspektasi tinggi pada kedua anak perempuannya. Ibu mereka, Ratna Satyawira, dulu adalah sosialita yang selalu menjaga citra keluarga, memastikan kedua putrinya tampil tanpa cela di depan publik. Bagi orang luar, keluarga Satyawira adalah gambaran keluarga sukses dan harmonis. Tapi Lidia tahu betul—di balik itu semua, tekanan dan tuntutan dari orang tua mereka seperti rantai yang membelenggu. Laras berhasil menyesuaikan diri, bahkan berkembang di bawah tuntutan itu. Lidia… memilih jalan berbeda. Laras menyesap kopinya pelan, lalu meletakkan cangkirnya dengan bunyi yang nyaris tak terdengar. “Sampai kapan kamu mau terus seperti ini, Lid?” suaranya tenang, tapi setiap kata mengandung penekanan. “Sampai kapan kamu mau lari dari tanggung jawabmu sebagai bagian dari keluarga Satyawira?” Lidia menarik napas panjang, berusaha mengatur nada suaranya. “Aku nggak lari, Kak. Aku cuma… memilih hidupku sendiri.” “Milikmu sendiri?” Laras mengangkat alisnya. “Kamu pikir dengan bekerja jadi sekretaris orang lain, kamu sedang ‘memilih hidupmu sendiri’? Lidia, kamu itu bukan orang biasa. Kamu bisa duduk di jajaran manajemen puncak di perusahaan kita kapan saja. Kamu bisa memimpin divisi apa pun yang kamu mau.” “Aku nggak mau.” Jawaban itu keluar cepat, lebih tajam dari yang Lidia maksudkan. Laras mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapannya menusuk. “Kenapa? Karena kamu takut nggak bisa selevel sama aku? Atau karena kamu pikir aku akan selalu dibandingkan sama kamu?” Lidia meremas cangkirnya. “Karena aku capek, Kak. Aku capek harus hidup di bawah bayang-bayang kamu. Dari kecil sampai sekarang, semua orang selalu bilang, ‘Laras itu hebat, kamu harus seperti dia’. Aku nggak pernah boleh gagal, nggak boleh salah, dan nggak boleh punya mimpi sendiri. Semua yang aku lakukan selalu diukur pakai standar kamu.” Laras terdiam beberapa detik, lalu tersenyum tipis—senyum yang bukan berarti ia setuju, melainkan seperti seseorang yang sedang menilai lawan bicaranya. “Kamu pikir aku nggak capek? Aku juga punya beban, Lid. Tapi aku tetap di sana. Aku tetap bertahan. Karena itu tanggung jawabku.” “Dan aku nggak mau itu jadi tanggung jawabku.” Lidia menatap balik kakaknya, kali ini dengan sorot mata yang lebih berani. “Aku mau jadi aku. Aku mau bekerja di tempat yang nggak menilai aku karena marga Satyawira. Aku mau orang lihat aku karena kemampuanku sendiri, bukan karena aku anak Hartawan Satyawira.” Laras mengetuk meja pelan dengan jarinya. “Kamu bilang begitu, tapi kamu kerja di bawah Roby Dermawan. CEO Darma Corps itu bukan orang sembarangan, Lid. Kamu pikir dia nggak tahu kamu siapa? Atau jangan-jangan, kamu sengaja main aman di bawah perlindungan dia?” Lidia mengerutkan kening. “Hubungan kerja aku sama Roby murni profesional. Jangan mulai bawa-bawa hal lain.” “Profesional?” Laras terkekeh pelan. “Kita lihat saja, Lid. Tapi ingat, kamu bisa sembunyi dari orang lain, tapi kamu nggak bisa sembunyi dari keluargamu. Cepat atau lambat, Papa akan tahu kamu di sini, bekerja jadi sekretaris orang lain. Dan saat itu terjadi…” Ia mengangkat bahu. “Kamu harus siap menghadapi semuanya.” Udara di antara mereka makin berat. Lidia tahu, pertemuan ini bukan sekadar percakapan kakak-adik. Ini adalah peringatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN