Bab 10

1655 Kata
Lidia berjalan cepat melewati lobi Darma Corps, tumit sepatunya menekan marmer mengilap dengan ritme yang teratur, namun pikirannya sama sekali tidak teratur. Bayangan pertemuan dengan Laras di restoran tadi siang terus mengganggu. Kata-kata sang kakak terngiang jelas—tentang keluarga mereka, tentang jabatannya yang “terlalu rendah” untuk seorang Satyawira, dan tentang pilihan Lidia untuk menjadi sekretaris seorang CEO alih-alih berada di kursi eksekutif perusahaan keluarga. Ia menarik napas panjang saat pintu lift terbuka di lantai eksekutif. Begitu keluar, tatapan rekan-rekan sekantor yang lewat terasa biasa saja, tapi entah mengapa siang ini beban di dadanya membuat semua terasa lebih berat. Lidia mengetuk pelan pintu ruang kerja Roby sebelum masuk. Ruangan itu terasa tenang, hanya terdengar dentingan halus jam dinding. Meja kerja Roby dipenuhi berkas-berkas laporan keuangan kuartal dua yang menumpuk, laptop terbuka dengan grafik dan tabel yang tampak rumit. Roby sedang berdiri di dekat jendela, memegang secangkir kopi sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Kamu dari mana saja, Lidia? Saya perhatikan kamu terlambat hampir tiga puluh menit dari jam makan siang,” ucapnya, nada suaranya tenang namun mengandung sedikit tuntutan penjelasan. Lidia menunduk sedikit. “Mohon maaf, Pak. Tadi saya—” “Saya sempat menelpon Mama untuk menanyakan kamu,” potong Roby, matanya mengamati wajah Lidia dengan tajam. “Mama bilang kamu sedang bertemu dengan seseorang di restoran. Siapa yang kamu temui?” Pertanyaan itu membuat d**a Lidia sedikit mengencang. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. “Itu… hanya kenalan lama, Pak,” jawabnya cepat, menjaga suara tetap tenang. “Kami kebetulan bertemu dan berbicara sebentar. Tidak ada urusan penting.” Roby masih menatapnya, seolah mencoba membaca kebenaran dari raut wajahnya. Lidia segera menunduk dan melanjutkan, “Jika anda berkenan, kita bisa melanjutkan review laporan keuangan kuartal dua agar selesai sebelum sore.” Roby berjalan ke arah meja kerjanya dan menarik kursinya lalu duduk. “Baik. Duduklah, kita mulai dari laporan divisi manufaktur.” Lidia menarik kursi tambahan dan meletakkannya tepat di sisi kanan kursi Roby. Ia duduk, membuka berkas, dan mulai menunjuk beberapa angka di tabel laporan. Posisi mereka yang duduk bersampingan membuat jarak di antara mereka sangat dekat. Lidia bisa merasakan aroma parfum maskulin Roby yang samar, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Saat Lidia hendak mengambil pulpen yang tergeletak di dekat laptop Roby, jemari mereka tanpa sengaja bersentuhan. Sentuhan singkat itu membuat Lidia refleks menarik tangannya, namun Roby hanya bergumam pelan, “Silakan.” “Laporan kuartal dua ini menunjukkan peningkatan pendapatan sebesar delapan persen dibanding kuartal pertama,” jelas Lidia sambil menunjuk grafik pada lembaran laporan. “Namun, di sektor manufaktur, ada penurunan margin laba bersih sebesar dua persen.” Roby mencondongkan badan, bahunya tak sengaja menyentuh bahu Lidia. Sentuhan ringan itu membuat Lidia refleks menahan napas, namun ia tetap berusaha terlihat professional, karena bagaimanapun sentuhan-sentuhan ini adalah hal biasa selama mereka bekerja. Namun, Lidia tidak bisa memungkiri, bahwa kejadian ciuman malam itu membuat segala sentuhan kecil dnegan atasannya ini menimbulkan efek yang cukup menganggu debar jantungnya sekarang. Berbanding terbalik dengan Lidia, Roby malah tampak tidak terlalu memedulikan sentuhan fisik dengan Lidia, matanya fokus pada data. “Kamu periksa bagian pengeluaran operasional,” kata Roby sambil memindahkan jarinya pada tabel. “Saya ingin tahu apa penyebabnya. Ada kenaikan yang cukup signifikan di sini.” “Baik, Pak. Ini kemungkinan berasal dari biaya perawatan mesin yang meningkat,” jawab Lidia sambil membuka berkas pendukung. Saat ia membungkuk sedikit untuk mengambil dokumen lain dari laci kecil di rak belakangnya, tanpa disadari, kerah blus formalnya sedikit terbuka karena posisi tubuhnya yang membungkuk. Roby, yang sedang mengamati grafik, terhenti sepersekian detik. Tatapannya tanpa sengaja terarah pada bagian area dad4 Lidia yang sedikit terekspose. Disana area belahan dad4 lidia nampak terlihat, bahkan bra berwarna hitam yang melindungi dad4 Lidia pun tertangkap oleh pandangan mata Roby yang duduk tepat di samping wanita itu. Roby sempat terbatuk kecil lalu mengalihkan pandangan. Ia kemudian berkata dengan nada tenang namun sedikit berat, “Lidia, rapikan pakaian kamu.” Lidia yang sedang membungkuk untuk mengambil berkas di laci paling bawah tentu sempat kebingungan dengan maksud perkataan Roby. Namun ketika Lidia menundukkan kepalanya untuk melihat pakaiannya, ia tentu saja terkejut ketika melihat bawah kerah blousenya nampak terbuka dan menampilkan belahan dadanya yang tertutupi bra hitam yang ia kenakan. Pemandangan dad4 dan Bra hitamnya terlihat jelas dari sudut pandang roby saat ini. Dengan buru-buru Lidia langsung menegakkan tubuh, merasa darahnya mengalir cepat ke wajah. “Maaf, Pak…” ujarnya sambil merapikan kerah blusnya. Keadaan menjadi kikuk. Lidia merasa sangat malu dan furstasi dengan kejadian barusan, rasanya ia ingin menenggelamkan dirinya saat ini juga. Namun Roby tetap memasang ekspresi biasa saja, seolah insiden tersebut tidak pernah terjadi. Ia kembali memfokuskan perhatian pada laporan. “Baik, lanjut. Cek juga perbandingan data ini dengan laporan audit internal,” katanya sambil mengetik beberapa catatan di laptop. “Kalau ada selisih, kita harus klarifikasi sebelum presentasi ke dewan direksi minggu depan.” “Baik, Pak,” jawab Lidia, mencoba kembali fokus walau perasaan gugup masih menyelimuti. Ia mencatat setiap instruksi Roby, berusaha mengabaikan rasa panas di pipinya. Sesekali lengan mereka kembali bersentuhan saat sama-sama melihat satu berkas, dan meski Roby terlihat biasa saja, bagi Lidia, setiap sentuhan itu membuat detak jantungnya tak karuan. ***** Lidia memeluk bantal sofa erat-erat, wajahnya masih memerah meski jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Di apartemen mungilnya, ia duduk bersandar sambil menatap layar TV yang menyala tanpa benar-benar menonton. Amanda, sahabat sekaligus teman satu apartemennya itu, baru saja keluar dari dapur sambil membawa dua mug cokelat panas. "Gue serius, Mand," Lidia membuka pembicaraan dengan suara pelan, hampir seperti mengaku dosa. "Tadi siang… Gue benar-benar… nggak tahu harus naruh muka di mana." Amanda mengangkat alis, lalu menyerahkan mug ke Lidia sebelum duduk santai di sofa seberang. "Kenapa lagi? Jangan bilang lo salah kirim email ke klien atau apa." Lidia menggeleng cepat. "Bukan masalah kerjaan. Ini… masalah yang lebih memalukan." Ia menunduk, memainkan pegangan mug. "Waktu gue duduk di samping Pak Roby… posisi bajuku… kayak… agak kebuka. Dan dia… lihat." Amanda mengerutkan dahinya, menatap bingung pada Lidia. “Lihat apaan?” tanyanya. Lidia menggerakkan matanya kea rah dadanya. Amanda semakin kebingungan. “Apaan sih maksudnya?” Lidia menghembuskan nafas frustasi. “Dia ngelihat area dad4 gue Manda,” teriak Lidia frustasi. ‘bahkan bra hitam gue kayanya dilihat jelas sama dia,” lanjutnya seperti sedang merengek pada Amanda. Hening sejenak. Lalu— Amanda meledak tertawa. Tawa besarnya memenuhi ruang tamu, sampai ia harus menaruh mug di meja agar tidak tumpah. "Astaga, Lid! Jadi lo malu cuma karena itu?" "Cuma?!" Lidia menatap sahabatnya dengan mata membesar. "Itu area dad4 gue, Mand. Emang sih masih tertutup bra, tapi jelas kelihatan. Dan biar gimanapun dia itu atasan gue!" Amanda masih terkekeh sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Lid, kalian berdua pernah berciuman… dan bukan ciuman singkat ala sinetron ya. Ciuman itu intens, penuh… ya, lo tahu sendiri lah maksudnya. Dan lo sekarang heboh cuma karena dia lihat dikit area d**a lo yang bahkan masih ketutupan sama bra?" "Itu beda," Lidia mengeluh, suaranya agak meninggi. "Ciuman itu… ya, terjadi karena… keadaan gue yang lagi ngungkapin perasaan ke dia. Tapi ini di jam kerja, Mand. Dan dia sama sekali nggak terpengaruh. Dia cuma menegur dengan santai, lalu kembali kerja seperti nggak terjadi apa-apa." Amanda mengangkat bahu. "Dan itu yang bikin lo…?" "Insecure," Lidia memotong, jujur. "Pantas aja dia nggak pernah bisa balas perasaan gue. Mungkin dia emang nggak tertarik sama gue… bahkan ngelihat sedikit tubuh gue nggak ngaruh apa-apa buat dia." Amanda berhenti tertawa. Wajahnya berubah sedikit serius, meski senyuman nakal masih tersisa di sudut bibirnya. "Lid, denger ya. Cuma karena dia kelihatan tenang, bukan berarti dia nggak terpengaruh. Cowok itu pintar nutupin reaksi mereka, apalagi kalau posisinya atasan. Dia nggak mungkin nunjukin kalau dia tergoda sama lo… di depan meja kerja, saat kalian lagi bahas laporan." "Tapi… dia beneran kayak nggak peduli," Lidia bersikeras. Amanda menghela napas panjang. "Kalau dia bener-bener nggak peduli, waktu malam itu lo nyium dia, dia nggak akan balas. Tapi kenyataannya, dia balas, kan?" Lidia terdiam. Kilasan malam itu muncul di kepalanya—tatapan Roby yang dalam, genggaman tangannya, dan tekanan lembut tapi pasti saat pria itu membalas ciumannya. "Jadi, apa kesimpulannya?" Amanda mencondongkan tubuh ke depan. "Pria itu mungkin cuma menahan diri. Dan kalau lo mau dia sadar lo bukan cuma sekretaris, lo harus mulai bikin dia… sadar. Menggoda dia. Dengan cara yang elegan, bukan murahan. Tunjukin kalau lo juga seorang wanita yang bisa dia cintai, bukan cuma karyawan yang duduk di meja sebelahnya." Lidia masih menatap Amanda, menunggu kelanjutan wanita itu. “Kalau lo mau dia sadar sama perasaan lo, Lid… kadang lo harus ngasih dia tanda. Bukan cuma kerja doang. Coba deh… sedikit sentuhan menggoda, atau tatapan yang bikin dia mikir.” Lidia memandang Amanda seolah temannya itu baru saja mengajukan ide gila. "Menggoda? Gue? Mand, itu terdengar—" "—berisiko?" Amanda menyelipkan potongan kalimatnya sambil tersenyum lebar. "Iya, tapi bisa berhasil. Lo nggak harus langsung ngelakuin hal yang berani banget Lidiaku sayang. Mulai dari hal-hal kecil. Kontak mata sedikit lebih lama, sentuhan singkat yang seolah nggak sengaja, atau sekadar senyum yang bikin dia mikir sepanjang hari. Percaya deh, Lid. Kadang yang dibutuhkan cuma sedikit dorongan untuk bikin hati pria goyah." Lidia menatap mug di tangannya, mencoba mencerna ucapan Amanda. Ada bagian dari dirinya yang takut, tapi ada juga bagian lain yang penasaran dan ingin mencoba. “Emang lo nggak bosen bertahun-tahun Cuma ada di sisi dia sebagai sekretaris? Padahal jelas-jelas lo udah mencintai dia cukup lama. Walaupun dia nyuruh lo lupain perasaan lo, apa seorang Lidia Putri harus langsung nyerah gitu aja?” Tanya Amanda seakan semakin mengompori. "Kalau gue gagal?" tanyanya ragu. Amanda meneguk cokelat panasnya sambil mengangkat alis. "Kalau gagal, paling banter lo tetap jadi sekretarisnya, sama kayak sekarang. Tapi kalau berhasil…" ia menggantung kalimatnya, lalu tersenyum penuh arti. "Lo bisa dapat lebih dari sekadar gaji bulanan, Lid." Lidia menelan ludah. Ia tahu Amanda serius. Dan entah kenapa, ide itu mulai terasa… tidak terlalu gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN