Bab 11

1340 Kata
Hari Minggu pagi itu, udara Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Langit cerah dengan sinar matahari yang hangat, dan aroma tanah basah dari taman kecil di halaman rumah besar milik Roby masih terasa segar. Jam baru menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit ketika sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang besi yang menjulang. Hari Minggu pagi, langit Jakarta cerah tanpa mendung. Tepat pukul sepuluh, sebuah mobil hitam berhenti di halaman rumah megah milik Roby Darmawan. Lidia turun dengan langkah mantap begitu dibukakan pintu oleh sopir yang bertugas menjemputnya dari apartemen. Lidia mengenakan blus putih longgar yang rapi dipadukan celana bahan krem, rambutnya diikat sederhana. Sejak tujuh tahun lalu, kebiasaan ini tak pernah berubah—hari Minggu adalah hari di mana ia datang khusus untuk memasak di rumah Roby. Begitu memasuki area ruang tamu, dua asisten rumah tangga yang sudah mengenalnya sejak lama menyambut hangat. “Wah, Mba Lidia datang,” sapa Bu Ratmi sambil tersenyum lebar. “Pagi, Bu Ratmi. Pagi, Sari,” balas Lidia. “Aduh, tiap Minggu rasanya rumah ini lebih ramai kalau Mba datang,” ujar Sari sambil menerima tas belanja yang dibawa Lidia. Lidia terkekeh kecil. “Bukan ramai, Sar, cuma kebetulan kalian saja yang heboh setiap lihat aku datang.” Sambil berjalan menuju dapur, mereka bertiga terus berbincang. Dapur rumah Roby luas, dengan meja marmer putih di tengah dan lemari-lemari kayu gelap yang tersusun rapi. Begitu tiba, Lidia langsung membuka tas belanjaannya, mengeluarkan sayuran segar, daging ayam, dan bumbu-bumbu yang aromanya sudah familiar bagi mereka. “Hari ini ayam kecap, sup jagung, dan tumis buncis, ya, Mba?” tanya Bu Ratmi sambil membantu menata bahan di meja. Ia kembali mengingat pesan yang dikirim Lidia kemarin malam. Lidia mengangguk. “Iya. Minggu lalu aku buat sop buntut, sekarang ganti menu biar nggak bosan. Pak Roby pasti juga sudah kangen sama masakan ini.” Sari ikut menyelutuk sambil memotong cabai di ujung meja. “Heran saya, Mba. Bukan cuma di kantor, semua urusan pribadi Tuan Roby pun Mba lidia hafal di luar kepala. Rasanya seperti… ya, seperti yang tahu ritme hidupnya dari A sampai Z.” Lidia tersenyum tipis sambil menata wortel di talenan. “Namanya juga sekretaris pribadi Sar. Kalau nggak tahu kebiasaan atasan, repot nanti urusan kerja. Lagi pula, ini sudah jadi rutinitas selama tujuh tahun. pak Roby itu nggak mudah percaya sama orang, jadi aku berusaha menjaga kepercayaan yang sudah ada.” Bu Ratmi mengangguk sambil menatap Lidia dengan nada kagum. “Itu dia. Bukan cuma pintar mengatur jadwal atau urusan bisnis, Mba Lidia ini juga pandai urus hal-hal kecil yang orang lain mungkin anggap sepele. Saya sampai kadang mikir, siapa yang bisa gantiin Mba Lidia nanti kalau sudah nggak kerja di sini?” Lidia hanya terkekeh. “Belum ada rencana pensiun kok, Bu. Lagipula, masakan rumahan itu cuma cara kecil untuk mengimbangi kesibukan beliau. Kalau tiap hari makan di restoran karena sekalian menemui klien, perutnya juga bosan.” Setelah semua bahan tertata rapi, Lidia tidak langsung menyalakan kompor. Ia melangkah ke sudut dapur, mengambil jahe segar, s**u, dan teh hitam. Tangannya cekatan mengiris tipis jahe, lalu memasukkannya ke dalam panci kecil. Aroma rempah hangat mulai memenuhi udara. “Teh s**u jahe untuk Tuan Roby?” tanya Sari sambil tersenyum. “Ya. Beliau pasti sudah hampir selesai renang sebentar lagi. Kalau telat disajikan, dia selalu bilang kalau rasanya nanti nggak enak karena suhunya sudah turun,” jawab Lidia sambil menuang s**u hangat ke dalam cangkir keramik putih. Begitu cangkir itu siap, Lidia membawanya keluar menuju area kolam renang. Jalan menuju sana melewati ruang keluarga yang besar, lalu pintu kaca geser terbuka memperlihatkan halaman belakang yang lapang. Di tengahnya, kolam renang berair biru memantulkan cahaya matahari pagi. Dari kejauhan, terlihat Roby sedang berenang dengan gaya bebas yang mantap. Tubuhnya bergerak teratur, dan setiap kali ia muncul ke permukaan, tetesan air memantulkan kilau cahaya. Di sisi kolam, sebuah handuk putih besar sudah tergantung rapi di kursi santai. Lidia tidak memanggilnya, hanya meletakkan cangkir teh s**u jahe di meja kecil dekat kursi itu. Ia menunggu sejenak sambil menatap pemandangan halaman yang hijau. Tak lama, Bu Ratmi muncul di belakangnya sambil berbisik, “Tuan Roby itu beruntung sekali. Ada yang mengurus bahkan sampai urusan minumannya. Jarang loh ada sekretaris yang mau repot sampai segini.” Lidia hanya menoleh dan tersenyum tipis kea rah wanita paru baya yang berdiri di sampingnya ini. “Itu karena aku tahu dia butuh waktu tenang di hari Minggu. Urusan kecil seperti ini malah bisa bikin suasana hati lebih baik untuk seminggu ke depan.” Mereka berdua sempat berdiri diam beberapa detik, hanya mendengarkan suara air yang terbelah oleh gerakan Roby di kolam, sementara aroma teh s**u jahe perlahan bercampur dengan semilir angin. “Kalau begitu Ibu permisi dulu ya Mba Lidia,” ucap Bu Ratmi dengan senyum ramah, lalu meninggalkan area kolam renang itu. Lidia hanya mengangguk sopan, menatap punggung wanita paruh baya itu hingga menghilang di sudut lorong. Ruangan kolam renang pribadi ini terasa sunyi, hanya terdengar suara gemericik air dan sesekali percikan ketika Roby menggerakkan tubuhnya. Udara di sekitar agak lembap, namun hangat, membuat aroma kaporit bercampur samar dengan wangi herbal dari teh s**u jahe yang ia siapkan tadi. Beberapa menit kemudian, suara riak air menjadi lebih jelas. Lidia menoleh — dan seketika jantungnya berdegup kencang. Roby sedang berenang menuju tepi, lalu mendorong tubuhnya keluar dari kolam dengan gerakan luwes. Air mengalir menuruni kulitnya, membentuk garis-garis bening yang mengikuti lekuk otot perut dan d**a. Ia hanya mengenakan celana renang ketat warna hitam, tanpa ada pakaian lain yang menutupi. Lidia menelan ludah. Ia pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, tapi entah mengapa kali ini terasa berbeda. Mungkin karena kini mereka pernah berbagi ciuman panas, ketika tangannya dengan sadar menelusuri kulit perut hingga ke d**a Roby… Kenangan itu membuat darahnya berdesir. Dan saat matanya — tanpa sengaja — tertuju pada bagian bawah tubuh pria itu, ia tercekat. Celana renang yang ketat itu menampilkan dengan jelas sebuah gundukan yang membuat otaknya langsung berkhianat. Wajahnya memanas. Astaga, Lidia… ini akibat kebanyakan baca novel dewasa, pikirnya sambil cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain. Roby yang tak menyadari badai pikiran Lidia berjalan mendekat, langkahnya mantap di lantai marmer yang sedikit basah. Begitu ia berdiri di hadapan Lidia, perempuan itu lekas meraih cangkir teh s**u jahe di meja. "Silakan diminum, Pak," ucapnya sopan, nada suaranya sedikit bergetar meski ia berusaha menahannya. Roby menerima cangkir itu dengan anggukan singkat. "Terima kasih," katanya sebelum meneguk isinya. Aroma jahe hangat menguar di antara mereka. Setelah setengah cangkir habis, Roby menyerahkannya kembali. Lidia menerimanya hati-hati, lalu meletakkannya kembali di meja. Tanpa banyak bicara, Lidia mengambil dua handuk putih dari kursi rotan di belakangnya. Ia melangkah mendekat. "Ini handuknya, Pak," ujarnya sambil menyodorkan satu handuk pada Roby. Pria itu menerimanya dengan tenang, mulai mengelap bagian d**a dan lengannya. Sementara itu, Lidia meraih satu handuk lainnya dan — dengan sedikit ragu — mengangkat tangannya untuk membantu mengeringkan rambut Roby. Jari-jarinya terasa hangat meski terbungkus handuk, bergerak pelan di antara helai rambut basah yang masih meneteskan air. Beberapa tetes air jatuh ke ujung jemarinya, membuat kain handuk sedikit lembap. Roby hanya berdiri diam, sesekali mengusap wajahnya sendiri, seolah ini hal biasa baginya. "Kamu bawa semua berkas yang tadi saya minta?" tanyanya, nada suaranya datar namun tidak dingin. "Sudah, Pak. Ada di tas saya. Nanti setelah Bapak istirahat dan makan siang, saya bisa menyerahkannya," jawab Lidia, masih fokus mengusap rambut Roby. Sesekali tangannya secara tak sengaja menyentuh kulit leher Roby yang licin karena air, membuat dirinya nyaris menahan napas. Roby mengangguk singkat. "Baik. Besok pagi kita review dulu, baru saya tanda tangani." "Baik, Pak," jawabnya cepat. Begitu selesai, Lidia menurunkan handuk, melangkah setengah mundur untuk memberi jarak. Namun tetesan air di bahu Roby yang belum kering membuatnya kembali maju tanpa berpikir, mengelapnya dengan hati-hati. Gerakan itu begitu dekat hingga ia bisa mencium samar aroma sabun yang bersih bercampur kaporit. Roby tetap tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Bagi dia, mungkin ini hanya bentuk profesionalisme seorang sekretaris yang teliti. Tapi bagi Lidia, setiap sentuhan kecil terasa seperti percikan listrik yang berusaha ia sembunyikan di balik ekspresi formalnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN