Bab 12

1644 Kata
Lidia melangkah pelan mengikuti Roby keluar dari kamar, jemarinya meremas halus kaincelana yang ia kenakan—seperti cara sederhana untuk menyalurkan kegugupan yang sejak tadi berputar di dadanya. Napasnya berusaha ia atur, namun entah kenapa terasa sedikit kacau setelah kejadian di kamar Roby tadi. Aroma segar sabun mandi yang masih melekat di tubuh Roby samar-samar tercium, setiap kali jarak mereka tanpa sengaja menjadi terlalu dekat. Roby berjalan santai di depannya, langkahnya mantap, bahunya sedikit bergerak mengikuti ayunan tangan. Rambutnya yang masih sedikit basah mulai mengering, meninggalkan titik-titik air kecil yang menggelinding pelan dari leher hingga menghilang di balik kain kaos abu-abu yang baru saja Lidia ambilkan untuknya tadi. Meski Roby darmawan hanya mengenakan kaos sederhana dan celana santai, aura tenang namun tegasnya tetap terasa kuat, seolah pakaian hanyalah lapisan luar yang tak mengubah wibawa alaminya. Lidia berjalan di sisinya, mencoba menyesuaikan langkah. Namun pikirannya kembali terjebak pada momen singkat di kamar tadi—sentuhan jemarinya yang tanpa sengaja bersentuhan dengan kulit hangat Roby saat membantu pria itu mengenakan kaos. Wangi tubuhnya, kilau air di rambutnya, dan tatapan singkat yang seolah membekas lebih lama dari seharusnya. Ia bahkan tak sadar ada senyum samar di bibirnya yang muncul setiap kali memutar ulang momen itu di kepalanya. Saat mereka mulai menuruni tangga, Roby berjalan sedikit di depan, langkahnya mantap dan tanpa ragu. Lidia, yang pikirannya masih melayang, melangkah sedikit lebih lambat. Pandangannya tertuju ke lantai, namun tidak benar-benar memperhatikan anak tangga di depannya. Suara langkah Roby di sisinya justru menjadi seperti latar yang membuat lamunannya makin dalam. Hingga— Tumitnya terpeleset di permukaan anak tangga yang licin. “A—!” serunya tertahan, napasnya tercekat. Mendengar suara teriakan Lidia membuar refleks Roby bekerja secepat kilat. Tangannya langsung meraih pinggang Lidia dengan kuat, tubuhnya bergerak maju satu langkah untuk menahan bobot tubuh wanita itu. Dalam satu gerakan mantap, ia menarik Lidia ke arahnya. Tubuh Lidia terhuyung, lalu jatuh tepat di dalam dekapan Roby. Dad4 mereka saling bertemu, kain tipis kaos Roby menempel pada kulit Lidia melalui lapisan blusnya yang juga tipis. Panas tubuh pria itu menyusup melalui jarak yang hampir tidak ada, membuatnya menyadari betapa dekatnya mereka sekarang. Lidia bisa merasakan detak jantung Roby—kuat, teratur, namun tidak sepenuhnya tenang. Degup itu menekan lembut ke dadanya setiap kali ia menarik napas, membuat napasnya sendiri menjadi tak teratur. Wajah mereka hanya terpisah beberapa senti. Lidia bisa melihat jelas setiap garis tegas di rahang Roby, helai-helai rambutnya yang mulai kering namun masih lembap di beberapa bagian, hingga tetes kecil air yang meluncur dari pelipisnya ke sisi leher. Tatapan mata Roby, gelap dan dalam, menatapnya beberapa detik yang terasa seperti menit. Tangan Roby yang menahan pinggangnya terasa kokoh, seakan tak akan membiarkannya jatuh. Tangan satunya bertumpu di punggungnya, telapak lebar itu menutup sebagian besar lengkung tubuhnya, memberi sensasi aman sekaligus membuat darahnya mengalir lebih cepat. “Maaf… saya tidak melihat anak tangganya,” suara Lidia keluar pelan, nyaris seperti bisikan, disertai senyum gugup yang ia paksakan. Roby tidak langsung merespons. Hanya menatapnya sejenak, lalu suaranya terdengar rendah, dalam, namun dengan nada yang tak sepenuhnya dingin. “Hati-hati, Lidia.” Hangat napasnya menyentuh kulit wajah Lidia, membawa aroma teh s**u jahe bercampur wangi sabun yang familiar. Saat d**a mereka bergesekan karena tarikan napas yang tak sinkron, Lidia merasakan sensasi yang sulit dijelaskan—bukan sekadar terkejut, tapi juga… nyaman. Perlahan, Roby melepaskan pelukannya pada Lidia. Namun genggaman tangannya di pinggang Lidia tidak langsung hilang begitu saja, ia memastikan Lidia benar-benar berdiri stabil sebelum tangannya dilepaskan. “Ayo,” katanya datar, “makan siang sudah menunggu.” Lidia hanya mengangguk, menunduk sedikit untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Mereka melanjutkan langkah menuruni tangga, kali ini Roby sedikit berjalan di sisi dalam seolah memastikan tidak akan ada lagi kejadian seperti tadi. Begitu sampai di ruang makan, aroma ayam kecap langsung menyambut. Wangi manis gurih bercampur dengan uap hangat dari sup jagung, serta aroma tumis buncis yang segar. Meja makan sudah tertata rapi; piring, sendok, dan gelas berbaris sempurna. Bu Ratmi dan Sari berdiri di dekat dapur, tersenyum melihat tuannya datang. “Silakan duduk, Pak,” ucap Lidia sambil menarik kursi di ujung meja untuk Roby. Roby mengangguk singkat dan duduk dengan tenang. Lidia lalu duduk di kursi sebelah, tetap menjaga jarak sopan meski sisa kehangatan dari pelukan tadi masih terasa di kulitnya. “Sepertinya saya bisa menebak,” ujar Roby sambil mengambil sendok. Lidia tersenyum kecil, menunduk. “Semoga anda menyukainya.” Roby mulai mencicipi. Gerakannya sederhana, namun ada jeda singkat saat ia mengunyah, seolah benar-benar menikmati rasa yang familiar. “Hm… rasanya sama seperti terakhir kali kamu masak,” ucapnya akhirnya. Ucapan singkat itu cukup membuat d**a Lidia terasa hangat. “Saya senang kalau anda menyukainya,” jawabnya tulus. Bu Ratmi menuangkan air mineral ke gelas Roby, sementara Sari menambahkan nasi di piringnya. Roby hanya mengangguk kecil, lalu menambahkan lauk dengan cara yang khas—selalu menyisakan ruang di piring, kebiasaannya jika ingin mencicipi semua hidangan. “Sup jagungnya juga enak,” komentar Roby setelah beberapa sendok. “Kamu pakai resep yang sama?” “Sedikit berbeda, Pak. Saya tambahkan kaldu ayam kampung agar rasanya lebih gurih,” jawab Lidia. Roby mengangguk lagi, kembali melanjutkan makan. Tidak ada ekspresi berlebihan, tapi Lidia tahu dari caranya menghabiskan lauk bahwa pria itu benar-benar menikmati makan siangnya saat ini. ***** Setelah makan siang usai, Lidia berjalan menuju ruang kerja Roby sambil membawa berkas tebal yang tadi pagi sempat diminta oleh pria itu untuk ia bawa ke rumahnya. Langkah Lidia nampak teratur, namun ada sedikit rasa gugup yang entah kenapa muncul begitu ia mendekati pintu ruang kerja pria itu. Perlahan tangan Lidia terulur meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Kakinya langsung melangkah emmasuki ruangan tersebut dan tidak lupa menutup kembali pintu yang ia buka tadi. Roby sedang duduk tegap di belakang meja kerjanya ketika Lidia masuk. Cahaya matahari menjelang sore terlihat menerobos lewat tirai jendela yang berada di sisi samping meja kerja Roby, menerangi sisi wajahnya yang tengah serius menatap sebuah dokumen di tangannya. “Ini berkas yang anda minta,” ujar Lidia sambil berjalan mendekat ke arah Roby. Roby mengangkat kepala, menatapnya sejenak, lalu menatap berkas yang dipegang Lidia tersebut. “Terima kasih. Taruh saja di sini.” Ia menunjuk sisi meja, namun begitu Lidia meletakkannya, Roby terlihat langsung menarik berkas itu ke hadapannya dan mulai membacanya lembar demi lembar. Lidia berdiri di sampingnya, memperhatikan bagaimana pria itu memberi tanda di beberapa halaman dengan stabilo, sambil sesekali mengernyit seperti sedang menimbang sesuatu. “Pak Roby, bagian data keuangan di halaman 12 itu sudah saya revisi sesuai arahan kemarin,” kata Lidia, berusaha membantu. Roby mengangguk tanpa menoleh. “Bagus. Tapi ini di tabel terakhir masih ada sel kosong. Tolong nanti cross-check lagi dengan data gudang.” “Baik.” Lidia mencatat di memo kecil yang ia bawa. “Dan…” Roby membalik halaman berikutnya, jarinya mengetuk kolom tertentu, “pastikan laporan pengeluaran bulan lalu sesuai dengan invoice yang kita pegang. Jangan sampai ada selisih lagi.” Lidia sedikit mencondongkan tubuh, mencoba melihat jelas bagian yang dimaksud. “Kalau yang ini, sudah saya cek kemarin. Selisihnya hanya karena pembulatan nilai kurs.” Roby menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Oh, begitu. Bagus kalau kamu sudah periksa.” Suasana hening sebentar, hanya terdengar suara kertas yang dibalik. Beberapa menit kemudian, Lidia merasa sudah tak ada lagi yang perlu ia tunggu di situ. “Pak, saya… izin mau ke toilet sebentar.” Roby hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen. “Silahkan.” Lidia melangkah menuju kamar kecil yang memang berada di dalam ruang kerja itu. Setelah menyelesaikan urusannya, ia hendak keluar dari kamar kecil tersebut, namun perhatiannya terseret ke sudut ruangan mandi yang terpisah di bagian dalam toilet itu. Di rak samping keran shower, ia melihat botol sabun cair berwarna gelap. Pikirannya langsung melayang pada aroma tubuh Roby yang khas. Ada rasa ingin tahu—sabun apa yang kira-kira biasa digunakan oleh pria itu? Ia melangkah mendekat, meraih botol itu, membaca labelnya sebentar. Namun saat akan meletakkannya kembali, sikunya tak sengaja menyentuh tuas keran. Suara “klik” disusul semburan air deras dari atas membuatnya terlonjak kaget. “Ah!” teriaknya spontan. Suara teriakan Lidia yang cukup kencang tentu saja menarik perhatian Roby yang sedang membaca beberapa dokumen. Dengan panik pria itu langsung berdiri dari duduknya dan berlari kecil menuju area kamar mandi. Pintu kamar mandi langsung terbuka, dan Roby masuk dengan langkah cepat. “Lidia?! Ada apa—” Matanya langsung menangkap sosok Lidia yang berdiri di bawah guyuran air. Rambut wanita itu basah kuyup, blus putihnya menempel pada tubuh karena basah oleh air. Ia mendekat tanpa ragu, mencoba memutar tuas keran, namun air justru semakin deras. “Shower ini memang jarang saya pakai… kayaknya macet,” gumam Roby sambil berusaha menahan aliran air yang terus mengalir. Kali ini tidak hanya membasahi tubuh Lidia, melainkan juga tubuh Roby. Air yang terus mengalir membuat lantai semakin licin, menyebabkan Lidia kehilangan keseimbangan. “Pak—” suaranya nyaris panik saat tubuhnya miring ke belakang. Refleks, Roby melangkah maju untuk mengurangi jaraknya dengan Lidia dan meraih pinggang wanita itu dengan cepat. Tarikan itu membuat tubuh Lidia terhempas ke dadanya, dad4 mereka saling menekan erat dan menempel sempurna. Telapak tangan Roby yang besar menempel di sisi pinggang Lidia, dan karena blus wanita itu tersibak oleh tarikan gerakan, kulit pinggangnya langsung bersentuhan dengan kulit telapak tangan Roby. Sentuhannya hangat yang membuat tubuh Lidia seperti terbakar meski tubuh mereka basah kuyup saat ini. Degup jantung Roby terasa jelas di d**a Lidia yang menempel. Napas mereka nyaris bertemu karena jarak wajah yang hanya beberapa senti saja. Aroma sabun maskulin dari tubuh Roby bercampur dengan wangi tipis parfum Lidia di udara yang mulai lembap. Air dari shower mulai melemah, tinggal tetesan-tetesan yang jatuh pelan, tapi mereka belum bergerak. Blus tipis Lidia kini menempel sempurna, membentuk lekuk tubuhnya, dan bra hitam yang ia kenakan tercetak jelas di balik kain tipis blus yang Lidia kenakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN