Tetesan air terakhir jatuh dari ujung shower, tetapi derasnya debar di d**a Lidia sama sekali belum mereda.
Posisi Lidia dan Roby masih sama. Tangan Roby masih bertahan di pinggangnya, menyentuh kulit yang terbuka di bawah blusnya yang tersingkap. Sentuhan itu terasa hangat meski kain di tubuh mereka dingin karena basah. Ada getaran halus yang merambat dari titik itu, membuat perutnya seperti terikat simpul yang semakin kencang setiap kali jari Roby bergerak sedikit di area kulitnya.
Lidia menatap wajah Roby yang begitu dekat, hanya berjarak beberapa senti dari pandangan matanya. Ada bayangan serius di mata pria itu, tidak lagi dingin dan terukur seperti biasanya, melainkan penuh ketegangan yang menuntut. Seakan ada sesuatu yang sudah terlalu lama ia tahan.
Bohong jika Roby mengatakan ia tidak terpengaruh dengan berbagai sentuhan antaranya dengan Lidia setelah ciuman mereka malam itu. Roby selama ini hanya berusaha menahan diri, mempertahankan sikap profesional di antara mereka sebagai sekretaris dan atasan. Namun, dalam situasi mereka saat ini, entah kenapa pertahanan pria itu kembali diuji.
Rambut Lidia yang basah membuat beberapa helai menempel di pipi dan lehernya. Ia juga bisa merasakan tatapan Roby menelusuri jalur air yang jatuh dari lehernya ke bahu yang sedikit terekspos karena baju yang ia kenakan saat ini sedikit berantakan hingga menampilkan tali bra pada area bahu.
Ketika jarak di antara mereka semakin lenyap, entah siapa yang mengawali lebih dulu, bibir mereka akhirnya bertemu. Awalnya, ciuman itu seperti bisikan—hanya sentuhan ringan, hati-hati, seakan mereka berdua masih menguji keberanian masing-masing. Namun setiap detik yang berlalu membuat ciuman tersebut mulai bergerak semakin dalam. Bibir Roby menekan lebih kuat, hangatnya membuat Lidia seperti tenggelam dalam kelembutan kenyal bibir Roby. Ia merasakan detak jantung Roby di dadanya, seirama dengan napasnya yang semakin berat.
Napas Lidia tercekat setiap kali Roby sedikit mengubah sudut ciuman mereka, memberi tekanan di sudut bibirnya, lalu menariknya kembali hanya untuk kembali menghampiri bibirnya lagi. Ada rasa yang manis dan membuai, namun juga intens dan menguras tenaga, membuat keduanya lupa di mana mereka berada.
Tanpa sadar, tangan Lidia bergerak melingkar di leher Roby, menariknya lebih dekat kepala pria itu, seakan mencoba memperdalam ciuman mereka. Ia tak ingin jeda, tak ingin kehilangan kehangatan itu.
Roby semakin dibuat frustrasi. Rasa manis dan lembut bibir Lidia seakan menghilangkan segala pertahanan dan akal sehatnya. Ia semakin mengisap kuat dan melumat cepat bibir Lidia. Membuat Lidia bahkan mengerang beberapa kali di tengah ciuman mereka yang terasa begitu dalam dan memabukkan.
Di tengah ciuman panas yang terus terjalin tanpa henti, tangan Roby tidak tinggal diam. Tangan yang semula melingkari pinggang Lidia mulai bergerak perlahan ke area belakang, menelusup di balik kain blus yang basah dan menempel erat di tubuhnya. Jari-jarinya menyentuh kulit punggung Lidia, gerakannya lembut namun penuh tekanan, membuat Lidia merasakan sensasi panas yang berlawanan dengan dinginnya air yang membasahi tubuhnya saat ini.
Belaian tangan Roby mampu menghilangkan akal sehat keduanya, rasa panas yang menjalar memberikan efek yang membakar tubuh mereka, sekana menarik hasrat alami yang ada dalam diri mereka.
Ciuman mereka mulai terlepas ketika Roby merasa mereka butuh waktu untuk menarik napas. Namun, tidak berhenti sampai di situ, bibir Roby tetap bergerak, menelusuri area pipi Lidia, turun ke rahang, dan dengan gerakan menggoda mengecup lembut area belakang telinga Lidia.
Sensasi ciuman Roby di area-area tersebut membuat Lidia menggigit kuat bibirnya, menahan lolosnya desahan akibat sentuhan yang membuat seluruh area tubuhnya merinding namun tetap menikmati.
Bibir Roby tidak berhenti sampai di situ. Ia mulai bergerak menelusuri kulit leher Lidia, menyesap aroma tubuh Lidia yang baru ia sadari ternyata sangat menggoda dan begitu nikmat. Kecupan-kecupan panas terus Roby berikan di seluruh area kulit leher hingga bahu yang terekspos karena blus yang dikenakan oleh Lidia mulai melorot hingga ke area dadanya.
Tangan Roby yang terus bergerak di area tubuh Lidia, membuat tanpa sadar blus yang Lidia kenakan sudah tidak berbentuk, bahkan bra hitam yang menutupi area dadanya mulai tampak terlihat oleh pandangan mata Roby.
Puas menikmati area bahu dan leher Lidia dengan bibirnya, Roby kembali bergerak ke atas, kembali meraup bibir Lidia yang tetap menjadi tempat favoritnya. Kali ini ciumannya lebih kuat dan dalam, keduanya bergerak bersama saling menyesap dan melumat, merasakan kelembutan dan manis bibir satu sama lain.
Tangan Roby yang berada di area belakang punggung Lidia semakin berani bergerak. Kali ini bukan hanya mengusap lembut kulit punggung, ia mulai mengincar area pengait bra yang dikenakan Lidia, butuh usaha beberapa saat sebelum akhirnya pengait bra tersebut berhasil dilepaskannya.
“aaaakkkksssssss.”
Lidia tidak bisa menahan erangan dan desahan di tengah ciumannya dengan Roby, ketika salah satu tangan pria itu bergerak ke area depan dadanya dan mulai masuk ke balik bra yang dikenakan Lidia setelah pengaitnya dilepaskan.
Tangan Roby mulai bergerak memberikan gerakan memijat di area gundukan d**a Lidia yang terasa lembut dan begitu pas di telapak tangannya, membuat tubuh Lidia semakin dibuat kacau oleh sensasi memabukkan itu.
Untungnya satu tangan Roby masih memeluk erat pinggang Lidia saat ini. Jika tidak, mungkin tubuhnya sudah melorot ke lantai karena tidak lagi memiliki tenaga untuk menopang dirinya di tengah berbagai sensasi yang menyerangnya bertubi-tubi.
Merasa keduanya membutuhkan oksigen saat ini untuk bernafas, Roby kembali melepaskan ciuman mereka. Kali ini ia tidak bergerak ke area leher Lidia. Wajahnya tetap diam, menatap Lidia yang berada tepat di hadapannya, dalam pelukan hangatnya.
Keduanya saling menatap, dengan kondisi napas yang terengah-engah setelah ciuman panas di antara mereka.
Sunyi.
Hanya suara deru napas dan hembusan angin dari ventilasi yang terdengar di telinga mereka. Keduanya tidak bersuara, hanya diam dan berusaha membaca tatapan satu sama lain di tengah hasrat yang masih saling menggebu-gebu.
Merasa sudah cukup mengambil napas, Roby kembali bergerak mendekatkan wajahnya, bersiap kembali meraup bibir Lidia yang entah kenapa begitu menarik dirinya.
“Tuan Roby.”
Suara Bu Ratmi dari luar kamar kecil menghentikan gerakan Roby yang sudah akan kembali mencium Lidia.
Lidia sempat melihat ekspresi panik di mata pria itu, namun hanya sebentar. Beberapa saat kemudian Roby sudah kembali mengontrol ekspresi wajahnya. Sorot mata dingin dan wajah datar sudah kembali ia tampilkan.
“Saya di toilet Bi. Ada apa?” teriak Roby.
“Maaf Tuan, saya dari tadi nyariin Mba Lidia. Soalnya ada tukang paket yang datang nganter paket pesanannya,” ujar Bu Ratmi dari luar.
Roby melirik Lidia sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangan ke arah pintu. “Terima saja paketnya Bi. Nanti biar saya yang sampaikan ke Lidia.”
“Baik Tuan.”
Setelah jawaban dari Bu Ratmi, keadaan kembali hening. Beberapa detik kedua insan manusia yang masih saling menempel itu hanya diam, seakan tengah mencerna apa yang sudah terjadi di antara mereka. Tubuh mereka masih saling menempel tanpa jarak, dengan kondisi bagian atas tubuh Lidia sudah hampir benar-benar terbuka.
Roby perlahan melepaskan pelukannya pada Lidia, mundur beberapa langkah untuk memberi jarak di antara mereka.
“Rapikan dulu pakaian kamu,” ucap Roby akhirnya. Nada suaranya datar namun terdengar sedikit bergetar. Ia memalingkan wajah ke arah lain, seakan memberi ruang bagi Lidia untuk merapikan dirinya.
Lidia dengan cepat bergerak. Ia kembali memasang pengait bra-nya, kemudian merapikan blus yang ia kenakan. “Su…sudah pak,” jawab Lidia terbata, menunduk malu tidak berani menatap Roby.
Roby kembali menatap Lidia. Pakaian yang ia kenakan memang sudah kembali rapi membalut tubuh wanita itu. Namun, kondisi pakaian yang basah membuat bra yang dikenakan Lidia masih tampak tercetak jelas dalam pandangan Roby. Hal itu membuat tubuh pria itu tanpa sadar kembali terasa panas karena hasrat yang terpancing, mengingat kembali tangannya yang bergerak di area tersebut.
Dengan cepat tangan Roby bergerak menarik handuk yang tergantung di tembok dan menyerahkannya pada Lidia. “Pakai ini.”
Lidia tentu sadar alasan Roby memberikan handuk padanya. Dengan cepat ia meraih handuk tersebut dan langsung menggunakan benda itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya.