Bab 14

1641 Kata
Sore itu, langit Jakarta mulai berwarna oranye pudar, pertanda matahari akan segera tenggelam. Lidia sudah kembali ke apartemennya jauh lebih cepat dari biasanya. Padahal, di hari Minggu, hampir ia selalu menghabiskan waktu hingga malam di rumah Roby—atasannya yang tak pernah berhenti membuat pikirannya bergejolak. Tapi hari ini berbeda. Setelah kejadian di kejadian di kamar mandi, ciuman panas yang cukup brutal diantara mereka, Roby malah menyuruhnya pulang lebih cepat tanpa mengatakan apapun lagi. Apartemen terasa begitu sunyi ketika ia masuk. Lidia tidak repot menyalakan lampu. Entah kenapa, remang-remang sore yang menyusup dari celah tirai justru membuatnya lebih nyaman, seolah menyembunyikan rona panas di wajahnya yang masih tersisa sejak kejadian tadi. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang di ruang tengah, membiarkan tubuhnya meringkuk di bawah selimut tebal yang memang selalu ia letakkan di sana. Kain selimut itu hanya sedikit mampu menahan rasa hangat yang merambat dari dadanya. Pikirannya kembali ke momen di rumah Roby. Ciuman itu… sentuhan itu… tatapan mata pria itu yang dekat sekali. "Kenapa kepikiran terus sih sama kejadian itu? Astaga… ini jantung gue bisa-bisa meledak. Kira-kira kali ini alasan ciumannya itu apa ya? Kebetulan atau emang keinginan? Lidia menutup mata rapat-rapat, tapi sensasi itu semakin jelas: d**a Roby yang terasa kokoh saat bersentuhan dengannya, napas pria itu yang hangat di pipinya, dan bibirnya… oh, bibirnya yang terasa hangat namun penuh kendali. Semakin ia mencoba mengusir ingatan itu, semakin ia merasa tubuhnya memanas, merayap hingga ke wajahnya. "Tolong… berhenti mengingatnya, Lid… Lo bisa mati kebakar kalau terus nginget kejadian tadi…" Suara pintu terbuka dari luar memecah lamunannya. Lidia menoleh pelan. Dari balik pintu, muncul Amanda sahabat dan teman satu apartemennya itu. Ia membawa tas kerja dan menenteng kamera kecil yang selalu menemaninya sebagai wartawan lapangan. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena seharian dikejar deadline kerjaan, memburu berita tanpa henti. “Gue kira lo masih di rumah Pak Roby,” ujar Amanda, suaranya terdengar heran sekaligus cemas. Ia meletakkan tasnya di meja dekat pintu sambil memandang sahabatnya yang terbungkus selimut di sofa. “Kok gelap-gelapan gini? Lo sakit, Lid?” Lidia menggeleng pelan, tapi tidak menjawab cepat. Amanda berjalan mendekat, lalu menyalakan lampu kecil di sudut ruang tengah. Cahaya hangat itu langsung mengungkapkan wajah Lidia yang merah dan tatapannya yang seperti memikirkan seribu hal. “Eh… serius, lo kenapa? Ada masalah di kerjaan?” tanya Amanda sambil duduk di ujung sofa, mengamati ekspresi Lidia yang jelas menyimpan sesuatu. Lidia menghela napas panjang, menarik selimutnya hingga menutupi sebagian wajah. “Bukan masalah kantor…” jawabnya lirih. Amanda menaikkan sebelah alis. “Kalau bukan kantor, pasti… masalah hati.” Ia tersenyum nakal, tapi tatapannya penuh perhatian. “Jadi, ceritakan. Apa yang terjadi di rumah bos lo kali ini?” Lidia menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar. Ia menatap sahabatnya sebentar, lalu menunduk. “Kami… eh… gue dan Pak Roby… tadi… kami… berciuman lagi.” Mata Amanda langsung membesar. “Hah? Lagi? Kalian ciuman untuk kedua kalinya?!” Tanya Lidia dengan suara keras menggebu-gebu. Lidia buru-buru melambaikan tangannya. “Ssst… jangan keras-keras. Nanti tetangga dengar.” Amanda tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya. “Lo lupa kalau apartemen kita kedap suara?” gerutu Amanda. “ udah cepetan,ceritain semuanya!” Lidia menghela napas lagi, lalu mulai menceritakan. Ia menuturkan kejadian di mana ia masuk ke dalam toilet hendak buang air kecil. Karena rasa penasaran ia menghampiri area shower untuk melihat merek sabun yang sering digunakan Roby. Bodohnya hal itu malah membuatnya merusak keran air dan membuatnya basah kuyup, hingga akhirnya Roby masuk ke dalam untuk membantunya, dan ciuman itu pun terjadi. Namun, Lidia hanya menceritakan bagian ciuman. Tidak ada sepatah kata pun tentang sentuhan tangan Roby di area tubuhnya terutama dadanya. Bagian itu ia simpan rapat-rapat, terlalu malu untuk diungkapkan pada Amanda. Amanda mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangkat alis dan menahan tawa. “Waduh… ini beneran cuma kebetulan, atau dia memang mulai nggak bisa nahan rasa sama lo?” godanya. Lidia menunduk lagi, menyembunyikan wajahnya di balik selimut. Amanda semakin tertawa melihat reaksi Lidia yang nampak menahan malu padanya. “Beneran deh, kayanya dia mulai tergoda sama lo.” Lidia dengan ragu menurunkan kembali selimut yang menutupi kepalanya, ia menatap Amanda dengan ekspresi ragu. “Lo yakin dia mulai tertarik sama gue. Gimana kalau ternyata itu Cuma nafsu belaka” “Kalau lo ngerasa dia cuma mau manfaatin lo dengan melampiaskan hasratnya, ya udah jauhin dia aja. Kalau udah kelewat batas, ya resign,” ujar Amanda santai. Lidia tentu saja keberatan, wajahnya nampak tidak terima dengan saran yang diberikan oleh sahabatnya. Dan tentu saja Amanda sangat paham maksud ekspresi wajah tersebut. “kenapa? Nggak rela jauh dari bos kesayangan lo itu?” Tanya Amanda lagi. Dengan wajah memelas Lidia memberikan anggukan pelan. Membuat Amanda menghembuskan nafas kasar, merasa bingung dengan sahabatnya ini. “Kadang-kadang gue heran deh sama lo,” ujar Amanda. “Oke gue akuin Pak Roby kaya dan tampan. Tapi nggak sedikit orang yang tahu kalau ia itu hanya manusia dingin berhati batu. Dia tegas bahkan kelewat tegas sama orang lain di sekitarnya, bahkan sama keluarganya sendiri. Tapi anehnya lo bisa sejatuh cinta itu sama dia.” “Namanya juga hati,” gumam Lidia pelan. “Ya tapi aneh aja Lidia. Lo itu cantik, identitas lo sebagai Putri Satyawira bahkan bisa bikin lo ngedapetin pria-pria yang gak kalah hebat daripada Roby Dermawan. Tapi, kenapa lo milih bertahan bertahun-tahun jadi sekretaris dia?” Lidia terdiam, merasa tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Amanda. “Woy, kok diem sih?” Tanya Amanda sambil melambaikan tangannya di wajah Lidia. Lidia nampak menarik nafas panjang sebelum akhirnya berdiri dari duduknya. “Gue mau mandi dulu,” ucapnya berjalan menuju kamar, mengabaikan pertanyaan terakhir yang diajukan Amanda padanya. “Aneh banget sih dia?” Gumam Amanda menatap bingung punggung Lidia yang berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu kamar wanita itu. ***** Malam mulai merangkak naik di luar jendela, mengusir sisa cahaya jingga yang tadi sempat menghangatkan langit. Dari balkon kamarnya, Roby berdiri tegak, kedua tangannya terselip di saku celana, menatap hamparan kota yang mulai diselimuti lampu-lampu. Angin sore yang berubah dingin menyapu wajahnya, namun tidak cukup untuk mengusir rasa hangat yang entah kenapa masih melekat di tubuhnya. Pikirannya kembali ke kejadian tadi siang—terlalu mudah untuk diingat, terlalu sulit untuk diabaikan. Ciuman itu. Intens, panjang, dan nyaris membuatnya lupa siapa dirinya. Selama ini, ia sangat yakin bahwa Lidia hanyalah bagian dari “mesin kerja”-nya. Seorang sekretaris pribadi yang efisien, pintar membaca situasi, dan tahu persis bagaimana menyederhanakan kekacauan di balik meja kerjanya. Bagi Roby, Lidia adalah komponen—alat yang memastikan sistemnya berjalan sempurna, bukan lebih. Atau setidaknya… begitu yang ia yakini. Kini, keyakinan itu mulai goyah. Sejak malam pertama kali mereka berciuman—yang bahkan terjadi di luar rencananya—ada sesuatu yang pelan-pelan mengganggu pikirannya. Ia mencoba menutup mata, mengabaikan, menganggapnya hanya kebetulan. Namun hari ini, setelah pelukan di tangga dan ciuman yang sama sekali tak bisa dihentikan, ia mulai menyadari sesuatu yang tidak ingin ia akui: ia masih seorang laki-laki normal. Dan Lidia… adalah wanita yang terlalu mudah memancing sisi itu. Kecantikannya tidak meledak-ledak, tapi justru memikat lewat cara yang lebih berbahaya—diam-diam, halus, tapi meninggalkan bekas. Senyumnya yang kadang terpaksa, tatapannya yang fokus tapi menyimpan keraguan, bahkan cara ia berdiri ketika menunggu perintah. Semuanya beberapa hari ini seperti menjadi detail yang tak sengaja tersimpan di benak Roby, dan sulit dihapus. Ia menarik napas panjang, berusaha mengembalikan pikirannya ke hal-hal yang lebih rasional. Namun, bayangan Lidia dengan rambut basah, pipi memerah, dan bibir yang sedikit bengkak karena ciumannya, kembali menyusup tanpa permisi. Suara dering ponsel memecah lamunannya. Nada itu terdengar tegas dan agak mengganggu di tengah keheningan. Roby mengerjap, lalu merogoh saku celananya. Layar ponsel menampilkan nama yang cukup ia kenal—dokter pribadinya. Dengan helaan napas berat, ia menggeser ikon hijau. “Ya?” suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Roby, Gimana kondisi kamu akhir-akhir ini? Kamu rutin minum obat kan?” suara di ujung telepon terdengar ramah, tapi tegas. Roby bersandar di kusen pintu balkon, menatap langit yang kini benar-benar gelap. “Iya. Saya minum. Setiap hari,” jawabnya, nada suaranya menunjukkan ia ingin pembicaraan ini cepat selesai. Dokter itu tidak langsung percaya, seperti biasa. “Jangan bohong,Roby. Saya tahu kamu kadang lupa, atau bahkan mengabaikannya.” “Tidak,” Roby menekankan, “Saya minum.” Entah kenapa, ia merasa perlu mempertahankan jawaban itu, meski sebenarnya ia memang sering mengabaikan hal ini. Di seberang, dokter menghela napas. “Baiklah. Kalau begitu… akhir-akhir ini apa kamu masih sering diganggu mimpi itu?” Roby terdiam sejenak. Pertanyaan itu seperti menarik sesuatu dari dalam dirinya yang selama ini ia simpan rapat-rapat. “Mimpi itu tidak pernah hilang,” ucapnya akhirnya, perlahan namun pasti. “Selalu ada. Setiap malam.” “Dan… masih sama seperti dulu?” Roby tersenyum tipis, meski tak ada kebahagiaan di sana. “Tidak pernah berubah. Sama. Persis.” Ia menatap jauh ke arah kelap-kelip lampu kota. Tidak ada seorang pun selain dokter ini yang tahu, bahwa ia sudah hampir satu dekade tidak pernah merasakan tidur nyenyak. Tidurnya selalu singkat—tiga atau empat jam paling lama—dan itu pun dibantu obat tidur yang diresepkan. Tanpa obat, ia bahkan mungkin tidak akan bisa memejamkan mata. Mimpi itu… mimpi yang ia tidak pernah mau ia ceritakan pada siapa pun. Bukan karena ia tidak bisa, tapi karena hanya membicarakannya saja sudah seperti menyalakan kembali api yang selama ini ia paksa padam. Di ujung telepon, dokter memberi beberapa nasihat standar—tentang pola makan, olahraga ringan, dan pentingnya menjaga pikiran tetap tenang sebelum tidur. Roby hanya menjawab singkat-singkat, lalu menutup panggilan dengan sapaan singkat. Kini ia kembali sendirian, berdiri di ambang balkon, membiarkan malam menelannya. Angin dingin menyentuh wajahnya, namun pikirannya tidak menjadi lebih ringan. Ada dua hal yang kini mengisi benaknya—mimpi yang tak pernah mau pergi, dan Lidia… yang mungkin, tanpa ia sadari, mulai mengetuk sisi lain dalam dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN