Roby melangkah masuk ke kamarnya dengan langkah berat, seakan setiap tapak kakinya menekan lantai dengan beban pikiran yang tak terlihat. Lampu temaram dari meja kerja di sudut ruangan memantulkan cahaya kekuningan yang hangat, namun sama sekali tak mampu mengusir rasa lelah yang membayang di wajahnya. Garis rahang tegasnya terlihat makin tegang, sementara matanya tampak redup—terbebani sisa kejadian siang tadi yang tak mau pergi dari kepala.
Dengan gerakan pelan, ia meraih kerah kaos yang menutupi tubuhnya, lalu menariknya melewati kepala. Kain itu meluncur turun, meninggalkan kulit dadanya yang hangat dan kencang terpapar udara kamar. Di bagian punggungnya, terhampar bekas luka bakar yang memudar, guratan tak beraturan yang menjadi saksi bisu masa lalunya. Bertelanjang d**a memang sudah menjadi kebiasaannya sebelum tidur—bukan hanya demi kenyamanan, tapi juga karena panas tubuhnya yang jarang mereda bahkan di malam hari.
Roby kemudian berjalan menuju meja kecil di samping ranjang. Jemarinya yang besar namun lentur menyentuh permukaan botol obat tidur, mengguncangnya sebentar. Suara gemericik pil di dalam botol terdengar samar namun jelas di ruang yang hening. Bibirnya menghembuskan napas berat sebelum ia membuka tutup botol itu, mengeluarkan satu butir, dan meletakkannya di lidah. Gelas berisi air di meja ia raih dengan tangan kiri, lalu meneguknya perlahan hingga pil itu meluncur masuk.
Suara halus gesekan kaca dengan permukaan meja terdengar ketika ia menaruh kembali gelas itu. Bagi Roby, suara itu seperti sinyal penutup hari—tanda bahwa malam ini ia menyerah pada rasa lelah, membiarkan obat mengambil alih kesadarannya.
Ia mematikan lampu di meja kerja, membiarkan hanya sisa cahaya dari lampu tidur di samping ranjang. Roby merebahkan tubuhnya, punggungnya bertemu kasur yang empuk namun terasa dingin. Selimut ia tarik hingga menutupi d**a bidangnya, matanya perlahan terpejam. Keheningan malam mulai merayap masuk, membungkus tubuhnya dalam diam yang rapuh.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama.
Hanya butuh dua jam bagi sebuah mimpi untuk menganggu tidurnya.
Bahu Roby mulai bergerak gelisah, napasnya tak lagi berirama, memburu seolah ia sedang berlari di dalam tidurnya. Keningnya berkerut dalam, garis-garis tegang tercetak jelas di wajahnya. Jemarinya menggeram pelan, seperti mencoba meraih sesuatu yang tak pernah benar-benar ada. Keringat mulai membasahi pelipisnya, mengalir tipis ke sepanjang leher, menetes hingga membentuk jejak di d**a.
Di balik kabut mimpi itu, telinganya menangkap suara jeritan. Bukan sekadar jeritan biasa—suara itu nyaring, menusuk, dan penuh rasa takut. Suara seorang anak perempuan.
“Roby! Tolong aku!”
Suara itu pecah di tengah tangis, memanggil namanya berulang kali, memaku tubuhnya di tempat meski ia tak tahu harus ke mana.
Roby terbangun mendadak. Matanya terbuka lebar, napasnya memburu, dadanya naik-turun cepat seperti habis dikejar sebuah bayangan menakutkan. Pandangannya menatap kosong ke langit-langit kamar beberapa detik, berusaha memisahkan mana yang nyata dan mana yang hanya mimpi. Seluruh tubuhnya kaku, dingin meski keringat membasahi kulit.
Dengan perlahan, pria itu duduk di tepi ranjang, satu tangan terangkat menekan keningnya yang berat, mencoba meredakan denyut di sana. Ia mengusap wajahnya, namun rasa sesak di d**a tak kunjung pergi.
Tidur lagi jelas bukan pilihan bagi Roby. Ia tahu—ia selalu tahu—bahwa jika kelopak matanya kembali menutup, mimpi itu akan menunggunya di balik sana, siap menyeretnya kembali. Dan malam ini, ia tidak sanggup menghadapinya lagi.
Tatapannya melirik jam dinding di seberang. Jarum panjang baru melewati angka dua. Pukul dua dini hari.
Tanpa berpikir panjang, Roby bangkit. Ia mengenakan jubah tidur berwarna gelap, membiarkan bagian dadanya tetap terbuka, lalu melangkah keluar dari kamar. Rumahnya sunyi, hanya denting jam antik di ruang tamu yang sesekali memecah keheningan. Dengung pendingin ruangan terdengar halus, hampir menyatu dengan napasnya sendiri.
Ruang kerja menyambutnya dengan aroma khas kertas, tinta, dan sedikit bau kopi basi yang tertinggal di cangkir di pojok meja. Lampu meja ia nyalakan, menimbulkan lingkaran cahaya hangat di atas permukaan kayu yang penuh berkas. Ia duduk di kursi kulit hitamnya, punggungnya bersandar tapi pikirannya tetap tegak, siaga.
Di hadapannya, tumpukan laporan menunggu. Laporan yang seharusnya ia bahas besok bersama Lidia. Tangannya mulai membuka halaman pertama, matanya menelusuri angka-angka, membuat catatan singkat di pinggir. Setiap goresan pena terdengar jelas di tengah sunyinya malam, seolah suara itu satu-satunya hal yang membuktikan ia masih terjaga.
Sesekali, matanya berhenti di satu titik. Pikirannya melayang kembali ke suara tangisan di mimpinya tadi. Ada rasa sesak yang membeku di dadanya, rasa yang ia benci karena membuatnya tampak lemah di hadapan dirinya sendiri.
Waktu berjalan tanpa ia sadari. Saat menoleh ke jam meja, jarum pendek hampir menyentuh angka lima. Kepalanya mulai terasa berat, nyeri berdenyut seakan memukul dari dalam.
Ia meraih ponsel di samping laptop. Jemarinya bergerak pelan di atas layar, mengetik pesan singkat:
From Roby : Datang ke rumahku dulu sebelum kita ke kantor besok. Tolong buatkan teh s**u jahe. Kepalaku berat.
Ia membaca sekali lagi sebelum menekan tombol kirim. Pesan itu terlihat sederhana, tapi entah mengapa, hanya membayangkan Lidia datang dengan secangkir teh s**u jahe hangat buatan tangannya, sudah cukup membuat dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Ponsel ia letakkan kembali di meja. Di luar, langit mulai memucat, cahaya pertama fajar merayap perlahan di antara celah tirai. Namun bagi Roby, malam ini terasa belum benar-benar berakhir—dan mungkin, tak akan pernah berakhir sepenuhnya.
*****
Pagi masih terlalu muda. Langit di luar jendela kamar Lidia berwarna biru pucat, nyaris polos, hanya dihiasi sedikit gurat jingga yang merambat pelan di ufuk timur. Udara di dalam kamar terasa dingin, dibalut aroma lembut sabun dari sprei yang baru diganti dua hari lalu. Di meja samping ranjang, ponsel bergetar pelan, hampir malu-malu, tapi cukup untuk memecah keheningan yang begitu rapat.
Lidia sedang tertelungkup di atas bantal, satu tangan terlipat di bawah pipinya, rambutnya yang panjang terurai tak beraturan menutupi sebagian wajah. Napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, memberikan kesan lelap yang tenang. Namun getaran itu datang berulang—ritmis, tak sabar—membuat kelopak matanya perlahan terbuka, seperti tirai yang disibakkan dari dalam.
Dengan gerakan malas, ia meraba sisi bantal. Ujung jarinya menyentuh dinginnya permukaan kaca ponsel. Gerakan yang sudah begitu otomatis, seperti kebiasaan yang tertanam dalam kesehariannya. Begitu layar menyala, cahaya putihnya membuat matanya menyipit. Di sana, satu notifikasi menunggu, singkat namun langsung menarik perhatiannya. Nama pengirimnya muncul jelas di bagian atas: Pak Roby Darmawan.
Ia mengusap layar, membaca cepat pesan yang tertera.
From Roby : Datang ke rumahku dulu sebelum kita ke kantor. Tolong buatkan teh s**u jahe. Kepalaku berat.
Secepat embun menguap tersapu sinar matahari, sisa kantuknya langsung menghilang setelah emmbaca pesan tersebut. Lidia terduduk, punggungnya tegak, pandangannya terpaku pada teks di layar seakan kata-kata itu bisa memberi petunjuk lebih dari sekadar yang tertulis. Hatinya mulai berdetak sedikit lebih cepat—bukan karena perintah itu sendiri, tetapi karena orang yang mengirimkannya.
Tanpa bisa dicegah, pikirannya melayang pada kejadian kemarin. Ciuman yang entah bagaimana bisa terjadi diantara mereka, dan yang lebih memalukan sentuhan fisik diantara mereka terlalu intens. Wajahnya langsung terasa hangat, bahkan di udara pagi yang masih cukup dingin. Ia menutup mata, menarik napas dalam, mencoba menegakkan dinding rapuh yang memisahkan dirinya dari segala hal yang tidak profesional. Ia adalah sekretaris Roby. Itu garisnya. Dan ia harus berdiri di sisi yang tepat dari garis itu.
Namun waktu tidak menunggu. Lidia bangkit cepat, kaki telanjangnya menyentuh lantai yang dingin, membuatnya sedikit merinding. Di kamar mandi, air keran yang mengalir membasuh wajahnya, menyapu sisa kantuk dan rasa panas yang belum mau pergi. Cermin di depannya memantulkan sosok perempuan yang berusaha merapikan rambutnya, memilih pakaian kerja yang rapi namun tetap nyaman untuk hari panjang.
Sepuluh menit kemudian, Lidia sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan tas kerja di tangan. Dari arah dapur terdengar suara Amanda, sahabatnya, “Lid, sarapan dulu! Aku udah masak—”
“Aku ada urusan penting. Nggak usah, ya!” sahut Lidia cepat sambil berjalan, suaranya cukup keras untuk terdengar tapi tanpa jeda untuk penjelasan.
Begitu sampai di luar gedung apartemen, udara pagi langsung menyentuh kulit wajah Lidia. Ada aroma dedaunan basah dan sedikit wangi tanah setelah embun. Perjalanan menuju rumah Roby hanya memakan waktu beberapa menit, tapi cukup untuk membuat Lidia mencoba menata napas—meskipun pikirannya tetap penuh, sebagian berisi kekhawatiran, sebagian lagi berisi sesuatu yang tak mau ia beri nama.
Lidia langsung memesan taxi online untuk mengantarnya ke rumah Roby.
Memasuki kawasan perumahan Roby, satpam di gerbang langsung mengenali Lidia ketika ia membuka kaca mobil yang ia tumpangi. Gerbang besar itu bergerak perlahan, terbuka dengan suara berderit ringan. Ia membalas sapaan ramah sang satpam dengan senyum singkat, lalu bergerak turun dari mobil yang berhenti di di halaman yang rapi dengan deretan tanaman hias terpangkas simetris.
Begitu keluar mobil, udara di halaman Roby terasa lebih segar, bercampur aroma bunga melati yang tumbuh di dekat teras. Di pintu depan, Bu Ratmi dan Sari sudah berdiri.
“Pagi, Mbak Lidia,” sapa Bu Ratmi sambil tersenyum ramah.
“Pagi, Bu. Pak Roby di mana?” tanyanya, sedikit terburu-buru.
“Sejak pagi di ruang kerja, Mbak. Nggak keluar-keluar,” jawab Bu Ratmi sambil melirik ke lorong dalam.
Lidia mengangguk singkat, lalu bergegas ke arah dapur. Tangannya bekerja nyaris tanpa berpikir—mengambil s**u segar dari kulkas, menyiapkan jahe yang sudah dibersihkan, madu dari rak kayu di sudut. Begitu irisan jahe mulai direbus, aroma hangatnya mengisi ruangan, membangkitkan rasa nyaman. Suara sendok mengaduk cairan lembut terdengar berirama, seperti dentingan kecil yang menyatu dengan keheningan rumah.
Beberapa menit kemudian, cangkir teh s**u jahe itu siap—uap tipisnya melayang perlahan, membawa aroma yang menenangkan. Lidia menggenggam cangkir itu dengan hati-hati dan melangkah menuju ruang kerja Roby.
Pintu ruang kerja itu tidak tertutup rapat; celah kecil di antaranya membiarkan cahaya lampu meja mengalir keluar. Saat ia masuk, pandangannya langsung jatuh pada sosok Roby di balik meja besar dari kayu gelap. Ia duduk di kursi kulit hitam, punggungnya sedikit membungkuk, pena di tangannya bergerak lambat di atas dokumen.
Ada sesuatu di sorot matanya pagi ini—berat, lelah, dan… jauh. Lidia mengenali tatapan itu. Selama tujuh tahun bekerja bersamanya, ia pernah melihatnya di pagi-pagi tertentu—pagi di mana Roby bangun dengan kepala penuh masalah. Bedanya, pagi ini sorot itu lebih dalam, seperti beban itu bukan hanya soal pekerjaan, tapi sesuatu yang menggigit dari dalam.
Lidia berdiri di ambang pintu beberapa detik lebih lama dari yang ia perlu, mencoba membaca bahasa tubuh atasannya itu. Ruangan itu hening, hanya diisi suara halus jarum jam dan desah napas Roby.