Lidia berdiri di ujung meja makan, memperhatikan sekali lagi setiap detail yang sudah ia susun. Cahaya pagi dari jendela besar menerobos masuk, memantul di permukaan gelas bening yang berisi jus jeruk segar. Aroma roti panggang yang baru keluar dari oven berpadu dengan wangi kopi hitam yang masih mengepul, mengisi udara dengan kehangatan yang menenangkan. Ada juga semangkuk kecil potongan buah yang warnanya mencolok—merah cerah stroberi, kuning nanas, dan hijau kiwi—tertata seperti lukisan yang hampir terlalu sayang untuk dimakan.
Sari, yang sejak tadi membantu menyiapkan semuanya, berdiri di sisi meja sambil merapikan lipatan tisu. Ia menatap hasil kerja mereka dengan puas, lalu melirik Lidia sambil tersenyum kecil.
“Wah, cantik sekali, Mbak. Kalau Tuan Roby sampai nggak selera makan, itu artinya beliau memang sudah kehilangan indera perasa,” ucap Sari, setengah bercanda, setengah serius.
Lidia tersenyum kecil, matanya tetap menyapu setiap sudut meja. “Terima kasih, Sari,” jawabnya singkat. Ia tidak menanggapi candaan itu lebih jauh. Ada terlalu banyak hal di pikirannya pagi ini.
“Aku pamit ke kamar Pak Roby dulu, ya. Siapa tahu dia butuh sesuatu sebelum turun.”
“Oh, iya, Mbak. Silakan,” balas Sari sambil mundur selangkah, masih memegang tisu yang kini sudah ia lipat sempurna.
Lidia mengambil iPad dari meja konsol dekat pintu, jemarinya cepat mengusap layar, memeriksa sekali lagi daftar agenda yang sudah ia susun untuk Roby. Langkahnya mantap menaiki anak tangga menuju lantai atas. Meski begitu, hatinya berdebar ringan. Sejak kejadian ciuman itu, mereka sama sekali belum membiacarakan hal itu. Atau mungkin tidak akan membicarakan hal tersebut.
Pintu kamar Roby sedikit terbuka ketika ia sampai. Lidia mengetuk perlahan dua kali, menunggu sepersekian detik, lalu masuk setelah tidak mendengar jawaban.
Pandangannya langsung tertuju pada punggung pria itu. Roby berdiri di depan lemari, tubuhnya tegap dengan garis bahu yang kuat. Kemeja putihnya setengah terpakai, kainnya jatuh longgar di punggung, memperlihatkan sebagian kulit.
Dan di sanalah Lidia melihatnya—bekas luka bakar yang samar namun jelas di mata yang jeli. Guratan merah kehitaman itu tidak beraturan, seperti jejak dari rasa sakit yang tak pernah ia ceritakan.
Sejenak, napas Lidia terhenti. Rasa sesak muncul tiba-tiba di dadanya, membayangkan seperti apa rasa sakit itu, dan apa yang harus dilalui Roby hingga bisa berdiri setegak sekarang.
Ia cepat-cepat memalingkan pandangan, berpura-pura mengamati sisi lain kamar agar Roby tidak menyadari ia memperhatikannya.
Roby, yang kini sedang mengancing kancing terakhir di bagian d**a, berbalik tanpa ekspresi yang berlebihan. “Ambilkan dasi,” ucapnya datar, suaranya terdengar seperti instruksi biasa.
“Oh, baik Pak,” sahut Lidia cepat, mencoba menutup jeda emosional di dalam hatinya.
Ia menuju walk-in closet, ruangan kecil yang rapi seperti toko pakaian pribadi. Koleksi dasi Roby tertata berderet berdasarkan warna, dari yang paling gelap hingga yang paling terang. Jemari Lidia menyusuri kain-kain halus itu, merasakan teksturnya di ujung jari, sebelum memilih satu dasi berwarna biru tua dengan garis tipis keperakan. Dasi itu akan terlihat sempurna dengan kemeja putih yang Roby kenakan.
Saat kembali, Lidia meraih ujung dasi, berniat membantu memasangkannya di leher Roby. Gerakannya otomatis, kebiasaan yang sudah ia lakukan selama bertahun-tahun bekerja dengannya. Namun sebelum ia sempat memutar kain itu, tangan Roby terangkat, menghentikan gerakannya.
“Nggak perlu. Saya bisa sendiri,” ucapnya singkat, matanya tidak menatapnya.
Ada rasa perih yang muncul di hati Lidia, singkat namun cukup untuk membuatnya menarik napas pelan. Ia tersenyum tipis, lalu menyerahkan dasi itu begitu saja pada Roby. Ia tahu alasannya—Roby sedang menjaga jarak. Entah untuk menormalkan hubungan kerja mereka, atau untuk menekan sesuatu yang ia sendiri enggan akui.
“Baik. Kalau begitu, saya mulai bacakan jadwal anda hari ini,” ucapnya, mencoba mengembalikan ritme profesionalnya.
Roby berdiri di depan cermin, tangannya cekatan memasang dasi, sementara Lidia memandang layar iPad-nya. “Jam sembilan ada rapat internal divisi manufaktur. Kemudian pukul sebelas, meeting singkat dengan bagian legal. Setelah makan siang, ada pertemuan dengan perwakilan dari PT Trinaya Energi di ruang rapat utama.”
Suara Lidia terdengar stabil, tapi hatinya bergetar sedikit sebelum akan mengucapkan nama itu. Riana Yasinta. Putri CEO PT Trinaya Energi.
Dalam benaknya, wajah Riana muncul jelas—rambut hitam berkilau yang selalu rapi, senyum percaya diri, dan tatapan mata yang menyiratkan kecerdasan sekaligus pesona. Ia ingat betul pertemuan tidak sengaja di pesta perayaan 50th Darma corp, bagaimana Roby yang biasanya dingin pada wnaita manapun yang terlihat ingin mendekatinya bisa terlihat lebih rileks saat berbicara dengan Riana Yasinta. Tidak ada sikap tertutup, tidak ada jarak yang Roby berikan seperti pada kebanyakan gadis yang mendekatinya. Seolah Riana punya cara sendiri untuk membuat pria itu nyaman.
“…dan untuk meeting dengan PT Trinaya, konfirmasi terakhir mereka tetap akan dihadiri langsung oleh Riana Yasinta,” lanjut Lidia, berusaha agar nadanya tidak berubah.
Roby menatapnya sekilas lewat pantulan cermin, ekspresinya datar dan sulit dibaca. “Baik. Pastikan semua data proyek mereka sudah di-update,” katanya.
Lidia mengangguk, mencatat instruksi itu di iPad-nya. Tapi dalam hatinya, bayangan pertemuan siang nanti sudah menimbulkan sedikit riak. Ia tahu ia tidak seharusnya merasa terganggu, tapi perasaan tidak tenang itu tetap ada, meski ia berusaha menekannya sedalam mungkin.
*****
Perjalanan menuju kantor dimulai tanpa banyak kata. Di luar, langit pagi masih dibalut semburat jingga tipis, pertanda matahari baru saja melewati garis cakrawala. Udara segar yang masuk melalui celah jendela mobil membawa aroma dedaunan basah dan aspal yang baru tersapu embun, bercampur samar dengan wangi maskulin parfum Roby—aroma yang Lidia sudah mulai kenali, meski ia berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.
Lidia duduk di kursi penumpang belakang, tepat di sisi Roby. Posisi mereka sejajar, hanya terpisahkan oleh jarak tipis yang seakan menjadi garis batas tak kasat mata. Batas itu tidak pernah dibicarakan, tapi selalu ada, seolah menjaga mereka agar tetap berada di jalur yang aman. Namun pagi itu, entah kenapa, jarak itu terasa lebih mudah untuk ditembus.
Roby tampak tenggelam dalam keseriusannya. iPad berada di tangan kirinya, sementara tangan kanan sesekali menggulir layar dengan gerakan mantap namun tidak tergesa. Matanya fokus, keningnya sedikit berkerut, bibirnya sesekali bergerak seakan membaca dalam hati. Lidia, di sisi lain, sibuk dengan tabletnya sendiri. Jemari lentiknya menari cepat di atas layar, memeriksa jadwal, mencatat agenda, dan memastikan setiap detail rapat sudah tersusun rapi.
Di sela kesunyian, suara Roby memecah udara. “Meeting dengan bagian manufaktur, jam sembilan, sudah confirm semua peserta?” Nada suaranya datar, tanpa menoleh.
“Sudah. Pak Damar juga akan hadir, sesuai konfirmasi terakhir,” jawab Lidia tenang, matanya tetap terpaku pada layar.
Roby hanya mengangguk kecil, matanya kembali ke iPad. Beberapa menit berlalu sebelum jemarinya berhenti menggulir. Pandangannya tertahan di satu halaman dokumen. Keningnya berkerut sedikit lebih dalam. “Ini data terbaru dari PT Trinaya? Angka proyeksi keuntungannya berubah dari terakhir saya lihat.”
Lidia spontan menoleh, ingin melihat bagian yang dimaksud. “Coba saya lihat,” katanya sambil sedikit menggeser duduknya. Gerakan itu membuat lututnya hampir menyentuh paha Roby. Ia condongkan tubuh ke arah pria itu, matanya menyusuri layar iPad. Dari jarak sedekat ini, aroma aftershave Roby menusuk lebih jelas, hangat dan tajam, membuat Lidia tanpa sadar menahan napas sebentar.
“Yang ini, kan?” ujarnya, telunjuknya menunjuk tepat pada bagian laporan yang dimaksud.
Roby baru saja hendak menjawab ketika tiba-tiba—cittt! Ban mobil berdecit keras. Tubuh mereka sama-sama terhentak ke depan saat sopir menginjak rem mendadak.
Lidia kehilangan keseimbangan. Dalam sepersekian detik, tubuhnya terdorong ke arah Roby, dadanya menghantam d**a bidang pria itu. Kepalanya terjatuh ke sisi leher Roby, dan yang lebih mengejutkan bibirnya secara tak sengaja menyentuh kulit hangat di sana dalam kecupan singkat yang tak diinginkan.
Roby terkejut, namun refleksnya lebih cepat. Tangannya terangkat, meraih pinggang Lidia, menariknya agar tidak jatuh lebih jauh. Gerakan itu membuat tubuh mereka terperangkap dalam pelukan singkat—begitu dekat hingga Lidia bisa merasakan degup jantung Roby yang kencang menekan dadanya. Napas mereka beradu, dan waktu seakan membeku di dalam kabin yang sunyi.
Lidia yang pertama tersadar dari keterkejutan itu. Wajahnya memanas, dadanya terasa sempit. Ia segera menegakkan tubuhnya, kembali ke posisi semula sambil menunduk dalam-dalam. “Maaf Pak…” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Roby melepaskan genggamannya perlahan, lalu merapikan jasnya. Ekspresinya tetap terkendali, tapi ada tarikan napas yang sedikit lebih panjang dari biasanya. Ia menoleh ke depan, menatap sopirnya dengan sorot mata tajam. “Lain kali hati-hati.”
Sopir itu buru-buru mengangguk dengan ekspresi wajah yang nampak menyesal, menatap sekilas lewat kaca spion. “Maaf, Pak, Bu. Ada kucing tiba-tiba nyebrang.”
Tak ada percakapan lanjutan. Hanya bunyi mesin dan deru roda yang kembali mendominasi. Lidia menatap keluar jendela, berusaha mengatur napas. Namun dari sudut matanya, ia menangkap sesuatu—noda tipis berwarna kemerahan di sisi leher Roby. Seketika ia membeku.
“Pak… di leher…” suaranya ragu, jemarinya terangkat sedikit, menunjuk samar kea rah lehernya sendiri.
Roby menurunkan iPad. “Apa?”
“Ada… lipstik saya,” jawab Lidia cepat, suaranya semakin kecil karena malu.
Roby meraba lehernya, mencoba menghapus noda itu dengan tangan, tapi usapan tangannya hanya membuat noda tersebut nampak samar. “Sudah?” Tanya Roby lagi.
“Belum pak. Atau mau saya bantu?” tanya Lidia tanpa berani menatap langsung sorot mata atasannya itu.
Roby menimbang sebentar sebelum mengangguk singkat. “Cepat saja.”
Lidia meraih tisu dari kotak di samping mereka, lalu membasahinya dengan sedikit air mineral. Ia mendekat pelan, menyentuhkan tisu ke kulit leher Roby. Sentuhan ringan itu membuat Lidia bisa merasakan hangatnya kulit pria itu, dan ketegangan ototnya yang menegang saat disentuh. Aroma parfumnya semakin kuat, bercampur dengan wangi kulit yang khas.
Ia mengusap pelan, hati-hati agar tidak menimbulkan rasa sakit. Tapi justru kehati-hatian itu membuat waktu terasa berjalan lebih lambat, dan Lidia sadar betul setiap detik yang ia habiskan begitu dekat dengannya.
“Sudah,” ucap Lidia akhirnya, cepat-cepat menarik tangannya.
“Terima kasih,” balas Roby singkat, kembali mengambil iPad seolah ingin mengakhiri momen itu.
Sisa perjalanan berlangsung dalam diam. Tapi diam itu berat—penuh dengan gema detak jantung dan pikiran yang berserakan. Lidia menatap keluar jendela, tapi pikirannya tetap tertahan di momen ketika tubuhnya terperangkap di pelukan Roby. Sementara Roby, dengan wajah tetap datar, menutup iPad di pangkuannya. Satu tarikan napas panjang lolos darinya, seakan ia sedang mencoba menghapus sesuatu yang tak tertulis di pikirannya.