Bab 17

1875 Kata
Mobil berhenti di basement kantor dengan gerakan halus. Begitu mesin mobil dimatikan terdengar suara pintu yang terbuka seperti jeda panjang di antara tarikan napas yang tertahan. Sopir nampak keluar dari dalam mobil dan berlari mengitari benda tersebut, untuk kemudian membukakan pintu belakang mobil. Roby turun lebih dulu. Gerakannya selalu sama—tepat, rapi, tanpa tergesa tapi juga tanpa membuang waktu. Sepatu kulitnya memantulkan suara langkah yang mantap di lantai basement yang dingin. Lidia mengikuti di belakangnya, sedikit menunduk sambil merapikan tas dan blazer. Ia tahu ekspresinya mudah dibaca, dan yang paling tidak ia inginkan sekarang adalah membiarkan sisa kekacauan pikirannya—yang sejak tadi berputar-putar sejak insiden di mobil—terlihat di wajah. Mereka berjalan beriringan menuju lift. Tak ada percakapan, hanya gema langkah dan suara lift yang bergerak di kejauhan. Udara basement terasa lembab, dan dinginnya entah kenapa membuat Lidia semakin sadar akan jarak fisik di antara mereka—cukup dekat untuk merasakan kehadiran, tapi terlalu jauh untuk menjangkau. Di dalam lift, mereka berdiri sejajar namun tetap menjaga ruang pribadi. Roby menatap angka di panel lift, wajahnya datar, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lidia, yang mencoba tidak terlalu mencolok, menangkap tatapan singkatnya dari pantulan dinding lift. Tatapan itu… sulit diuraikan. Ada sesuatu yang tersimpan di baliknya, sesuatu yang terasa seperti ia kenal tapi enggan diakui. Sesampainya di lantai kantor, mereka melangkah keluar hampir bersamaan. Beberapa staf menyapa singkat, dan Roby membalas dengan anggukan tipis, sementara Lidia hanya tersenyum formal. Mereka langsung menuju ruang rapat internal bersama divisi manufaktur. Ruangan itu sudah dipenuhi dokumen bertumpuk di meja, layar proyektor yang menampilkan grafik penjualan yang kompleks, dan aroma kopi yang mulai kehilangan panasnya. Suara kertas dibalik bercampur dengan bunyi klik-klik pena dan dengung pendingin ruangan. Lidia duduk di samping Roby, mencatat setiap poin yang disampaikan peserta rapat. Sesekali, ia mengangguk dan menjawab pertanyaan, suaranya tenang walau pikirannya masih tersisa di dalam mobil. Roby memimpin rapat dengan wibawa khasnya—suara rendah tapi tegas, tatapan tajam setiap kali membicarakan target yang meleset. Ia tidak meninggikan suara, tapi semua orang tahu, nada seperti itu sudah cukup membuat siapa pun merasa perlu memperbaiki kinerjanya. Dua jam berlalu. Begitu rapat selesai, peserta mulai berkemas, kursi bergeser, dan pintu terbuka-tutup saat orang-orang keluar. Roby berdiri dan berjalan menuju ruangannya tanpa banyak bicara. Punggungnya tegap, tidak sekali pun menoleh. Lidia kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di depan pintu ruangan Roby. Tangannya langsung bergerak di atas keyboard, memindahkan catatan rapat ke laporan digital. Suara deru keyboard berpadu dengan bunyi printer dari sudut ruangan dan percakapan ringan antar staf yang terdengar sayup. Waktu berjalan tanpa terasa, sampai Lidia menyadari tubuhnya mulai kaku—punggungnya terasa tegang, lehernya berat, dan matanya sedikit berkunang-kunang. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menarik napas panjang. Mungkin secangkir teh hangat akan membantu. Dengan langkah pelan, ia menuju pantry. Ruangan kecil itu selalu jadi tempat yang nyaman—aroma kopi dan teh bercampur, dengan tambahan wangi roti panggang yang tersisa dari sarapan staf. Di sana, ia menemukan tiga orang yang sudah akrab di telinganya: Adrian, Mesya, dan Fitria—anggota tim CEO yang juga dikenal jago menyimpan, sekaligus membongkar, gosip kantor. Mereka berdiri melingkar di dekat meja pantry, memegang cangkir masing-masing, tertawa kecil di sela-sela obrolan. Begitu melihat Lidia, ketiganya langsung menunjukkan senyum lebar, seperti menemukan bahan cerita baru. “Eh, Lidia! Pas banget,” sapa Mesya sambil melambai ringan. Lidia membalas dengan senyum sopan. “Lagi ngobrolin apa? Kok kelihatan seru banget.” Ketiganya saling pandang sebelum nyengir lebar—senyum yang biasanya jadi pertanda mereka menyimpan kabar panas. Adrian menurunkan suaranya dan mendekat sedikit. “Gosip panas, Lid. Dan ini bukan gosip sembarangan.” Tanpa diminta, Fitria dan Mesya ikut mendekat, lalu nyaris serempak menarik Lidia masuk ke dalam lingkaran mereka. Lidia sedikit terkejut, tapi membiarkan dirinya terhimpit di antara mereka. “Katanya,” Mesya memulai dengan nada dramatis, “Pak Bima Darmawan lagi nyiapin perjodohan buat Pak Roby.” Alis Lidia terangkat. “Perjodohan?” suaranya datar, tapi jantungnya mulai berdetak lebih cepat, seperti memberi alarm yang ia tak mau dengar. “Yap.” Adrian mengangguk mantap. “Dengan Riana Yasinta, putri Pak Aditya dari PT Trinaya Energi.” Mendengar nama itu, Lidia merasakan tarikan aneh di perutnya—sesuatu yang dingin, menekan. “Dari mana kalian dengar ini? Jangan-jangan cuma gosip iseng.” Mesya langsung menggeleng cepat. “Bukan lidia, berita ini dijamin valid. Yang cerita sekretarisnya Pak Bima sendiri. Dia denger langsung pembicaraan Pak Bima sama pak Aditya CEO-nya PT Trinaya.” Fitria menimpali, “Katanya sih rencana ini udah lama dibicarain, tapi baru mau serius sekarang. Logis aja, umur Pak Roby sebentar lagi tiga puluh. Wajar keluarganya pengen dia cepet-cepet nikah.” Kata-kata itu membuat telinga Lidia terasa panas. Ia mencoba mengatur ekspresi, memaksa senyum tipis yang rasanya kaku. Tangannya bergerak menuang air panas ke dalam cangkir, berharap uapnya bisa menyamarkan jemarinya yang sedikit bergetar. Adrian, yang tak menyadari perubahan kecil itu, malah menepuk bahunya pelan. “Kalau sampai rencana perjodohan itu benar, kamu malah enak loh Lid. Nggak perlu lagi dijadiin tameng buat ngusir cewek-cewek yang ngejar pak Roby.” Fitria tertawa kecil. “Iya, bener juga ya. Lidia nggak pelru lagi jadi target kebencian wanita-wanita yang gagal menarik perhatian pak roby.” “Lagian Bu Riana yasinta itu cantik banget, pintar, keluarga kaya. Pas banget sama Pak Roby. Mereka tuh mirip—cool, berkelas, elegan,” lanjut Fitria. Mesya mengangguk setuju. “Pokoknya pasangan sempurna deh. Kalau bener-bener jadi, wah… pasti geger beritanya.” Setiap kata yang keluar dari mulut mereka terasa seperti pisau tumpul yang digesek berulang di hati Lidia. Mereka tak tahu, setiap pujian untuk pasangan ‘sempurna’ itu justru membuat dadanya semakin sesak. Lidia hanya mengangguk pelan, pura-pura mendengarkan sambil tersenyum tipis. Tapi pikirannya sudah hanyut jauh—mengingat tatapan Roby di mobil, sentuhan singkat yang seharusnya tak pernah ada, dan noda lipstik yang jadi bukti kecil bahwa jarak di antara mereka pernah terlalu dekat. Kini, semua itu terasa rapuh, seperti pasir yang siap runtuh dihembus angin. ***** Langkah Lidia terasa berat ketika ia kembali ke mejanya, seakan kedua kakinya terbuat dari timah yang enggan diangkat. Suara obrolan ringan dari pantry masih terdengar samar di kejauhan, bercampur dengan bunyi dentingan sendok yang beradu dengan gelas kaca. Namun bagi Lidia, yang tertinggal hanyalah gema dari gosip yang baru saja menohoknya. Kata-kata Adrian, Mesya, dan Fitria seperti mengendap di udara, lalu jatuh menimpa dirinya berulang-ulang. Setiap frasa, setiap nada, memantul-mantul di kepalanya, membuat pikirannya tak tenang. Begitu duduk, tangannya yang dingin meraih ponsel di atas meja. Layar menyala, memantulkan bayangan wajahnya sendiri—pucat, tegang, dan sedikit sayu di sekitar mata. Ia membuka daftar kontak, jemarinya menggulir pelan, mencari satu nama yang kini terasa menjadi kunci jawaban dari semua kegelisahannya: Inara. Sekretaris pribadi Pak Bima Darmawan, orang yang kemungkinan besar tahu benar kebenaran di balik gosip yang ia dengar. Beberapa detik kemudian, ia menemukannya. Nama itu jelas terpampang di layar, hanya sejauh satu sentuhan untuk memulai panggilan. Namun, di saat ujung jarinya sudah hampir menekan tombol hijau, tubuhnya seakan membeku. Ada sesuatu yang mengganjal, rasa ragu yang menekan dadanya hingga sulit bernapas. Bagaimana kalau Inara merasa aneh? pikirnya. Selama ini semua orang di kantor tahu bahwa Lidia selalu menjaga jarak dari gosip, fokus sepenuhnya pada pekerjaan. Jika tiba-tiba ia menghubungi hanya untuk bertanya tentang hal ini, bukankah itu seperti memberi pengakuan diam-diam bahwa ia terganggu? Tarikan napasnya terdengar berat, seperti mencoba mengatur badai di dalam d**a. Perlahan, ia menekan tombol samping ponsel, memadamkan layar, lalu meletakkannya kembali di meja. Tidak, ia tidak akan bertanya. Setidaknya, belum sekarang. Lidia mencoba menegakkan punggung, menarik napas panjang, dan memusatkan mata pada layar komputer. Tangannya bergerak meraih mouse siap untuk kembali bekerja. Tapi baru saja jemarinya menyentuh mouse, suara tuk… tuk… tuk… terdengar di ujung koridor. Suara hak sepatu yang mantap, berirama, seperti langkah seseorang yang terbiasa diperhatikan setiap kali memasuki ruangan. Langkah itu semakin mendekat, dan Lidia otomatis mengangkat wajahnya. Di hadapannya kini berdiri seorang wanita yang sulit diabaikan. Rambut hitamnya panjang, jatuh lurus hingga melewati punggung, berkilau seperti helaian sutra yang baru disisir. Kulitnya cerah dengan rona lembut, seperti terpapar cahaya pagi. Bibirnya merah mawar, berpadu sempurna dengan riasan mata yang tipis namun mampu memancarkan tatapan tegas. Gaun kerja ramping berwarna krem membalut tubuhnya dengan rapi, menonjolkan siluet anggun yang tidak berlebihan. Di atasnya, blazer tipis senada jatuh tepat di garis pinggang, menambah kesan profesional namun tetap feminin. Sepasang sepatu hak tinggi nude menjadikan langkahnya makin elegan, dan di pergelangan tangan kirinya, jam tangan emas tipis berkilau setiap kali ia menggerakkan tangan. Lidia tidak perlu bertanya siapa dia. Nama yang baru saja disebut-sebut di pantry kini hadir nyata di depannya—Riana Yasinta. Meski perasaan di dadanya mendadak turun drastis, Lidia memaksakan sebuah senyum ramah. “Selamat siang, Bu Riana. Wah, saya kira jadwal meeting dengan PT. Triyana masih agak lama. Kenapa anda datang lebih awal?” suaranya dibuat setenang mungkin, meski ia sadar nadanya sedikit kaku. Riana tersenyum ringan, senyum yang tidak terlalu lebar namun mengisyaratkan kendali diri. “Saya memang sengaja datang lebih awal. Kebetulan ada waktu luang.” “Oh… begitu,” Lidia menahan diri agar nadanya tidak terdengar terlalu kaget. “Mohon maaf, Bu. Saat ini Pak Roby masih ada pekerjaan dan setelah itu beliau harus makan siang dulu sebelum jadwal pertemuan. Mungkin Ibu ingin menunggu di ruang tunggu, atau bisa kembali nanti?” Namun Riana tetap berdiri tenang, dengan nada santai yang membuat Lidia sedikit terkejut. “Oh, tidak perlu. Saya sudah mengabari Roby sebelumnya. Kami memang berencana makan siang bersama dulu sebelum jadwal meeting.” Kalimat itu terasa seperti seutas tali yang tiba-tiba melilit d**a Lidia, menarik erat hingga ia sulit bernapas. Mengabari… sebelumnya? Sejak kapan mereka punya komunikasi pribadi seperti itu? Bahkan dirinya, sekretaris pribadi Roby, tidak pernah mendengar rencana ini. Apakah mereka memang sudah mulai semakin dekat setelah pesta ulang tahun ke-50 Darma Corps malam itu? Ada rasa getir yang mulai merambat di d**a Lidia, namun ia buru-buru menekannya di balik topeng profesional. “Kalau begitu, mohon izin sebentar. Saya akan menghubungi Pak Roby terlebih dahulu untuk memastikan.” Riana mengangguk santai, senyumnya tetap terjaga—dan entah kenapa, bagi Lidia, senyum itu terasa seperti sebuah pernyataan kemenangan. Lidia berbalik, meraih telepon meja, menekan nomor internal Roby yang sudah ia hafal. “Pak, Bu Riana sudah tiba,” ucapnya dengan nada datar. Yang mengejutkannya, suara Roby di seberang terdengar tenang, seolah semua ini sudah menjadi bagian dari rencana. “Suruh dia langsung masuk ke ruangan saya.” Sejenak Lidia terdiam. “Baik, Pak.” Telepon ditutup. Dengan langkah terukur, ia berdiri lalu menoleh pada Riana. “Silakan, Bu.” Riana melangkah dengan elegan menuju pintu ruang Roby, aroma parfumnya yang lembut dan mahal tertinggal di udara seperti jejak yang sengaja dibiarkan. Saat pintu tertutup perlahan di belakangnya, suara klik kunci pintu itu terdengar jelas bagi Lidia, meski mungkin hanya kebetulan. Dan pada detik itu, Lidia merasakan sesuatu yang dingin menancap di dadanya—bukan luka yang mengeluarkan darah, tapi tetap membuatnya nyeri hingga sulit berpura-pura kuat. Ia kembali duduk di kursinya, memandang layar monitor yang kini hanya menjadi hiasan. Pikirannya melayang jauh dari pekerjaannya, tertinggal pada fakta pahit bahwa seseorang baru saja masuk begitu mudah ke ruang—dan mungkin juga ke hati—pria yang selama ini terasa tak tersentuh baginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN