Bab 18

1964 Kata
Siang itu, restoran kecil di sudut Jalan Cendana nampak ramai dan hidup. Dentingan sendok dan garpu terdengar bersahut-sahutan, bercampur tawa pelan dari meja-meja lain. Dari dapur, aroma bawang putih tumis, oregano, dan roti panggang yang baru keluar dari oven menguar, memenuhi udara di sekitar restoran tersebut. Lidia duduk di meja yang menempel pada dinding kaca besar, menghadap langsung ke jalanan yang ramai dengan kendaraan dan pejalan kaki. Sinar matahari jatuh miring, menembus kaca, memantulkan warna keemasan di permukaan meja kayu yang dipoles licin. Di hadapannya, sepiring pasta aglio olio tersaji, dihiasi taburan parsley dan parutan keju yang masih meleleh pelan. Uap tipis masih naik dari permukaannya, namun sedari tadi Lidia hanya mengaduk-aduk pasta itu dengan garpu, seakan mencari sesuatu di antara mie yang berkilau oleh minyak zaitun. Wajahnya menyimpan gurat resah—alis yang sedikit berkerut, bibir yang terkatup rapat, dan tatapan yang mengembara entah ke mana. Seolah ada badai kecil yang berputar di kepalanya, sulit diusir meski ia sudah mencoba mengalihkannya. Amanda, yang duduk di seberang, memerhatikannya dengan ekspresi campuran antara cemas dan geli. Ia menyandarkan punggung di kursi, memutar sendok di antara jari-jarinya, lalu mengangkat alis. Ketika dirinya abru selesai liputan di lapangan, Lidia tiba-tiba menelponnya dan mengajak dirinya makan siang bersama. Hal yang sangat jarang dilakukan wanita itu, mengingat ia selalu menemani atasannya Roby Darmawan makan siang bersama klien. “Oke, jujur aja… lo mau sampai kapan diem kayak gini? Pasta itu dari tadi nggak berkurang satu suap pun, Lid,” katanya, nadanya ringan tapi matanya penuh selidik. Lidia mengangkat kepala pelan, memberi senyum tipis yang bahkan tidak menyentuh matanya. “Gue cuma… nggak terlalu lapar.” Amanda mencondongkan tubuhnya sedikit, bibirnya menyunggingkan senyum nakal. “Nggak lapar… atau nggak mood makan gara-gara Pak Roby makan siang sama Riana Yasinta?” Ia mengucapkan nama itu dengan nada yang dibuat-buat, seperti sedang menyebut tokoh antagonis dalam drama. Gerakan garpu di tangan Lidia langsung berhenti. “Gue nggak mau mikirin itu,” jawabnya lirih, meski sorot matanya mengkhianati perasaan sebenarnya. ‘Nggak mau mikirin itu? Tapi beberapa detik setelah kita ketemu, lo langsung dengan menggebu-gebu ceritain hal itu ke gue Lidia Putri,” ujar Amanda penuh penekanan. Lidia hanya bisa menghela nafas dengan raut masam yang terpancar di wajahnya. Amanda terkekeh pendek, lalu menurunkan suaranya, seolah hendak membisikkan rahasia besar. “Lid, gue tahu lo lagi sebel. Dan gue sangat ngerti kenapa lo sebel. Tapi dengerin gue… ini bukan berarti lo harus mundur.” “Mundur dari apa?” Lidia mencoba terdengar polos, padahal ia tahu betul kemana arah pembicaraan ini. “Mundur dari kesempatan,” jawab Amanda mantap. Ia meletakkan sendoknya, menatap Lidia lekat-lekat. “Kesempatan buat bikin Roby Darmawan sadar kalau lo itu… bukan cuma sekretarisnya. Lo itu perempuan, Lid. Dan gue yakin dia itu tertarik sama lo. Kalau nggak, dia nggak bakal ngerespon waktu lo—” Amanda berhenti sebentar, bibirnya tertarik lebar—“cium dia,” lanjutnya. Lidia langsung merasakan pipinya panas. “Itu… itu kan cuma ketertarikan fisik Amanda. Ciuman itu sama sekali nggak berhubungan sama perasaannya dia” ucapnya cepat, nada suaranya seperti orang yang mencoba meyakinkan diri sendiri. Amanda mengangkat bahu santai. “Ketertarikan fisik atau apapun itu, yang penting dia ngerespon. Dan respon kayak gitu nggak bisa hanya karena ketertarikan fisik tanpa ada perasaan yang bermain di sana, apalagi kalian udah kerja bareng selama tujuh tahun. Pak Roby itu profesional banget, gue tahu. Dia nggak mau nyampurin urusan kantor sama pribadi. Makanya dia masih jaga jarak. Tapi itu cuma masalah waktu… dan sudut pandang.” “Sudut pandang?” Lidia mengulang, suaranya datar tapi matanya sedikit menyipit. “Iya.” Amanda mengambil gelas lemon tea-nya, menyesap sedikit sebelum melanjutkan. “Sekarang di kepalanya, lo itu bagian dari sistem kerjanya. Penting, tapi ya cuma bagian dari mesin. Nah, tugas lo sekarang adalah bikin dia lihat lo sebagai wanita. Buat dia sadar kalau lo ini seseorang yang bisa dia kagumi, hargai, dan…” ia tersenyum penuh arti, “…cintai.” Lidia menunduk, jemarinya memainkan gagang garpu. “Kedengarannya gampang kalau lo yang ngomong, tapi… papa dia udah rencanain perjodohan sama Riana Yasinta. Itu kan udah jelas.” Amanda mendengus pelan. “Itu baru rencana, Lid. Belum kejadian. Selama belum kejadian, peluang lo masih besar. Lo udah kenal dia luar-dalam. Lo tahu cara dia berpikir, apa yang dia suka, apa yang bikin dia marah. Itu modal yang nggak dimiliki siapa pun, apalagi Riana Yasinta.” “Kalau gue udah usaha dan dia tetap nggak mau lihat gue selain sebagai sekretarisnya?” suara Lidia nyaris seperti bisikan, nyaris tertelan riuh suara restoran. Amanda menggeleng pelan, menatapnya seperti seorang kakak yang sedang menegur adik yang keras kepala. “Kalau lo nyerah sekarang, dia nggak akan pernah punya kesempatan buat lihat lo dari sisi lain. Lid, kalian itu udah cocok banget kerja bareng. Siapa yang bilang kalian nggak bisa cocok juga sebagai pasangan? Apalagi dia udah punya ketertarikan secara fisik sama lo.” Lidia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Di luar, motor dan mobil berlalu-lalang, sesekali bunyi klakson memotong keheningan di kepalanya. Kata-kata Amanda bergema di pikirannya, menciptakan riak yang membuatnya gelisah. Antara harapan dan ketakutan, antara keinginan dan keraguan. Suasana meja itu mendadak terpotong oleh suara dering ponsel yang nyaring. Nada dering itu terasa menusuk telinga Lidia, membuatnya refleks menoleh ke ponsel yang tergeletak di samping piring. Layarnya menyala, menampilkan satu kata yang membuat perutnya menegang saat itu juga: Mama. Pandangannya membeku di layar itu. Jemarinya terhenti, menggenggam ponsel tanpa menekan apa pun. Amanda melirik dari seberang meja. “Lo nggak mau angkat?” tanyanya hati-hati. Lidia tidak langsung menjawab. Ada ketegangan halus di wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mendengar kabar yang membuatnya waspada. Entah kenapa, setiap telepon dari orangtuanya selalu membuat napasnya terasa berat. Jarang sekali kabar dari sana membawa rasa lega. Lebih sering… tuntutan. Permintaan. Harapan yang kadang terasa seperti beban. Matanya tetap terpaku pada layar ponsel, sementara nada dering terus berbunyi, menyusup ke dalam pikirannya seperti detik jam yang menghitung mundur. Dan di tengah restoran yang penuh tawa dan aroma sedap itu, Lidia hanya duduk diam, terperangkap antara rasa enggan dan rasa wajib, menatap satu nama yang menggantungkan beban di dadanya. ***** Lidia duduk di kursi belakang taksi, tubuhnya sedikit condong ke arah jendela. Kedua tangannya menggenggam ponsel erat, seakan benda itu adalah jangkar terakhir yang menahannya di dunia yang aman. Di layar, tampak pesan terakhir yang baru saja ia kirim pada Roby: From Lidia : Saya izin tidak kembali ke kantor hari ini. Semua laporan yang harus diperiksa sudah saya kirim lewat email." Hanya satu kalimat singkat, tapi proses mengetiknya terasa seperti menempuh jarak maraton. Setiap kata lahir dengan jeda, disertai tarikan napas dalam yang seolah menunda detik ketika ia akhirnya menekan tombol send. Saat pesan itu terkirim, jantungnya berdetak lebih cepat—bukan karena takut dimarahi, melainkan karena ia tahu kalimat sederhana itu menandai sebuah keputusan: mundur sementara dari dunia yang selama ini ia pilih untuk membentengi dirinya dari masa lalu. Lidia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang yang berusaha ia buat selembut mungkin, lalu menutup ponsel. Kepalanya disandarkan ke jok, pandangannya kini kosong menatap atap mobil. Namun, pikirannya justru bergerak liar, dipenuhi potongan kenangan yang berusaha menerobos masuk. Perjalanan taksi itu terasa seperti ritual yang telah lama ia hindari. Dari kaca jendela, ia melihat gedung-gedung tinggi dan hiruk pikuk jalanan perlahan berganti menjadi kawasan yang lebih sunyi. Deretan rumah besar mulai bermunculan, berjajar rapi di sepanjang jalan. Aspal mulus memantulkan cahaya matahari siang yang lembut. Pagar-pagar besi tinggi menjulang, pepohonan rindang tertata seperti barisan prajurit yang menjaga rahasia di balik dinding. Sopir taksi mengurangi kecepatan saat mobil berbelok ke sebuah jalan masuk yang lebih lebar. Di hadapannya, sebuah gerbang besi berwarna hitam berdiri kokoh. Sensor otomatis mendeteksi nomor plat, kemudian pintu gerbang bergerak perlahan, membuka jalan bagi mereka untuk masuk. Begitu mobil melewati gerbang itu, perasaan asing menyusup ke d**a Lidia. Ia bisa melihat seluruh halaman rumah yang membentang luas, rumputnya hijau rata seperti permadani. Di ujungnya, berdiri rumah bercat putih gading dengan pilar-pilar tinggi menopang balkon lantai dua. Jendela-jendela besar berbingkai kayu mahoni memantulkan cahaya, sementara tanaman rambat menjuntai anggun di sisi dinding. Rumah itu tampak tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali ia meninggalkannya… dan justru itulah yang membuat napasnya terasa berat. Taksi berhenti tepat di depan teras. Suara rem yang berdecit pelan seolah menegaskan kenyataan bahwa perjalanan ini benar-benar membawanya kembali. “Sudah sampai, Mbak,” ujar sopir sambil menoleh ke belakang. Lidia tersentak kecil, buru-buru meraih tasnya, menyodorkan sejumlah uang, dan mengucapkan terima kasih singkat. Ia membuka pintu dan melangkah keluar. Suara klik tumit sepatunya terdengar jelas saat menyentuh lantai marmer halaman depan. Udara beraroma melati yang berasal dari taman seolah menyapa… tapi bukannya memberi ketenangan, justru menimbulkan rasa sesak di d**a. Pintu rumah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Di sana berdiri sosok wanita paruh baya dengan rambut beruban yang disanggul rapi—Bu Karina. Kepala ART keluarga Satyawira, sekaligus pengasuh Lidia sejak ia bayi. “Non Lidia…” suara Bu Karina terdengar hangat, bergetar halus oleh kerinduan. Matanya berbinar, meski keriput di wajahnya menandakan perjalanan waktu yang panjang sejak terakhir mereka bertemu. Lidia mencoba tersenyum, meskipun rasanya lebih seperti gerakan refleks ketimbang ketulusan. “Halo, Bu Karina.” “Ayo masuk, Nak,” ucap Bu Karina lembut sambil sedikit menunduk. “Nyonya sama Mbak Laras sudah menunggu di ruang tengah.” Langkah Lidia mengikuti Bu Karina melewati lorong panjang yang terasa lebih sempit dari yang ia ingat. Dindingnya dipenuhi deretan bingkai foto keluarga. Ada potret dirinya di usia lima tahun, tersenyum lebar sambil memegang boneka; ada juga foto keluarga lengkap di perayaan ulang tahunnya yang ke-10, di mana Papanya berdiri tegak dengan tangan di pundaknya. Setiap gambar seperti membuka laci kenangan. Ruang tengah terbuka di hadapannya. Cahaya matahari masuk dari jendela besar, memantulkan kilau lembut pada meja kopi di tengah ruangan. Di sofa utama, duduk dua sosok yang sangat dikenali Lidia. Mama-nya, Ny. Ratna Satyawira, mengenakan kebaya modern warna krem yang serasi dengan kulitnya. Rambut hitamnya tersanggul sempurna, wajahnya rapi tanpa cela. Di sampingnya, Laras—kakaknya—duduk tegak dalam gaun kerja navy blue, kaki bersilang, ekspresi wajahnya datar seperti pahatan batu. “Lidia.” Suara Mama terdengar datar, tapi tajam seperti pisau. “Duduklah.” Lidia mengangguk pelan, menahan napas sebelum akhirnya mengambil tempat di sofa seberang mereka. Ruangan itu hening, kecuali suara detak jam antik di sudut yang terdengar lebih keras dari biasanya. Mama membuka percakapan tanpa basa-basi. “Sampai kapan kamu mau terus bermain-main di luar sana? Sudah cukup lama kamu hidup seperti… anak pembangkang.” Kata “pembangkang” itu jatuh seperti batu ke dalam d**a Lidia. Ia mengangkat wajah, tapi Mama sudah melanjutkan. “Apa yang kamu kejar dari pekerjaan itu? Kamu pikir kami tidak tahu siapa atasanmu? Kami tahu, Lidia. Dan kami juga tahu… alasan kamu bersikeras ingin bekerja di sisi pria itu.” Nada Mamanya mengandung penekanan yang membuat udara di ruangan itu semakin padat. Lidia mengangkat kepalanya, tatapannya tak goyah. “Aku bekerja karena aku mau. Bukan karena alasan yang Mama pikirkan.” Laras, yang sejak tadi hanya mengamati, nampak menatap serius pada Lidia. “Sampai kapan kamu seperti ini Lidia. Apa kamu piker bisa selamanya menghindar dari keluarga kamu sendiri?” Senyum Lidia membalas, tipis tapi dingin. “Aku justru hidup lebih tenang tanpa embel-embel nama Satyawira di belakangku. Aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku bisa mengambil keputusan tanpa harus memenuhi tuntutan atau peraturan yang… sejujurnya, selalu membuatku sesak.” Mama menatapnya dalam, nyaris tanpa kedip. “Jangan bodoh, Lidia. Dunia tidak semudah itu.” Lidia menghela napas, lalu berbicara dengan nada pelan namun tegas, “Dunia memang tidak mudah, Ma. Tapi setidaknya… aku memilih jalanku sendiri.” Setelah itu, tak ada lagi yang berbicara. Ruangan sunyi, hanya menyisakan suara jarum jam yang bergerak, menandai waktu yang terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN