Lidia membuka pintu kamar itu perlahan, gerakan tangannya nyaris tanpa suara, seperti takut mengusik sesuatu yang rapuh dan berdebu oleh waktu. Engsel pintu yang sedikit berderit membuatnya menahan napas sesaat. Begitu celah pintu cukup lebar untuk dilewati, aroma samar campuran kayu tua, debu tipis, dan wangi kertas yang sudah lama tersimpan menyeruak, mengalir masuk ke dalam paru-parunya.
Matanya langsung menyapu ruangan yang terasa begitu familiar. Setiap sudutnya membawa kilasan-kilasan kenangan, seolah ia sedang berdiri di sebuah foto lama yang pernah ia tinggalkan, namun kini ia masuki kembali. Waktu di sini seperti membeku—tidak ada satu pun yang berubah sejak hari terakhir ia mengemasi barang-barangnya dan pergi.
Tempat tidur dengan seprai biru pastel masih berada di pojok kiri ruangan, seperti dulu. Di sampingnya, rak buku menjulang penuh berisi novel, komik, dan tumpukan majalah remaja yang kini sebagian sampulnya mulai memudar. Tirai putih tipis bergoyang pelan, mengikuti gerak angin yang masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Dari celahnya, cahaya matahari siang masuk, membentuk pola kotak-kotak di lantai kayu yang hangat.
Lidia melangkah pelan, ujung jarinya sempat menyentuh permukaan kasur yang terasa sedikit dingin, lalu beralih ke meja belajar di dekat jendela. Jemarinya menyusuri permukaan kayu yang halus namun menyimpan guratan-guratan samar—goresan yang pernah ia buat ketika mengerjakan tugas atau menggambar larut malam. Ia ingat betapa seringnya ia duduk di kursi itu, kepala penuh mimpi yang ingin ia capai di luar tembok rumah ini.
Di rak-rak kecil di atas meja, tumpukan kertas gambar masih tersusun rapi. Tepian kertas itu sudah sedikit menguning, tapi garis-garis pensil di atasnya tetap jelas. Melihatnya membuat bibir Lidia melengkung dalam senyum tipis—senyum yang lebih banyak menyimpan rasa haru dan nostalgia daripada kegembiraan.
Ia menarik kursi kayu itu dengan perlahan. Suara gesekannya di lantai terdengar seperti bisikan masa lalu yang memanggil. Lidia duduk, membiarkan tubuhnya sedikit bersandar. Tangannya bergerak membuka salah satu laci, dan di dalamnya, di pojok belakang, terbaring sebuah buku diary dengan sampul kulit cokelat tua. Tali pengikatnya masih utuh, sedikit berdebu, menandakan sudah lama tidak tersentuh.
Jemarinya berhenti di atas buku itu, mengusap permukaannya, merasakan tekstur kulit yang mulai mengeras. Ia menatapnya lama, seperti sedang menimbang apakah akan membuka kembali pintu ke masa lalu yang mungkin sebaiknya tetap tertutup.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar mendekat dari arah pintu. Lidia menoleh ketika pintu terbuka kembali. Laras berdiri di ambang, namun kali ini wajahnya berbeda dari sebelumnya. Tidak ada tatapan tajam atau nada menghakimi—yang ada hanyalah kelelahan bercampur kelembutan seorang kakak yang jarang ia lihat.
“Kamar ini tidak pernah berubah dari terakhir kamu tinggalkan,” ucap Laras sambil melangkah masuk, suaranya hangat dan nyaris pelan. “Bu Karina selalu merapikannya. Dia bahkan memastikan setiap benda tetap di tempatnya.”
Lidia tidak langsung menatap kakaknya. Matanya tetap pada meja dan rak buku. “Terima kasih,” gumamnya pelan. Kata itu terasa ringan, tapi ada beban yang menggantung di antara jeda napasnya.
Laras berhenti di sisi meja, memperhatikan adiknya beberapa detik sebelum kembali bersuara. “Lid… sampai kapan kamu mau lari dari keluarga ini?”
Pertanyaan itu membuat Lidia mengangkat kepala, menatap Laras dengan sorot mata yang tajam tapi tidak marah. “Aku nggak pernah lari Kak. Kalau aku lari, aku nggak akan mau datang ke rumah ini. Aku juga nggak akan menyimpan nomor Mama… atau nomor kakak.” Nada suaranya datar, namun mantap. “Aku cuma ingin menentukan jalan hidupku sendiri. Tanpa tuntutan, tanpa ekspektasi yang rasanya… tidak pernah ada habisnya.”
Lidia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya tak bergeser dari kakaknya. “Kamu tahu, Kak… kita dibesarkan dengan standar yang tinggi. Prestasi, karier… bahkan pasangan hidup pun sudah diatur. Kamu menjalani semuanya tanpa banyak bicara. Tapi, apa kamu bahagia?”
Laras menarik napas panjang, menatap lantai sesaat sebelum menjawab pelan, “Mama dan Papa hanya mau yang terbaik untuk kita.”
“Memberikan yang terbaik itu bukan berarti memaksakan sesuatu yang menurut mereka baik,” balas Lidia lembut namun tegas, “apalagi kalau itu membuat anaknya kehilangan kebahagiaan.”
Keduanya terdiam beberapa saat. Laras akhirnya mengangguk kecil, mengakui ada kebenaran di sana. Namun sorot matanya tetap serius. “Kakak mengerti maksud kamu Lidia. Tapi menjauh dari keluarga… bukan berarti kamu akan benar-benar mendapatkan hidup yang kamu mau.”
Kali ini Laras menunduk sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kamu masih terjebak di masa lalu. Masa lalu yang… sebenarnya sudah lama melupakanmu.”
Mata Lidia sedikit menyipit, ada campuran bingung dan terusik di sana.
“Berhentilah mengejarnya,” lanjut Laras, kini lebih lembut. “Tidak semua hal harus kamu bawa terus di pundakmu. Terkadang, ada sesuatu yang memang ditakdirkan hanya untuk berlalu dari hidup kita. Tidak perlu dicari… apalagi diperhatikan lagi.”
Hening kembali mengisi ruangan. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar, detiknya terasa lebih keras di telinga Lidia. Waktu tetap berjalan, tapi sebagian hatinya masih tertahan di sesuatu yang tak lagi ada—sesuatu yang bahkan Laras tidak ingin Lidia sentuh lagi.
*****
~Malam Hari, Kediaman Bima Darmawan~
Malam itu, rumah besar keluarga Bima Darmawan diselimuti kehangatan yang khas. Dari dapur, aroma kaldu ayam dan bumbu tumis bawang menyeruak, berpadu dengan wangi lembut kayu manis yang menguar dari minuman jahe buatan tangan Arlina Wibisana. Udara di ruang makan terasa nyaman, tidak terlalu panas, namun cukup hangat untuk membuat siapa pun betah berlama-lama di meja makan.
Lampu gantung kristal yang menggantung tepat di atas meja memancarkan cahaya keemasan yang lembut, memantul di permukaan sendok dan garpu perak yang mengilap. Meja panjang dengan taplak putih rapi itu tampak seperti diatur untuk jamuan resmi, meski hanya untuk makan malam keluarga. Di atasnya, piring-piring porselen berukir emas berisi sup ayam kampung hangat, ayam panggang berkulit keemasan, tumis buncis dan wortel segar, serta salad sayuran dengan saus homemade tersusun rapi berdampingan. Semuanya disajikan dengan perhatian penuh pada detail—salah satu kebiasaan Arlina yang tak pernah berubah sejak ia menjadi nyonya rumah ini.
Roby Darmawan hari ini datang berkunjung ke kediaman orangtuanya untuk makan malam, mengenakan kemeja putih sederhana dan jam tangan kulit hitam, duduk di sisi kiri meja, tepat berhadapan dengan ibunya. Wajahnya seperti biasa—tenang, hampir tanpa ekspresi—namun matanya terlihat lebih banyak tertuju ke piring di depannya ketimbang ke orang di sekitarnya. Sesekali ia mengambil potongan ayam panggang, memotongnya perlahan, lalu menyuapkannya sambil tetap memikirkan hal-hal yang tak ia ucapkan.
Di ujung meja, Bima Darmawan duduk tegak, posturnya memancarkan wibawa tanpa ia harus berusaha. Ujung dasinya sedikit longgar, tanda ia baru pulang dari kantor namun masih membawa sisa energi seorang pemimpin. Ia makan dengan tempo teratur, sesekali menatap ke arah putranya dengan pandangan yang sulit ditebak—campuran rasa ingin tahu dan sesuatu yang seperti rencana dan sudah matang di kepalanya.
Suasana makan malam awalnya nyaman. Denting sendok dan garpu bertemu dengan nada suara lembut Arlina yang menanyakan hal-hal ringan—tentang lalu lintas sore tadi, cuaca yang mulai dingin, atau menu baru yang ingin ia coba minggu depan. Roby menjawab seperlunya. Bima hanya menimpali pertanyaan istrinya dengan komentar singkat.
Namun, suasana berubah saat di tengah suapan kedua, Bima menaruh sendoknya perlahan di tepi piring. Gerakannya terukur, seperti seseorang yang sudah menyiapkan kalimat penting di kepalanya. Tatapannya kini langsung mengarah pada Roby.
“Roby,” ucapnya pelan tapi sarat makna, “bagaimana makan siangmu tadi… bersama Riana?”
Pertanyaan itu membuat tangan Roby yang sedang memegang garpu terhenti di udara. Ia memandang ayahnya selama beberapa detik, seakan mencari maksud tersembunyi di balik kalimat itu, lalu meletakkan garpu perlahan di atas piring. “lancer. Hanya makan siang biasa,” katanya, nada suaranya datar namun tegas, “tapi aku masih bingung. Kenapa Papa harus sampai ngasih nomor pribadiku ke dia?”
Bima tidak langsung menjawab. Ia meraih gelas minumnya, menyesap perlahan, lalu meletakkannya kembali di meja dengan hati-hati. Senyum tipis terukir di wajahnya, senyum yang bukan sepenuhnya ramah tapi juga bukan mengandung permusuhan—lebih kepada senyum seseorang yang merasa tahu apa yang terbaik. “Supaya kalian bisa komunikasi secara pribadi lebih mudah,” jawabnya santai. “Nggak perlu lewat sekretaris kalian masing-masing.”
Arlina, yang sedari tadi sibuk memindahkan salad ke piringnya, berhenti sejenak. Ia memiringkan kepala, menatap suaminya dengan sorot ingin tahu. “Tunggu,” ujarnya, alisnya terangkat. “Riana… yang Papa maksud itu… putrinya Aditya Yasinta dari PT Trinaya Energi?”
Bima mengangguk mantap. “Ya. Memangnya kenapa?”
Arlina meletakkan sendok saladnya perlahan, seakan mencerna sesuatu. “Tidak apa-apa. Mama Cuma mau mastiin aja.”
Bima kembali menatap Roby, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Papa memang sengaja mendekatkan kamu dengan Riana. Papa dan Om Aditya sudah lama membicarakan kemungkinan untuk menjodohkan kalian.”
Napas Roby keluar sedikit lebih keras, hampir seperti helaan kesal. “Pa…” suaranya kali ini lebih berat, “Aku nggak senang dengan rencana itu. Apalagi kalau alasannya hanya karena hubungan bisnis. Aku nggak mau pernikahanku seperti sebuah perjanjian kontrak perusahaan.”
Keheningan sesaat menggantung di udara. Bima duduk sedikit lebih tegak, rahangnya mengeras. “Ini bukan sekadar perjanjian bisnis, Roby. Papa lakukan ini juga karena Papa lihat kamu… nggak pernah kelihatan dekat dengan perempuan mana pun. Usia kamu sudah dua puluh sembilan, sebentar lagi tiga puluh. Kami tidak muda lagi. Papa dan Mama juga tidak muda lagi dan pastinya sudah sangat ingin menimang cucu.”
Arlina tersenyum tipis, namun ucapannya berikutnya cukup mengejutkan. “Kata siapa nggak ada perempuan yang dekat dengan Roby? Bukannya ada Lidia? Dia bukan hanya dekat, tapi bahkan sudah mengenal Roby dengan baik.”
Roby terdiam. Gerakan tangannya yang hendak mengambil sendok tiba-tiba berhenti. Bukan karena ingin menyangkal, tapi karena ada sesuatu dalam pernyataan ibunya yang menusuk pikirannya—bukan rasa bersalah, tapi semacam kegelisahan yang tak ia pahami.
Bima memandang istrinya dan menggeleng tegas. “Mama, Papa nggak akan setuju kalau Roby berhubungan dengan Lidia… lebih dari sekadar atasan dan sekretaris.”
Arlina langsung mengernyit. “Kenapa? Karena statusnya?” Nada keberatannya jelas.
Bima menghela napas, suaranya tetap mantap. “Bukan soal status pekerjaan. Papa hanya tidak ingin Roby terjebak dalam hubungan asmara dengan karyawan di kantornya—apalagi sekretarisnya. Hal seperti itu bisa mengganggu kinerja, membuat lingkungan kerja jadi rumit. Dan kalau hati Roby bisa dengan mudah jatuh pada sekretaris yang setiap hari bekerja dekat dengannya, bagaimana kalau suatu saat ada sekretaris baru yang sebaik atau bahkan lebih baik dari Lidia? Apa Roby akan jatuh cinta lagi?”
Arlina balas menatapnya, nada suaranya pelan tapi jelas. “Papa terlalu mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi.”
Bima bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan di depan d**a. “Mama bayangkan saja… kalau Roby dan Lidia benar-benar menikah, tentu Lidia tidak akan lagi jadi sekretaris Roby. Dan kalau Roby sudah punya riwayat jatuh cinta pada sekretarisnya sendiri, apa tidak mungkin hal itu terulang lagi? Papa tidak mau anak Papa punya risiko seperti itu.”
Kali ini Bima Darmawan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya kini lebih menusuk. “Bagaimana perasaan Mama kalau Papa tiba-tiba punya hubungan dengan Inara, sekretaris Papa yang sekarang? Mama pasti keberatan, kan?”
Ucapan itu membuat Arlina terdiam. Matanya sesaat menghindari tatapan suaminya, dan untuk pertama kalinya sejak pembicaraan dimulai, ia tidak membalas.
Roby tetap bungkam. Pandangannya kembali ke piring, tetapi pikirannya tidak lagi fokus pada makan malam. Kata-kata ayahnya tadi bergema di kepalanya—ada yang menyinggung perasaan, namun logikanya justru menyetujui.
Sisa makan malam berjalan dalam keheningan yang berat. Denting alat makan terdengar jelas, setiap bunyi seperti menandai jarak emosional yang melebar di antara mereka.