Pagi itu, langit Jakarta diselimuti awan kelabu yang bergerak pelan, seperti enggan meninggalkan tempatnya. Udara terasa sedikit lembap, pertanda hujan semalam belum sepenuhnya reda. Dari jendela apartemennya di lantai delapan, Lidia bisa melihat sisa genangan di jalan, memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ia berdiri di depan cermin, jemarinya merapikan anak-anak rambut yang membandel. Pandangannya kosong, tak fokus pada bayangan wajah yang kembali menatapnya. Biasanya, ia berangkat kerja dengan langkah ringan, bahkan sambil sesekali memikirkan hal-hal kecil yang menyenangkan—menu sarapan Roby, topik obrolan ringan, atau bagaimana ia bisa membuat hari pria itu lebih nyaman. Tapi pagi ini, entah kenapa, setiap gerakan terasa berat. Seolah ia membawa koper tak kasat mata berisi