Axel berhenti di depan sebuah kafe kecil di sudut kota. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di kaca mobilnya. Ia menatap jam di dashboard, hampir pukul delapan. Miranda sudah menunggunya. Ia menarik napas panjang sebelum turun. Ada bagian dalam dirinya yang masih mengingat wanita itu, bukan sebagai seseorang yang ia rindukan, melainkan sebagai bab lama yang dulu sulit ditutup. Kini, ketika ia melangkah ke dalam kafe dan menemukan Miranda duduk di sudut dekat jendela, ia tahu, bab itu benar-benar harus berakhir malam ini. Miranda menoleh begitu Axel mendekat. Ia tersenyum, senyum yang dulu selalu menebar pesona, kini terasa berlebihan di mata Axel. “Masih seperti dulu, ya. Selalu tepat waktu,” ucapnya, suaranya lembut namun ada nada menggoda. Axel hanya me

