Part 10

1609 Kata
"Lalu, nanti kalau diperbolehkan pulang bagaimana? pasti akan kesulitan sendirian, oh ya Azkia sudah menghubungi keluarga kalau Azkia dalam keadaan seperti ini?" Azkia saling pandang dengan Adinda, ia tahu Adinda belum menghubungi keluarganya dan itu memang prinsipnya, tidak ingin membuat kedua orangtuanya khawatir, jika ibu dan ayahnya tahu dia terluka seperti ini pasti dirinya harus kembali ke Yogya dan tidak boleh kembali ke Jakarta. Jakarta kota yang kejam dan Azkia tidak mau itu terjadi, Azkia yakin ia bisa merawat dirinya sendiri nanti saat diperbolehkan pulang. "Saya yakin bisa sendiri pak, bu, jangan mengkhawatirkan saya. Untuk ibu dan ayah saya, memang saya sengaja tidak ingin memberitahu mereka, tidak ingin mereka khawatir," jawab Azkia diplomatis. pintu ruang rawat terbuka, seorang dokter dan seorang perawat masuk ke dalam ruang rawat Azkia, dokter menuju brankar dan memeriksa keadaan Azkia, juga luka di perut Azkia, sedangkan Adinda sedikit menjauh memberikan ruang pada dokter dan perawat. Arvin berdiri dari duduknya dan mendekati brankar, "bagaimana keadaannya dokter? kapan dia diizinkan pulang?" tanya Arvin. "lukanya masih basah, jahitannya juga belum kering, mungkin beberapa hari lagi harus di observasi," jawab dokter wanita itu ramah. "Terima kasih dokter," ucap Azkia. "Sama sama, perbanyak makan sayur dan buah juga minum ya mbak Azkia biar lekas kering jahitannya," saran dokter. "Baiklah." "Saya tinggal dulu," dokter dan perawat kemudian berjalan keluar dari ruang rawat Azkia. "Seharusnya mama tadi bawa buah Ar, tapi karena mama pikir Azkia masih belum sadar makanya mama tidak bawa apa apa," ucap bu Oktavia. "Tidak apa apa bu, biar nanti saya yang belikan buah buat Kia," jawab Adinda. Adinda, pak Iman dan bu Oktavia terlibat obrolan ringan sedangkan Arvin memilih duduk di kursi yang ada disamping brankar. "Saya mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nyawa saya," ucap Arvin menatap Azkia yang masih duduk bersandar di ujung brankar. "Sama sama pak." "Kenapa tidak kamu biarkan saja saya yang tertusuk, kenapa malah mendorong?" Azkia menatap Arvin kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia merasa jengah matanya bersirobak dengan Arvin. "Saya tidak tahu kenapa saya melakukan itu, refleks saja." "Ar, mama dan papa pulang sekarang ya," ucap pak Iman, Arvin menoleh dan mengangguk, kemudian kembali memandang Azkia. "Aku pulang mengantar papa dan mamaku dulu, aku akan kembali nanti." "tidak perlu pak, kan ada Adinda," jawab Azkia. Arvin kemudian berdiri dan berjalan keluar dari ruang rawat bersama kedua orangtuanya, Adinda yang duduk di sofa set kemudian berdiri dan mendekati brankar dan duduk di kursi yang tadi ditempati Arvin. "Kedua orangtua pak Arvin baik banget ya Kia." "Iya, aku jadi tidak enak malah sama mereka harus datang kesini." "Wajarlah mereka datang kesini, putra mereka satu satunya kamu selamatkan, ucapan terima kasih saja rasanya tidak cukup." "Ck... apa apaan sih kamu Din, mereka kan pengusaha jadi wajar tidak bisa terlalu lama menjenguk aku, by the way makasih ya kamu sudah mau menjaga aku saat di rumah sakit." "Kita kan sahabat." "Bagaimana WO, masih berjalan lancar kan?" "Lancar walau aku agak keteteran juga menggantikan beberapa pekerjaan kamu." "Maaf ya, kamu jadi kerepotan begini." "Tidak apa apa Kia, santai saja, pak Arvin tadi bilang apa sebelum pulang?" "Dia bilang kalau nanti mau kesini lagi tapi aku melarangnya." "kenapa?" "Kenapa kamu tanya? dia itu tunangan orang, mana pantas dia sering datang menjenguk aku, apa kata Elisa nanti." "Iya juga sih, seharusnya Elisa juga datang kesini mengucapkan terima kasih nyawa tunangannya selamat karena kamu," gerutu Adinda. "Tidak perlu seperti itu Din, kamu ada ada saja. oh ya kamu pulang jam berapa nanti?" Adinda menatap Azkia heran, "Kenapa? kamu tidak mau aku menjagamu?" tanya Adinda cemberut. "Bukan begitu, ini sudah sore, besok kamu kan harus kerja, butuh istirahat. walau kamu menjagaku hanya duduk saja tetap itu hal yang melelahkan Din." "mungkin nanti aku pulang jam tujuha atau delapan malam, baiklah jangan banyak bicara, kamu istirahat saja agar lekas sembuh," Adinda membantu Azkia berbarik, Azkia memang mersa sangat mengantuk. ~~~ ~~~ Azkia membuka matanya, perutnya terasa lapar. ia mencoba duduk dan bersandar di ujung brankar tapi ia merasakan perutnya sangat sakit. Ia kembali mencoba perlahan, Azkia melihat jam dinding di kamar rawatnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, itu berarti Adinda sudah pulang dan ia sudah tidur terlalu lama. Azkia melihat meja di samping brankar, tidak ada apa apa disana padahal dirinya lapar. mungkin makanan dari rumah sakit sudah diambil karena ia terlalu lama tidur, ia bingung harus bagaimana karena ia lapar tapi tidak mungkin ia turun dari brankar dan pergi membeli makanan, ponsel dan dompetnya juga tidak ada sedangkan dia sendirian di ruang rawat. Ia juga tidak bisa menghubungi siapapun karena ponselnya ada di apartemennya, ia ingat saat mencari makan malam itu ia meninggalkan ponselnya di kamar. Pintu kamar mandi ruang rawat terbuka menampakkan Arvin yang keluar dari sana membuat Azkia terkejut melihat Arvin ada di ruang rawatnya padahal dirinya sudah melarang Arvin untuk datang ke rumah sakit. "Pak Arvin?" "Kenapa bangun, istirahat saja," ucap Arvin kemudian berjalan menuju sofa set dan duduk disana. "saya kan sudah bilang, pak Arvin tidak perlu datang, kan ada perawat." "Tidak apa apa, kamu butuh sesuatu?" tanya Arvin menatap Azkia. "I...itu... saya lapar, tapi sepertinya makanan rumah sakit sudah diambil." "Oh kamu lapar," ucap Arvin tersenyum, "Biar saya belikan roti." Arvin berdiri dan berjalan keluar dari ruang rawat Azkia, walau Azkia sudah melarang tapi ada rasa lega juga dihatinya ada Arvin disaat ia lapar seperti ini, Azkia pasti tidak akan bisa istirahat dan tidur dalam keadaan lapar. lima belas menit kemudian pintu ruang rawat terbuka, Arvin masuk membawa paperbag produk roti, harum roti yang baru matang meggugah selera Azkia. Arvin berjalan mendekati Azkia dan duduk di kursi samping brankar. Arvin mengambil satu roti dan ia buka bungkusnya, lalu ia serahkan pada Azkia. "Makanlah," ucap Arvin. Azkia menerima roti dari tangan Arvin dan kemudian menyantapnya, rasa roti yang hangat itu sangat nikmat di lidah Azkia hingga dalam waktu sekejab satu roti sudah masuk dalam perut Azkia, itu sudah cukup baginya agar bisa nyenyak tidur. "Lagi?" tanya Arvin. "Saya sudah kenyang pak Arvin, terima kasih." "Baiklah, saya letakkan dimeja, jika kamu lapar bisa mengambilnya." Azkia mengangguk, Arvin membantu Azkia meminum obat yang ada di meja dan menyerahkannya pada Azkia, sedangkan Arvin mengambil air digelas dan menyodorkan didepan mulut Azkia membuat Azkia terkesiap dan menatap Arvin, posisi ini membuat ia jengah dan tidak nyaman, apalagi mata Arvin yang hitam kelam membuat perasaannya campur aduk, jantungnya berdetak tak normal. Azkia segera mengalihkan pandangannya dan mengambil gelas dari tangan Arvin. "Biar saya minum obat sendiri," ucap Azkia segera meminum obat yang ada ditangannya setelah itu ia letakkan gelas di meja samping brankar. Arvin kemudian berjalan menuju sofa set dan duduk disana, sedangkan Azkia masih duduk bersandar di ujung brankar. "Pak Arvin tidak pulang?" "Kenapa? kamu tidak suka saya disini?" tanya Arvin menatap Azkia. "Bukan begitu pak, ini sudah larut malam, pak Arvin butuh istirahat untuk aktivitas esok hari." "Iya, kamu istirahat saja, kalau kamu sudah tidur saya pulang." Azkia tak menjawab ucapan Arvin, ia kemudian berusaha membaringkan diri tapi ia merintih kesakitan karena luka di perutnya. "Ouch..." Arvin yang sedang fokus pada ponselnya segera melompat ke arah Azkia. "Ada apa? perut kamu sakit?" "Iya pak, saya coba berbaring tapi terasa sakit." "Biar aku bantu," Arvin mencoba mengangkat tubuh Azkia hingga wajah Arvin sangat dekat dengan wajah Azkia, membuat jantung Azkia kembali berdetak tak menentu, ia menatap Arvin yang coba membaringkan tubuhnya di brankar, Arvin kemudian menyelimutinya. Azkia mencoba memejamkan matanya tapi tiba tiba saja rasa kantuknya hilang, ia membuka matanya dan sudah tak melihat Arvin ada di ruang rawat tersebut, mata Azkia menerawang ke langit langit kamar ruang rawat. "Ya Tuhan Kia, kamu kenapa?" gumam Azkia pada dirinya sendiri. "Kenapa jantungku berdetak seperti itu? sudah sangat lama aku tidak merasakan itu." Bukannya Kia tidak tahu apa yang ia rasakan, perasaan yang sudah sangat lama tidak lagi menyapa hatinya, perasaan suka dan tertarik pada seseorang, jantung yang berdetak kencang saat dekat dengan seseorang. "Jangan Kia, jangan lakukan itu hentikan," ucap Azkia pada dirinya. "Kenapa kamu mersakan sesuatu padanya, dia tunangan orang Kia, ya Tuhan apa yang terjadi padaku." Azkia kemudian berusaha memejamkan matanya untuk tidur walau sulit ia tetap berusaha tidur dan istirahat. Oooo---oooO Arvin duduk di meja makan bersama pak Iman dan bu Oktavia, mereka sedang sarapan bersama sebelum berangkat ke tempat aktivitas. "Bagaimana keadaan Azkia, Ar, mama dan papa belum sempat menjenguknya lagi setelah waktu karena kesibukan mama dan papa," ucap bu Oktavia. "Makin membaik ma, sepertinya hari ini ia diperbolehkan pulang," jawab Arvin. "Mama hanya berpikir Ar, dia tinggal sendiri di apartemen dalam keadaan baru pulih, pasti masih butuh istirahat. Jika ia butuh sesuatu dan melakukannya sendiri, bukannya akan membuat lukanya sulit kering dengan seringnya ia bergerak?" Arvin memikirkan ucapan mamanya dan membenarkan, seorang diri di apartemen dengan luka tusukan tidaklah mudah, bisa bisa luka Azkia akan infeksi nantinya. "Tapi itu keinginannya sendiri ma, kita bisa apa?" "Ya kita bisa menyewa perawat atau art untuk Azkia yang 24 jam bisa merawat Azkia." "Dimana bisa mendapatkan art dan perawat untuk merawat di rumah secepat itu ma?" Bu Oktavia berpikir sejenak, "mama ada ide Ar, bagaimana kalau Azkia tinggal di rumah kita?" "Apa!!? apa maksud mama?" tanya Arvin bingung. "Di rumah kita banyak art Ar, jika Azkia tinggal disini pasti dia akan dirawat dengan baik," jawab bu Oktavia. "Kalau begitu mama kirim saja satu art kita ke apartemen Azkia." "Mana bisa begitu, mama ingin berperan dalam kesembuhan Azkia, jadi lebih baik Azkia tinggal di rumah kita sampai sembuh, bagaimana pa?" tanya bu Oktavia pada pak Iman. "Kalau menurut mama itu yang terbaik, tidak masalah. Lagipula kita berhutang banyak pada gadis itu," jawab pak Iman. "Bagus kalau papa setuju, mama akan ke butik setengah hari lalu ke rumah sakit menjemput Azkia dan membawanya ke rumah kita." Lynagabrielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN