Azkia mencoba duduk di sofa ruang tamu apartemennya dibantu oleh Adinda, hari ini Azkia diizinkan pulang oleh dokter setelah hampir satu minggu opname di rumah sakit. dokter visit jam dua siang dan memperbolehkan Azkia pulang dan tepat saat itu Adinda datang mengunjunginya, akhirnya Adinda yang mengantarkan Azkia pulang.
"Din, bisa minta tolong ambilkan ponselku di kamar?"
"Tentu," jawab Adinda kemudian berjalan masuk dalam kamar Azkia dan kembali membwa ponsel sahabatnya itu.
"Sayangnya ponsel kamu mati Kia."
"Tentu saja karena seminggu tidak dicharge baterainya, mmm..."
"Biar aku ambil charge nya," Adinda kembali masuk dalam kamar Azkia dan membawa charger ponsel.
"Kalau kamu sendirian, kamu akan lama pulihnya Kia," ucap Adinda pada Kia, ia duduk di samping Azkia dan menyerahkan charger ponsel milik Azkia.
"Mau bagaimana lagi Din, akan sulit mencari perawat dan ART secara mendadak."
"Kamu tinggal di rumah aku saja ya? di sana banyak ART yang bisa bantu kamu, aku khawatir membiarkan kamu tinggal sendiri disini."
"Aku tidak enak sama om dan tante Din kalau aku tinggal di rumah kamu, sudahlah biar aku tinggal disini saja, tapi mungkin aku kerjanya daring ya, belum bisa ke kantor," ucap Azkia amsih menahan sakit di perutnya yang belum sembuh benar.
"Kamu apaan sih pakai tidak enak, seperti kita baru kenal saja," omel Adinda, "Iya kita bisa pakai aplikasi panggilan video kan nanti, banyak jalan kok."
Azkia menghela nafas, ia memikirkan mobilnya yang waktu itu ditinggalkan di jalanan saat ia diganggu tiga pemuda dan tertusuk.
"Kenapa Kia? wajah kamu tampak sedih."
"Bagaimana tidak sedih Din, nasib mobilku hasil menabung bertahun tahun tak tahu rimbanya, untuk beli lagi juga sayang."
"Oh soal mobil kamu, kamu jangan khawatir Kia, sudah diurus oleh pak Arvin, dibawa ke bengkel sih, nanti aku tanyakan ya."
Wajah Azkia sumringah, "Serius? alhamdulilla, aku pikir sudah hilang entah kemana," jawab Azkia.
"Enggak Kia, aman kok. aku ke dapur dulu mau buat teh," Adinda berdiri dan menuju dapur apartemen Azkia dan tak beberapa lama Adinda keluar dari dapur membawa dua cangkir teh hangat. Adinda kemudian duduk di samping Azkia dan menyodorkan secangkir teh pada Azkia.
"Thank you Din."
"Sama sama."
"By the way, aku mau tanya sebenarnya soal waktu kamu tertusuk itu, kenapa tengah malam kamu ada di jalanan? aku tahu kamu bukan gadis yang suka keluyuran tidak jelas."
"Oh waktu itu, sebenarnya waktu itu setelah pulang dari kantor aku langsung tertidur dan belum makan malam, aku terbangun tengah malam karena perutku lapar dan aku tidak punya stok makanan apapun, terpaksa aku keluar membeli makanan dan letak rumah makan yang masih buka cukup jauh dari sini, aku sengaja hanya membawa dompet saja dan meninggalkan ponselku di kamar, tapi tidak menyangka saat kembali ban mobilku bocor entah kena ranjau pakau atau apa, aku mencoba menunggu taksi tapi lama tidak ada taksi yang meintas dan akhirnya aku jalan kaki dan diganggu tiga pemuda mabuk, selanjutnya kamu tahu ceritanya," jawab Azkia panjang lebar.
"Oh seperti itu, makanya kamu itu stok makanan atau bahan makanan gitu, kamu kan jago masak."
"Masalahnya aku tidak sempat masak Din, tahu sendiri kita pulang sudah kelelahan jadi percuma aku beli bahan makanan jika tidak akan aku eksekusi."
"Paling tidak buah untuk mengganjal perut kamu Kia."
"Iya iya, bawel ah kamu."
Bel pintu apartemen Azkia berbunyi membuat Azkia dan Adinda saling pandang, tidak ada yang tahu apartemen Azkia kecuali Adinda dan beberapa pegawai WO, tidk mungkin para pegawai datang saat masih jam kerja seperti ini.
"Siapa Kia?"
"Mana aku tahu Din."
"Biar aku buka," jawab Adinda kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu apartemen, Adinda terkejut melihat siapa yang berdiri di depannya.
"Siapa Din?" tanya Azkia penasaran.
Adinda berjalan masuk dengan seseorang di belakangnya yang juga membuat Azkia terkejut.
"Anda?"
"Halo Azkia," sapa bu Oktavia, Azkia tersenyum kikuk dan menunduk menatap mama Arvin yang sudah ada dalam apartemennya.
"bagaimana ibu bisa tahu alamat apartemen saya?" tanya Azkia bingung.
"Tentu saja dari pegawai WO kamu."
"Oh ya silahkan duduk bu," Adinda mempersilahkan bu Oktavia duduk. Mama Arvin duduk di hadapan Azkia, sedangkan Adinda masuk ke dapur membuatkan teh untuk bu Oktavia.
"Maaf apartemennya berantakan bu."
"Tidak apa apa Azkia, saya maklum kan kamu opname di rumah sakit, sepertinya panggilan ibu terlalu formal, panggil tante saja."
"Tapi bu..."
"Jangan sungkan."
"Baik Tante."
Adinda keluar membawa secangkir teh dan meletakkannya di depan bu Oktavia, Adinda kemudian duduk disampinga Azkia.
"Adinda juga boleh panggil tante," ucap bu Oktavia lagi.
"Tante mau menjenguk Azkia?" tanya Adinda.
"Nope, tante ingin menjemput Azkia," jawab bu Oktavia.
Azkia dan Adinda kembali saling pandang, tidak mengerti apa maksud pembicaraan mama Arvin itu.
"Maksud tante apa ya?" tanya Azkia menatap bu Oktavia.
"Kamu kan sendirian di apartemen, dalam keadaan sakit dan belum pulih seperti ini, tante tidak yakin aku bisa, jadi tante memiliki ide membawa kamu ke rumah tante dan merawat kamu disana sampai kamu sembuh benar."
Azkia terkejut dengan apa yang diucapkan bu Oktavia, begitu pula Adinda.
"Tapi tante saya bisa sendirian disini, saya juga akan lebih hati hati."
"Tante sangsi tentang hal itu, jadi please ikuti saran tante yaa, paling satu atau dua minggu biar tante tenang, tante merasa sanat berhutang budi sama kamu Azkia, biarkan tante membalasnya dengan cara ini," ucap bu Oktavia memohon.
Azkia menghela nafas, ia menoleh pada Adinda, Adinda hanya mengendikkan bahunya. Melihat mama Arvin memohon seperti itu, ia menjadi tidak tega.
"Tapi tante, apakah tidak apa apaa? saya takut merepotkan."
"Tentu saja tidak apa apa, papa Arvin sudah setuju, juga Arvin."
"Kamu tidak mau menginap di rumahku, ya sudah di rumah pak Arvin saja," saran Adinda.
"Baiklah tante," ucap Azkia pasrah.
"Baiklah biar tante bantu berkemas," ucap bu Oktavia.
"Tidak perlu tante, biar saya yang mengemasi pakaian Azkia," ucap Adinda berdiri dan masuk dalam kamar Azkia.
~~~
~~~
Bu Oktavia di bantu ART membaringkan tubuh Azkia di ranjang besar bersprei putih, bu Oktavia meminta ART menyiapkan kamar di lantai satu agar Azkia tidak kesulitan naik tutun tangga, kamarnya ada disamping kamar utama yang di tempati oleh bu Oktavia dan pak Iman.
"Bik, tolong masukkan baju baju Azkia ke lemari," pinta bu Oktavia.
"Baik nyonya," jawab ART rumah bu Oktavia membawa koper milik Azkia dan membukanya serta meletakkan baju baju Azkia di lemari.
"Kamu istirahat saja Kia, kalau kamu butuh sesuatu kamu tekan saja tombol di meja nakas ini untuk memanggil ART," ucap bu Oktavia.
"Tante sudah menyiapkan semuanya?"
"Tidak juga, semua kamar di rumah tante ada bel seperti ini untuk memanggil ART."
"Oh..."
"Ayo bik kita keluar, kita biarkan Azkia istirahat, makan malamnya nanti dibawakan ke kamar saja ya bik, kasihan luka di perut Azkia belum kering, kalau dibuat gerak takutnya memburuk," ucap bu Oktavia pada ART.
"Baik Nyonya."
Bu Oktavia dan ART rumahnya keluar dari kamar tamu yang ditempati Azkia, sedangkan Azkia menatap langit langit kamar. Ia bingung kenapa ia mau saja diminta bu Oktavia untuk tinggal di rumahnya, padahal mereka juga belum saling mengenal.
"Astaga!" Azkia memukul dahinya pelan, "ya Tuhan, kenapa aku bodoh sekali, kalau aku tinggal disini aku akan sering bertemu pak Arvin, ya Lord, bagaimana ini," gumam Azkia menyesal mengiyakan dan mengikuti keinginan mama Arvin untuk tinggal di rumahnya.
Tapi semuanya sudah terlanjur, ia tidak bisa kembali, jantung Azkia kembali berdetak kencang walau saat ini tidak sedang berdekatan dengan Arvin.
"Kenapa aku harus merasakan ini pada pak Arvin? padahal aku tahu dia sudah bertunangan dan akan menikah."
Azkia mencoba memiringkan tubuhnya dan memejamkan mata untuk istirahat, tapi ia bersyukur mungkin akan melajukan aktivitas di dalam kamar seperti makan jadi ia tak harus bertemu Arvin.
Sebelum perasaannya berkembang jauh, ia harus mencoba menghilangkannya. Lama kelamaan mata Azkia terasa berat dan ia kemudian tertidur.
Azkia membuka matanya saat ia merasa tubuhnya di goyangkan oleh seseorang, ia melihat art yang tadi membereskan pakaiannya ada didepannya.
"Bik..."
Azkia mencoba bangun tapi perutnya terasa sakit, art itu kemudian membantu Azkia duduk dan bersandar di kepala ranjang dengan diberikan bantal.
"Non Kia kan sudah tidur lama, ini saya bawakan makan malam."
"Jam berapa sekarang bik?"
"Jam sembilan malam non, tuan dan nyonya juga sudah selesai makan malam dan meminta saya mengantarkan makan malam."
"Terima kasih bik, maaf ya merepotkan," ucap Azkia.
"Tidak merepotkan non." Art itu mengambil piring yang ia letakkan di meja nakas dan memberikannya pada Azkia, Azkia yang memang perutnya lapar makan dengan lahap dan menghabiskan makanan di piring.
Art rumah bu Oktavia tersenyum melihat Azkia yang dengan cepat menghabiskan makanannya, ia mengambil segelas air dan menyerahkannya pada Azkia serta mengambil piring kosong di tangan Azkia.
Art itu juga mengambilkan obat untuk Azkia agar diminum juga oleh Azkia.
"Saya bantu berbaring non."
Art tersebut membantu Azkia berbaring, lalu keluar membawa peralatan makan. Sedangkan Azkia kembali merasa mengantuk karena minum obat, dan tidak menunggu lama Azkia pun tertidur.
Azkia merasakan kandung kemihnya penuh dan ingin buang air kecil, ia membuka matanya dan mencoba bangun dengan perlahan, walau sangat hati hati tetap saja ia merasakan perutnya masih sakit tapi ia harus tetap ke kamar mandi dan buang air kecil.
Azkia perlahan turun dari ranjang dan berdiri, dengan menahan rasa sakit di perutnya ia berjalan perlahan menuju kamar mandi tapi sebuah suara mengejutkannya.
"Kamu mau kemana?"
Azkia menoleh ke sumber suara dan melihat Arvin sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ia tempati.
"Saya mau ke kamar mandi pak," jawab Azkia.
Lynagabrielangga.