Part 12

1331 Kata
"Kamu mau kemana?" Azkia menoleh ke sumber suara dan melihat Arvin sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ia tempati. "Saya mau ke kamar mandi pak," jawab Azkia masih berjalan tertatih menuju kamar mandi. "Biar saya bantu," ucap Arvin melangkah mendekati Azkia dan tiba tiba mengangkat tubuh Azkia ala bridal style membuat Azkia terkejut, mau tidak mau ia berpegangan pada bahu dan leher Arvin. Wajah Azkia sangat dekat dengan wajah Arvin membuat Azkia bisa mencium wangi parfum musk yang dipakai Azkia. Detak jantung Azkia kembali berulah dengan berdetak kencang tak menentu, Azkia malah khawatir jika Arvin bisa mendengar suara detak jantungnya yang sangat keras. "Tidak perlu pak, tolong turunkan saya," pinta Azkia sedikit meronta karena ia jengah dengan apa yang sedang terjadi. "Jangan meronta azkia nanti kamu jatuh, ini demi kebaikan kamu, ingat luka kamu masih belum kering, jika kamu banyak bergerak akan lama penyembuhannya." Azkia diam mendengar ucapan Arvin, itu memang benar dan pasti ia akan lebih lama di rumah Arvin. Melihat Azkia diam dan tidak protes lagi, Arvin kemudian berjalan menuju kamar mandi dan membawa tubuh Azkia masuk dan mendudukkannya di water closet. "Jangan keluar sendiri, panggil saya jika sudah selesai," ucap Arvin kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan Azkia di kamar mandi, bukan malah segera buang air kecil Azkia malah merenung, Arvin begitu baik dan perhatiannya kepadanya, bagaimana ia bisa membunuh rasa yang sudah hadir dalam hatinya. Azkia tahu ia tidak boleh memupuk rasa itu, tapi jika ia terus dekat dengan Arvin bisa jadi rasa dihatinya akan semakin mendalam. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Azkia kemudian. "Azkia... kamu sudah selesai?" tanya Arvin yang ada di depan pintu kamar mandi. Azkia tersadar dari lamunannya dan segera buang air kecil, dan mengatakan pada Arvin jika dirinya sudah selesai. Arvin kemudian membuka pintu kamar mandi dan kembali membopong tubuh Azkia keluar dari kamar mandi, Azkia memalingkan wajahnya karena wajahnya begitu dekat dengan wajah Arvin. Arvin kemudian meletakkan tubuh Azkia diatas ranjang dan menyelimutinya, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Terima kasih pak Arvin," jawab Azkia. "sama sama, sebaiknya kamu istirahat," Arvin kemudian berjalan keluar dari kamar tamu yang ditempati Azkia, meninggalkan Azkia yang masih menatap pintu kamar yang sudah tertutup. Azkia menghela nafas panjang, ia memegang dadanya yang masih bergemuruh. Azkia mencoba memejamkan matanya tapi bayangan wajah Arvin dan mata kelamnya melintas di pelupuk matanya, ia segera membuka matanya dan menggeleng. "Ya Tuhan, tolong hilangkan bayangannya, aku tidak mau memiliki rasa ini pada pak Arvin, dia milik orang, calon suami Elisa, jangan jadikan aku perusak hubungan mereka." ~~~ ~~~ Azkia membuka matanya dan melihat ART rumah bu Oktavia sudah ada dalam kamarnya. "Selamat pagi non Kia." "Selamat pagi bik," Azkia mencoba bangun dan bersandar pada kepala ranjang walau luka diperutnya masih sakit, tapi sudah tidak sesakit kemarin. "Non Kia belum boleh mandi ya, jadi tugas saya membasuh tubuh non Kia dengn washlap," ujar ART itu. "Tapi bik..., biar saya sendiri saja," ucap Azkia, ia malu jika tubuhnya dilihat orang lain. "No Kia malu ya? biar saya non, non kan masih terluka." Terpaksa Azkia mau menerima jika ART itu akan membasuh tubuhnya dengan washlap, setelah selesai ART itu juga mengganti pakaian dalam dan baju Azkia. "Saya ambilkan sarapan dulu non." "Makasih bik, maaf merepotkan bibik." "Enggak apa apa non," ART itu kemudian keluar dan kembali membawa sarapan pagi , di belakangnya ada bu Oktavia dan pak Iman. "Selamat pagi Kia," sapa bu Oktavia. "Selamat pagi tante, om," sapa Azkia. "Bagaimana keadaan kamu?" tanya pak Iman. "Sudah lebih baik om, terima kasih." "Kenapa kamu mengucapkan terima kasih, kami sebagai orangtua Arvin yang harus mengucapkan ribuan terima kasih pada kamu." "Tidak perlu seperti itu om, saya tulus dan ikhlas melakukan itu, jangan dianggap sebagai hutang budi atau hutang nyawa," jawab Azkia. "Baiklah baiklah, kita tidak perlu membahas hal itu lagi, om dan tante mau pergi ke tempat aktivitas jadi maaf tidak bisa menjaga kamu Kia," ucap bu Oktavia. "Tidak apa apa om, tante, saya mengerti. kan ada bibik, sebenarnya saya tidak enak harus merepotkan seperti ini." ~~~ ~~~ Arvin duduk di meja kerjanya, pintu ruangannya terbuka dan menunjukkan Elisa berjalan masuk dalam ruangannya. tanpa aba aba Elisa kemudian duduk di pangkuan Arvin dan mengecup bibir Arvin sekilas kemudian berdiri. "Ayo kita lunch sayang," ajak Elisa. Arvin menatap Elisa, "OKe, aku juga ada yang harus aku bicarakan dengan kamu honey," jawab Arvin. "Apa?" "Nanti kita bicarakan sambil lunch," Arvin mengambil ponselnya di meja dan berjalan keluar bersama Elisa. Elisa melingkarkan tangannya di lengan Arvin dan bergelayut manja membuat Arvin sedikit jengah karena semua pegawai restoran miliknya menatap dirinya dan Elisa dengan pandangan aneh, memang Elisa sikapnya selalu seperti itu di depan umum dan ia tidak nyaman. Walau Arvin mengusaha restoran, Elisa tidak pernah mau jika makan di restoran Arvin, Arvin heran kenapa Elisa seperti itu. Elisa selalu mengajak Arvin makan di restoran lain, tapi Arvin tidak mempermasalahkan hal itu. "Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sayang?" tanya Elisa setelah mereka selesai makan siang. "Azkia tinggal di rumah aku." "Apa!! kamu jangan bercanda sayang," Elisa menatap Arvin. "I'm not kidding," jawab Arvin sambil meminum air dalam gelas di depannya. "Kenapa kamu melakukan itu? aku sudah bilang jangan menjenguknya kamu malah membawanya ke rumah kamu, apa tujuan kamu? kamu suka pada gadis wedding planner itu?" cecar Elisa tidak suka. "El... jaga bicara kamu, kita sudah bertunangan dan akan menikah, mana mungkin aku melakukan itu?" "Lalu apa tujuan kamu?" "Mama yang melakukan itu dan aku pikir tidak ada salahnya Azkia tinggal sementara di rumah aku sampai luka tusukan di perutnya sembuh, paling tidak itu yang bisa dilakukan mama dan papa juga aku untuk membalas kebaikannya." "Tante Okta yang melakukan itu? aku tidak percaya." "Kamu bisa bertanya langsung pada mama, atau kamu datang ke rumah menjenguk Azkia, sebagai calon istriku tentu kamu juga harus mengucapkan terima kasih padanya." Elisa menatap Arvin dengan wajah tidak suka, seorang gadis tinggal di rumah tunangannya, bisa saja Arvin akan jatuh hati pada gadis yang dianggap dewi penyelamat itu. "Enggak aku tidak mau menjenguknya," tolak Elisa. "El!!" "Apa? aku memang tidak mau, itu hanya jurus gadis itu agar dekat dengan kamu sayang, kamu pengusaha restoran terkenal, tampan dan kaya, mana ada gadis gadis yang bisa berpaling dari kamu. aku yakin dia ingin mendekati kamu dan merusak hubungan kita dengan cara ini," jawab Elisa ketus. "Elisa!! jaga bicara kamu." "Kenapa kamu membelanya? ucapanku itu benar kan. aku minta biarkan dia pulang dari rumah kamu," ucap Elisa sengit. "Kamu cemburu? cemburu kamu tidak beralasan, semua ini hanya tentang membalas kebaikannya, thats it, kamu jangan menuduhnya seburuk itu." Elisa menatap Arvin tak percaya, kenapa Arvin begitu membela Azkia, "kamu suka kan kepadanya?" "Kamu... percuma bicara dengan gadis yang sedang dibakar cemburu, kamu sudah berubah El," ucap Arvin kemudian berdiri dan meninggalkan Elisa yang masih duduk dengan wajah kesal, tangannya mengepal, ia jarang bertengkar dengan Arvin dan sekarang ia dan Arvin bertengkar karena Azkia. "Ini gara gara Azkia, aku harus datang dan bicara padanya," gumam Elisa kemudian berdiri dan meninggalkan restoran. Sedangkan Arvin mengemudikan mobilnya dengan perasaan campuraduk, ucapan Elisa terngiang di telinganya. "Tidak, aku hanya kagum padanya karena dia rela mengorbankan diri demi orang lain, ini bukan rasa suka," gumam Arvin menatap jalanan di depannya. Arvin memang tidak pernah menemukan seseorang seperti Azkia, rela tertusuk demi dirinya walau ia bukan siapa siapa Azkia. ia kagum dengan prinsip gadis itu yang rela menolong siapa saja walau tidak dekat, ia teringat semalam saat ia membantu Azkia ke kamar mandi, wajahnya sangat dengat dengan Azkia dan ia bisa melihat wajah polos Azkia tanpa make up tapi masih terlihat cantik, mata bening Azkia membuatnya terpesona. Arvin menggelengkan kepalanya, kenapa ia malah memikirkan Azkia sekarang saat Elisa menuduhnya menyukai gadis itu. Arvin kembali ke restoran miliknya dengan perasaan aneh yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, ia masuk dalam ruangannya dan memeriksa beberapa berkas untuk pemesanan bahan makanan. tapi kembali pikirannya tertuju pada Azkia, ia mengacak rambutnya. "Astaga Arvin, apa ini? kenapa kamu malah memikirkan azkia, ingat kamu sudah bertunangan dan akan menikah, jangan memikirkan gadis lain." Lynagabrielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN