"Selamat siang."
"Pak Arvin?" Adinda terkejut melihat kedatangan Arvin yang tiba tiba.
"Boleh saya masuk?"
"Tentu pak, silahkan duduk," jawab Adinda masih kebingungan karena ia merasa tidak ada janji bertemu dengan Arvin dan Elisa untuk membicarakan pernikahan mereka.
Arvin kemudian duduk dihadapan Adinda yang juga duduk di kursi kerjanya, Arvin diam untuk beberapa saat begitu pula Adinda.
"Pak Arvin dengan Elisa kan? mana dia?" tanya Adinda.
"Saya sendiri kesini, maksud kedatangan saya bukan untuk membicarakan detail acara wedding tapi ada urusan lain," ucap Arvin kemudian, ia masih mencari kata kata yang tepat untuk memberitahu Adinda tentang Azkia yang koma di rumah sakit.
"Urusan lain?"
"Iya, ini tentang Azkia."
"Azkia?" Adinda berpikir sejenak, "Tapi hari ini Azkia belum datang padahal sudah siang, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, jika ada sesuatu ia pasti menghubungi saya pak, saya hubungi nomornya aktif tapi sejak pagi saya coba menghubungi, Azkia tidak menjawab telepon saya, saya sangat khawatir ada yang terjadi pada Azkia," ucap Adinda dengan wajah khawatir.
"Maafkan saya, ini karena saya," ucap Arvin dengan wajah merasa bersalah.
"Karena pak Arvin? maksudnya?" tanya Adinda bingung.
"Semalam saya lembur dri restoran dan baru pulang dari resto sekitar pukul dua belas malam, sampai di suatu tikungan saya melihat seorang gadis diganggu tiga orang pemuda dan saya mencoba menolongnya, ternyata gadis itu Azkia."
"Azkia? tengan malam ada di jalan?"
"Iya, saya juga tidak tahu kenapa bisa Azkia tengah malam ada diluar, saya berusaha menolongnya tapi...," Arvin menggantung kalimatnya.
"Tapi kenapa pak?"
"Saya dan tiga pemuda itu berkelahi dan saya bisa mengalahkan mereka tapi malangnya, salah satu dari pemuda tersebut membewa pisau dan berusaha menusuk saya dan entah kenapa Azkia malah mendorong kuat tubuh saya dan ... Azkia yang tertusuk."
"Apa?!! Azkia tertusuk? Astaga Kia," wajah Adinda berubah pucat, ia mengkhawatirkan keadaan Azkia.
"Lalu bagaimana keadaannya pak? apakah dia baik baik saja?"
Arvin menghela nafas panjang, "setelah tertusuk saya membawa Azkia ke rumah sakit dan ia segera ditangani dan di operasi, tapi sekarang dia dalam keadaan koma."
"Koma?"
"Benar, dia belum sadar setelah operasi, jika ia sadar itu berarti ia bisa melewati masa kritisnya, saya datang kesini untuk memberitahumu dan meminta tolong agar menghubungi keluarganya. Saya tahu pasti keluarganya akan menyalahkan saya tapi akan saya terima semuanya dengan lapang d**a karena memang Azkia melakukan itu untuk menolong saya," jawab Arvin.
Adinda kemudian berpikir, memikirkan apa yang akan dilakukan kedua orangtua Azkia dan kakak Azkia jika tahu apa yang menimpa Azkia.
"Sebaiknya kita jangan menghubungi keluarganya dulu pak Arvin," ucap Adinda, Arvin menatap Adinda bingung, kenapa gadis di depannya malah mencegahnya untuk menghubungi Azkia.
"Kenapa? sebaiknya keluarganya segera tahu tentang apa yang menimpa Azkia, keluarganya seharusnya menemani Azkia."
"Saya tahu pak tapi saya tidak tahu bagaimana reaksi keluarganya nanti, saya pikir kita tunggu saja sampai Azkia sadar dan bertanya padanya, Azkia biasanya tidak ingin keluarganya khawatir pada dirinya karena ia hidup sendiri di Jakarta, sebisa mungkin jika ia sakit atau terluka Azkia tidak memberitahu keluarganya."
"Tapi ini lain Adinda, ini dia dalam keadaan koma dan kritis."
"Saya tahu pak tapi memang Azkia orangnya seperti itu."
"Memangnya keluarga Azkia ada dimana?" tanya Arvin.
"Keluarga Azkia ada di Yogya, kedua orangtua dan kakak laki lakinya."
"cukup jauh, aku pikir ada di Jakarta, lalu bagaimana?"
"Saya akan ke rumah sakit dan menjaga Azkia, kita berdoa saja jika Azkia segera sadar dan melalui masa kritisnya."
"Baiklah ayo," Arvin berdiri diikuti Adinda keluar dari ruang kerja Adinda, mereka akan ke rumah sakit.
~~~
~~~
Adinda dan Arvin ada di luar ruang ICU melihat keadaan Azkia dari kaca besar ruang ICU walau tidak terlihat jelas tapi Adinda dan Arvin masih bisa melihat sosok Azkia dengan pakaian pasien rumah sakit, juga selang oksigen yang ada dihidungnya, selang infus di lengannya dan entah selang selang apalagi yang ada ditubuhnya.
Arvin dan Adinda kemudian duduk di bangku yang berada di depan ruang ICU.
"Bagaimana? kita hubungi keluarganya atau tidak?" tanya Arvin.
"Seperti yang saya katakan tadi pak Arvin, kita tunggu Azkia sadar dulu dan melewati mas kritisnya," jawab Adinda.
"Kalau dia tidak bisa melewati...," Arvin tak melanjutkan ucapannya.
"Please pak jangan mengatakan hal itu, kita harus optimis jika Azkia akan sadar."
"Maaf," ucap Arvin, padahal ada ketakutan dihatinya jika Azkia tidak bisa bertahan dan akan meninggal karena ia melihat sendiri betapa dalam pisau tersebut menusuk perut Azkia.
"Lebih baik bapak ke restoran, biar saya saja yang menjaga Azkia," ucap Adinda kemudian.
Arvin menggelengkan kepalanya, "saya yang menyebabkan Azkia ada di sana, saya juga bertanggung jawab menjaganya karena saya berhutang nyawa pada Azkia."
"Saya tahu bapak orang yang sangat bertanggung jawab, tapi pak Arvin juga harus bertanggung jawab pada restoran dan pegawai pak Arvin, apakah paka Arvin sudah mengatakannya pada Elisa?" tanya Adinda.
"Belum, nanti malam kami akan dinner dan saya akan mengatakannya nanti, baiklah saya akan ke restoran kalau ada perkembangan tolong hubungi saya," ucap Arvin.
"Pasti pak."
Arvin kemudian berdiri dan meninggalkan Adinda yang masih duduk dengan wajah khawatir, ia takut Azkia tidak dapat bertahan. Adinda bertanya tanya kenapa Azkia tengah malam ada dijalanan? pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran Adinda karena yang ia tahu, Azkia bukan tipe gadis yang suka dunia malam, setelah bekerja Azkia biasanya segera pulang atau jika ada kepentingan ia pulang paling lambat jam sepuluh malam.
~~~
~~~
Arvin duduk berhadapan dengan Elisa, mereka sedang dinner di resto favorit mereka yang tentu saja bukan restoran Arvin. Restoran favorit mereka adalah restoran yang terletak di rooftop sebuah gedung apartemen. Arvin dan Elisa sedang menikmati makan malam mereka, Arvin sedang berpikir bagaimana memberitahu Elisa tentang Azkia.
"honey...," Arvin menggenggam jemari Elisa, mereka baru selesai makan malam dan masih duduk di meja mereka.
"Kenapa sayang?" tanya Elisa menatap Arvin heran, wajah tunangannya itu terlihat bingung, "kamu baik baik saja kan?"
"I don't think so."
"Ada apa?"
"Azkia..."
"Azkia? wedding planner kita?"
"Iya."
"Kenapa dengannya?"
"Dia sedang ada di ICU rumah sakit."
"Apa? di ICU, dari mana kamu tahu sayang?"
"Begini, kemarin aku pulang tengah malam dan melihat Azkia diganggu oleh tiga pemuda mabuk, aku berusaha menolongnya tapi salah satu pemuda berusaha menusukku dengan pisau tapi malah Azkia yang tertusuk pisau itu."
"Hah? bagaimana bisa sayang?"
"Azkia mendorongku sehingga pisau itu malah menusuknya."
"Syukurlah kamu baik baik saja sayang, kita akan menikah, apa jadinya jika kamu malah tertusuk. lagipula kenapa Azkia tengah malam ada di jalanan? wanita macam apa itu," ucap Elisa sedikit sinis.
"Kamu jangan bicara begitu honey, kita tidak tahu apa sebabnya dia ada dijalanan saat tengah malam, siapa tahu dia ada kepentingan mendesak. Lagipula aku berhutang nyawa pada Azkia."
"Bagaimana bisa kamu berhutang nyawa sayang? kamu sudah menolongnya dari gangguan para pemuda mabuk dan ia menyelamatkan nyawa kamu, impas dong," ucap Elisa.
"Impas bagaimana sayang? dia sekarang koma dan kritis di rumah sakit, mungkin setelah ini aku akan melihat keadaannya."
"Tidak! aku tidak mengijinkan kamu ke rumah sakit, kamu seharian bekerja di restoran dan sekarang kamu akan ke rumah sakit? no no no, kamu butuh istirahat, di rumah sakit pasti ada keluarganya sayang."
"Honey, keluarganya tidak ada di Jakarta tapi di Yogya, hanya Adinda yang menjaga Azkia."
"Ya sudah minta Adinda menghubungi keluarga Azkia agar bisa menjaganya, aku tidak mau ya kamu kelelahan menjaga Azkia dengan dalih berhutang nyawa," ucap Elisa dengan wajah tidak suka.
Arvin menghela nafas panjang, "baiklah, ayo aku antar pulang honey," ucap Arvin, Elisa mengangguk. mereka kemudian berjalan menuju lift dan turun ke basement dimana mobil Arvin berada, Arvin melajukan mobilnya menuju apartemen Elisa, Elisa memang memilih tinggal bersama kedua orangtuanya walau orangtuanya berada di Jakarta.
Elisa memiliki adik perempuan yang sedang kuliah, Elisa lebih senang tinggal sendiri dari pada bersama keluarganya karena ia bisa melakukan apa saja. Mobil Arvin berbelok ke komplek apartemen Elisa dan memarkirkan mobilnya tak jauh dari lobby lalu mematikan mesin mobilnya.
"Aku antar sampai disini ya honey?" ucap Arvin menoleh pada Elisa.
"Atarkan aku ke atas sayang," ucap Elisa bergelayut manja pada lengan Arvin, Arvin tersenyum melihat manjanya Elisa.
"Baiklah, ayo," Arvin membuka pintu mobil, begitu juga Elisa, mereka keluar dari mobil dan memasuki lobby dan menuju lift, lift membawa Arvin dan Elisa naik ke lantai 20 dimana unit apartemen Elisa berada.
Arvin mengantarkan Elisa hingga depan unit apartemennya, "Aku pulang ya honey?"
"Kamu masuk dulu sayang, kan sudah lama kamu tidak singgah ke apartemen aku?"
"Tapi ini sudah malam honey?"
"Just a moment, please?"
"Baiklah," jawab Arvin kemudian masuk bersama Elisa ke dalam apartemen Elisa, mereka kemudian duduk di sofa ruang tamu apartemen Elisa, Elisa bergelayut manja di lengan Arvin yang sedang bersandar di sofa, fikiran Arvin melayang pada keadaan Azkia, kenapa Adinda belum menghubunginya? apakah memang Azkia belum sadar.
"Sayang, apa yang kamu fikirkan?" tanya Elisa, Arvin menoleh pada Elisa dan tersenyum tapi Arvin terkejut karena tiba tiba Elisa sudah menyambar bibirnya dan memagutnya dengan penuh nafsu, tanpa disadari oleh Arvin Elisa sudah duduk dipangkuan Arvin, Arvin membalas ciuman Elisa dengan lembut tapi lama kelamaan ciuman Elisa menjadi liar, Elisa bahkan menarik tangan Arvin dan meletakkannya di dadanya membuat Arvin terlena tapi hanya untuk sesaat, Arvin kemudian mendorong tubuh Elisa ke samping.
"El... stop it!"
"Kenapa sayang? kita sudah bertunangan dan tidak ada salahnya melakukan ini, kita akan menikah."
"Kita sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan intim sebelum menikah kan?"
"Tapi aku menginginkannya sayang," Elisa kembali duduk di pangkuan Arvin, dan tangannya bergerilya membuka kancing kemeja Arvin tapi tangannya dihentikan oleh Arvin.
"Honey, aku menghormati kamu sebagai seorang wanita, come on jangan seperti ini," ucap Arvin meminta Elisa kembali duduk disamping, wajah Elisa terlihat marah tapi ia tidak bisa berbuat apa apa.
Lynagabrielangga.