“Kamu kenapa banyak melamun dari tadi, Vin?” pertanyaan Mas Alan membuatku menoleh. Ponsel yang sejak tadi kugunakan untuk menutupi lamunanku, langsung kutaruh di pangkuan. “Enggak, perasaan. Biasa aja.” Mas Alan berdiri dari kursinya dan duduk di sebelahku. “Yakin?” “Yakin. Ngomong-ngomong, Mas kapan selesainya? Jadi ke MW, kan? Papa lagi di sana sampai sore. Ini Sisil ngabarin.” “Iya, jadi. Setelah makan siang, ya?” “Oke.” Mas Alan kini terus menatapku, membuatku kembali pura-pura sibuk dengan ponsel. Sebenarnya, Mas Alan tidak salah. Sejak tadi aku memang banyak diam dan melamun. Ini karena aku mendadak malu setelah apa yang kami lakukan tadi pagi. Tadi pagi aku menolak ajakan Mas Alan untuk ‘lanjut’, tetapi sebelum itu aku menyadari kalau apa yang kami lakukan tidak sesederhana