Nakyta heran dengan kehadiran Fariz disini. Bukankan ia hanya akan mengantar Nakyta ke sekolah lalu untuk apa Fariz berada di studio musik ini. Nakyta melebarkan matanya ketika laki-laki yang bernama Azka itu memperkenalkan Fariz sebagai teman satu grup nya. Bukankah itu berarti bahwa Fariz adalah salah satu alumni sekolah ini. Tapi kenapa Nakyta tidak tau kalau Fariz adalah alumni sekolah ini, bahkan ia juga alumni ekskul band sekolah. Selama ini Nakyta tidak pernah melihat Fariz di sekolah, atau memang Nakyta yang tidak pernah tau dan tidak pernah memperdulikan kakak kelas hingga tidak tau akan hal ini. Atau mungkin karena Fariz yang berbeda dua tingkat hingga ketika ia masuk, ia jarang melihat Fariz.
Fariz menatap tajam Raka yang masih merangkul gadis mungil yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya. Nakyta yang melihat tatapan Fariz langsung pucat dan kaku, tubuhnya gemetar. Sedikit menggerakan pundaknya agar Raka mau melepaskan rangkulannya itu. Raka yang merasa diintimidasi oleh tatapan Fariz langsung melepaskan rangkulannya dari Nakyta dengan cengirannya.
"Abang Fariz ini satu grup sama abang, posisi dia sebagai gitaris. Dia juga yang membuat nama band sekolah ini. Buat adek adek yang mau kenalan sama Bang Fariz boleh. Tapi awas hati-hati ya, dia belum jinak." sontak semua langsung tertawa mendengar candaan Azka.
"Oke seperti apa yang diintruksikan sama abang tadi, kita mulai aja bagi kelompok."
Semua langsung melingkar membuat kelompok seperti yang diperintahkan Azka. Raka langsung bergabung dengan anak-anak sedangkan Nakyta yang sempat terdiam berbalik untuk duduk kembali di kursi hitam yang selalu menjadi favoritnya. Para perempuan terus menatap Fariz penuh minat. Pasalnya selain dengan tampang Fariz dan penampilannya yang hanya mengenakan celana jeans hitam dengan sobekan di kedua lututnya, baju kaos polos hitam dengan sepatu yang sama dengan Nakyta hanya saja berbeda warna yakni warna Abu-abu membuat Fariz tampak keren. Fariz menjadi pusat perhatian seketika namun tidak pernah dipedulikan oleh sang empunya. Fariz hanya langsung duduk di samping Nakyta tanpa canggung.
Semua orang sesekali melirik kedua kakak kelas itu. Penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan, apa yang mereka bicarakan dan ada hubungan apa antara mereka. Karena dilihat Fariz yang terlihat lebih santai didekat Nakyta.
Sedangkan Nakyta yang wajahnya pucat bertambah pias dengan keringat kecil yang menempel diseluruh tubuhnya terutama di kening dan telapak tangannya yang terasa basah. Nakyta menunduk, lebih memilih memainkan handphonenya.
"Oi Bang Riz! Kyky! nggak ikut gabung?" Tanya Raka melihat Fariz yang masih betah duduk memperhatikan orang-orang dibawahnya.
"Males." jawab Fariz singkat sedangkan Nakyta menggeleng lemah.
Para gadis sangat menyayangkan Fariz yang tidak ingin ikut bergabung, padahal mungkin ini kesempatan bagi mereka untuk bertanya banyak pada laki-laki tampan itu. Raka langsung mengalihkan perhatian orang-orang hingga mereka semua kembali fokus berbicara yang entah apa yang mereka diskusikan. Raka dan yang lainnya pun tidak mempedulikan Nakyta yang tidak ikut bergabung. Kadang mereka terlihat serius, kadang mereka tertawa terbahak ketika salah satu alumni mereka membuat sesuatu yang lucu.
Fariz menoleh melihat Nakyta yang sangat asyik dengan handphonenya itu sehingga dirinya diacuhkan. Fariz yakin pasti Nakyta terkejut dengan kehadirannya yang ada disini. Fariz juga yakin jika Nakyta tidak tau jika dirinya adalah alumni dan kakak tingkatnya. Nakyta tidak pernah ikut campur urusan dirinya maka dari itu ia tidak pernah mau bertanya bagaimana riwayat pendidikan Fariz.
"Apa yang menarik dari handphone?" Fariz mengeluarkan suaranya setelah lama membiarkan Nakyta bergelung dengan handphonenya.
Dilihatnya Nakyta yang langsung meletakkan handphone itu disampingnya lalu kembali diam menatap ke depan. Seolah seperti robot yang patuh pada tuannya dan mengerti apa yang harus dilakukannya tanpa perlu dengan kata-kata suruhan. Sama seperti Nakyta mengerti maksud Fariz yang bertanya mengenai handphone itu. Secara langsung Fariz menyuruhnya untuk berhenti memainkan benda itu.
Nakyta gelisah dalam diamnya. Mata Fariz tidak pernah lepas menatap gadis yang ada disampingnya itu. Perlahan tangannya terulur mengelus rambut Nakyta yang tergerai, membuat Nakyta menegang seketika. Tubuhnya gemetar ketakutan dan Fariz sangat menyadari hal itu.
"Makanannya udah dimakan?" Tanya Fariz berhenti memainkan rambut panjang itu. Nakyta ingat dengan makanan yang dibawa Fariz saat di kasir tadi. Tanpa menoleh Nakyta menggelengkan kepalanya. Matanya sekilas melirik kresek putih yang tergeletak disudut depan panggung. Makanan itu.
"Kenapa?" Tanya Fariz lagi dengan nada datar namun sedikit terselip ancaman. Ia sengaja membeli makanan untuk Nakyta karena ia tau jika Nakyta belum sarapan ketika berangkat kesini, ia tau karena ia melihat sendiri bagaimana Nakyta yang sangat terburu-buru menyiapkan sarapan untuknya dan adiknya tadi pagi dan Nakyta sendiri tidak ikut sarapan bersama.
Nakyta yang mendengar suara Fariz semakin ketakutan. Tangannya terkepal menggenggam ujung baju yang dikenakannya hingga kuku jarinya memutih. Fariz menghela napas lelah. Apa ia memang sudah membuat gadis itu sangat ketakutan? Fariz mengingat kembali apa yang sudah ia lakukan pada anak orang lain itu. Mulai dari mengancam Nakyta karena tragedi itu, menatap Nakyta tajam. Tak segan mencekik leher Nakyta jika gadis itu melakukan kesalahan, menjadikannya b***k untuk mengurus segala keperluannya, memerintah Nakyta semaunya tanpa melihat situasi serta keadaan Nakyta, sering membuat gadis itu kehujanan hanya demi menunggunya berlatih futsal hingga membuatnya jatuh sakit. Pernah hampir membuat gadis itu mati ditenggelamkan oleh tangannya sendiri ke dalam bath up.
Fariz memejamkan mata dengan mengusap keningnya. Menyadari betapa sangat kejamnya ia memperlakukan Nakyta seperti itu. Kilasan perbuatannya langsung menari dipikirannya. Apa ia sudah keterlaluan?
Tapi bukankah itu setimpal dengan apa yang sudah pernah ia lakukan terhadap seseorang yang sangat ia sayang, hingga membuat tragedi itu akhirnya terjadi. Ini bahkan tidak lebih buruk dari apa yang menimpa seseorang itu, bahkan hampir kehilangan nyawanya.
Jika dilihat dari fisik Nakyta sekarang ini membuat Fariz yakin jika apa yang telah ia lakukan selama ini membuat gadis itu sangat ketakutan. Melihat dari cengkraman tangannya, keringat dingin serta gemetaran tubuhnya Fariz tau jika ia sudah terlalu dalam menakuti Nakyta.
"Bisa nggak, kamu anggap kita temen?"
Nakyta terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Fariz memintanya untuk berteman?
Nakyta mengerutkan kening menatap Fariz. "Jangan ketakutan kalau lagi sama aku. Tenang aja, anggap aja aku temen kamu." lanjut Fariz yang melihat kebingungan di wajah Nakyta.
Nakyta akhirnya memaksakan senyum masam. Sempat terpikir dengan ucapan Fariz tadi. Teman? Hal yang tidak mungkin. Apalagi mendengar penjelasan Fariz membuat Nakyta mengerti bahwa mereka perlu berpura-pura akrab layaknya teman. Bukankah Fariz sendiri yang mengatakan 'anggap' teman.
"A .. apa Kak Fariz ma... mmm masih ma-"
"Tuh kan balik lagi. Santai aja jangan gugup ketakutan kayak gitu. Nggak akan diapa-apain ko. Kamu nggak ngelakuin kesalahan ini 'kan?" Sela Fariz saat mendengar Nakyta yang berbicara padanya dengan terbata.
"Maaf"
Fariz menghembuskan napasnya lagi. Sepertinya memang akan sulit untuk membuat Nakyta tidak takut padanya.
"Apa kakak udah nggak marah sama Kyky?"
Dengan ekstra penuh keberanian akhirnya Nakyta berani untuk bersikap biasa seperti apa yang Fariz mau. Walau sisa ketakutan masih ada tapi ia akan berusaha untuk menepis rasa itu dan mencoba untuk menerima semuanya. Menerima sikap dan perlakuan Fariz terhadapnya. Menerima karena memang ini jalan yang harus ia tempuh sendiri.
Fariz menggeleng menatap Nakyta sebagai jawaban, "kalo gitu Kak Fariz udah bisa maapin Kyky?" Tanya Nakyta hari-hati dan langsung menundukkan kepala setelah menyelesaikan pertanyaan itu. Akhirnya ia bisa menanyakan hal itu setelah sekian lama.
Deg.
Seketika jantung Fariz serasa berhenti berdetak lalu kemudian berdetak kembali dengan sangat cepat. Matanya yang terkejut berubah menjadi tajam. Napas Fariz memburu. Ia tau maaf untuk apa yang dimaksud Nakyta.
"Kata siapa?" Suara datar namun sedikit tercekat itu membuat Nakyta menoleh Fariz lalu menunduk kembali.
Fariz memejamkan mata kembali dengan menghirup napas sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya perlahan. Mencoba berperang melawan hatinya yang memberontak. Apa Fariz sudah memaafkan Nakyta? Tentu saja belum.
Setelah hening beberapa saat Fariz menatap Nakyta kembali dengan tatapan biasa, "nggak akan nanya kenapa ada disini?" Fariz berusaha untuk mengalihkan pembicaraan dengan bertanya pada Nakyta. Walau dalam hati ia merutuki kebodohannya. Ia sadar kalo dirinya telah menyuruh Nakyta untuk bersikap biasa namun saat Nakyta berusaha bersikap biasa malah Fariz sendiri yang membuat Nakyta bersikap seperti ketakutan lagi.
"Kakak alumni sini?" Tanya Nakyta.
Fariz tersenyum sedikit, bahkan tak ada yang tau jika ia tersenyum. Salut akan keberanian Nakyta yang selalu ia bangun kuat, hancur lalu ia bangun kembali.
"Tiga tahun diatas kamu. Ya ... alumni sini."
"Ko Kyky nggak tau ya." ujar Nakyta dengan tersenyum. Mengingat ketidak tauan akan Fariz yang bersekolah sama dengannya.
"Kamu nggak pernah liat kakak kelas." jawab Fariz menatap Nakyta dan Nakyta pun menatap Fariz dengan masih tersenyum. Senyum yang selalu ia tunjukkan pada semua orang yang menyapanya.
Nakyta terkekeh dan Fariz menyunggingkan senyumnya membuat Nakyta tidak percaya. Baru kali ini ia melihat senyum Fariz. Membuat ketampanannya semakin bertambah dan Nakyta harus akui itu.
Mereka akhirnya mengobrol layaknya seperti teman akrab. Tidak peduli dengan sekitar yang menatap mereka penasaran. Membentuk dunia mereka sendiri, seolah hanya ada mereka saja disitu.
Nakyta kini menyadari satu hal. Ia sadar jika apa yang diperbuat Fariz selama ini adalah bentuk rasa kecewa akan apa yang terjadi dengan orang yang ia sayang. Tidak terima dengan apa yang sudah terjadi menimpa orang yang disayanginya. Maka dari itu ia selalu bersikap seperti itu padanya. Seharusnya Nakyta mengerti apa yang dirasakan Fariz. Ia juga harus menerima segala bentuk tindakan Fariz yang menurutnya sebagai pelampiasan akan ketidak berdayaan Fariz dalam menjaga orang yang selalu ada bersamanya dulu, hingga tragedi yang menimpa itu terjadi membuat Fariz kehilangan orang yang disayanginya. Orang itu tidak pergi selamanya namun orang itu akan pergi sementara dan akan kembali entah kapan. Namun tragedi itu harus memisahkan mereka untuk saat ini.
- - -
Fariz berjalan di koridor kampus. Sudah menjadi hal yang biasa baginya mendapatkan tatapan memuja dari para mahasiswi yang dilewatinya. Ia merasa heran, apa yang menarik darinya hingga hampir setiap ia berada di kampus selalu saja mendapatkan pujian serta tatapan kagum dari adik tingkat, satu angkatan dengannya bahkan dengan seniornya. Fariz tidak pernah merasa dirinya tampan atau cool seperti apa yang selalu digembar-gemborkan oleh mahasisiwi dikampusnya. Wajahnya standar menurutnya karena tampan itu relatif, tubuhnya tidak sebagus orang-orang yang selalu berolahraga bahkan ia termasuk kedalam badan kurus, hanya saja ia diberi tinggi yang mencapai 180 cm. Mungkin juga karena Fariz yang kesannya pendiam serta dingin membuat semua orang penasaran dengannya. Padahal Fariz yang memang dasarnya tidak suka dengan keramaian atau berteman dengan siapapun membuatnya lebih menutup diri.
"Oi Riz, sini."
Teriak seseorang membuat Fariz menoleh dan berjalan menghampiri segerombolan orang yang tengah duduk lesehan di sudut depan kelas. Fariz langsung memilih duduk berselonjor di bawah jendela kelas. Karena kelas ini terdapat di ujung koridor hingga mereka bisa leluasa mojok di luar kelas.
"Eh Riz, ntar gua ke rumah lu ya." ujar Rifan.
Fariz mengangguk dan mulai memfokuskan dirinya ke handphone.
"Emang mau ngapain lu ke rumah Fariz?" Tanya Dani pada Rifan.
"Biasalah mau ketemu pujaan hati." jawab Rifan dan langsung mendapatkan dengusan dari Fariz sedangkan Dani mengkerutkan keningnya.
"Hah? Siapa? Pacar lu?" Tanya Dani penasaran.
"Calon pacar."
"Jangan bilang lu naksir Nabilla adenya si Fariz yang itu." teriak Riko seperti tidak terima.
"Emberr, doain ya. Gua lagi pdkt."
"Ehh kenapa adenya si Fariz lu embat juga. Incaran gua tuhhh." Riko tidak terima.
"Hahha siapa cepat, dia dapat."
Fariz yang mendengar keributan dalam tim nya pun hanya menggeleng. Tidak menduga jika ia akan berteman dengan mereka yang sangat ribut dan cerewet seperti wanita namun akan terlihat jaim dihadapan para fans mereka dan tentunya gebetan mereka.
Rifan Fauzi teman Fariz yang ia kenal semenjak Fariz memergoki Rifan yang waktu itu tengah mengantar adiknya Nabilla pulang tengah malam. Rifan yang tak lain adalah Kakak Kelas Nabilla sendiri dulu sekolah seni dengan mengambil jurusan teater namun sekarang saat kuliah Rifan lebih memilih untuk mengambil jurusan perfilman sama seperti Fariz. Rifan sangat menyukai Nabilla lebih tepatnya ia jatuh cinta pada Nabilla dan pada saat itu ia mempunyai kesempatan untu mengantar Nabilla bukan kesempatan melainkan paksaan menggunakan senioritas sebagai senjatanya. Disitulah awal pertemuan Fariz dengan Rifan dan mereka tidak menyangka jika akan memasuki universitas yang sama dan jurusan yang sama pula.
Ada Riko salah satu teman Rifan dan menjadi teman Fariz juga. Sejak awal melihat Nabilla yang mengantarkan tugas kakaknya itu, ia telah jatuh hati ada perempuan mungil, ceria dan aktif itu. Sampai sekarang ia sudah sering melakukan pendekatan namun selalu dihiraukan oleh Nabilla.
Dan juga Dani seorang playboy yang terkenal dikampus. Ia mempunyai paras tampan yang dimanfaatkannya untuk menggaet semua wanita yang mendekatinya.
Entah apa yang membuat mereka bisa berteman. Yang pasti Fariz merasakan jika hidupnya tidak sendiri, ia sadar jika hidupnya tidak sendirian dan sepi. Fariz tidak mengharapkan ini, namun kenyataannya adalah bahwa Fariz memang harus berada dalam lingkaran pertemanan. Baginya pertemanan itu adalah saling menguntungkan dimana ia membutuhkannya maka ia juga akan dibutuhkannya. Saling menerima dan memberi selebihnya teman itu menurut Fariz adalah bohong.
"Faaarizzzzz." teriak seorang wanita berlari kecil menghampiri Fariz yang masih diam ditempat.
Fariz menghela napas. Tanpa perlu melihat nya pun Fariz sudah tau suara siapa itu.
"Fariz kangen." suara manja Ariani membuat Fariz risih.
Ariani Dewi Putri. Teman satu jurusan dan yang selalu menempel pada Fariz. Ariani selalu mengikuti Fariz dan tidak pernah mendapatkan tanggapan yang baik dari Fariz, namun Ariani tidak pernah menyerah. Wanita itu sudah tergila-gila dengan Fariz. Bahkan meminta Ayahnya yang berteman baik dengan Ayahnya Fariz agar dapat menjodohkan mereka. Ariani adalah mantan kekasih Rifan sendiri bahkan kabar yang didengar Fariz mereka menjalin hubungan hampir tiga tahun, entah apa yang membuat mereka putus hingga sekarang ketika Ariani bertemu dengan Fariz ia langsung mengecap Fariz adalah miliknya. Ariani tidak pernah menyerah walau selalu mendapatkan perlakuan dingin bahkan Fariz tidak pernah memberikan respon apapun.
Tanpa banyak bicara Fariz langsung melepaskan rangkulan Ariani dan berdiri lalu berjalan masuk ke dalam kelas karena dosen akan segera masuk.
"Ih Fariz, ko ditinggal." rengek Ariani mengikuti Fariz dan disusul oleh teman-teman Fariz yang hanya tersenyum melihat kelakuan Ariani yang cantik itu.
"Udah deh Arian jangan ganggu Fariz." ungkap Rifan melihat Ariani yang masih saja mengikuti Fariz bahkan ia menggeserkan kursi nya agar lebih dekat dengan Fariz.
"Biarin aja. Emang kenapa? Terserah gua lah. Lu nyesel udah putus ama gua? Cemburu? Pengen minta balikan lagi? Ih .... sorry nggak ada prinsip gua balikan sama mantan." cerocos Ariani.
"Siapa juga yang nyesel. Gua cuman kasian ngeliat calon abang ipar gua yang risih di deket lu."
Fariz tidak terima jika dirinya dianggap belum move on dengan sang mantan pacar. Justru dirinya sudah melepaskan Ariani saat gadis itu masih mencintainya. Bukankah itu berarti bahwa Fariz yang menginginkan hubungan mereka berakhir dan seharusnya Fariz yang mengatakan apa yang dikatakan Ariani tadi.
"Abang ipar? Maksudnya lu sama Nabilla? Ade kelas itu? Pantes aja ... udah gua duga, jadi lu mutusin gua karena ade kelas itu. Astaga." dengan gaya khas yang selalu menyibakkan rambutnya.
"Kalo iya kenapa?" Tantang Rifan.
"Wahh parah parah." gumam Ariani menggelengkan kepala.
"Eh tapi nggak apa-apa sih. Lagian gua udah ada Fariz." ucap arian enteng sambil menggenggam jari Fariz yang sedari tadi di atas meja sedangkan tangan satunya lagi menopang dagunya. Matanya melihat jendela luar yang menampilkan para mahasiswa yang sedang bermain futsal.
Fariz tidak peduli dengan apa yang tengah dibicarakan orang sekitarnya. Bahkan ia sama sekali tidak mendengarnya. Tidak ingin mendengar hal yang tidak ada kaitannya dengan dirinya. Ia tidak mau ikut campur
"Woyy Pak gundul nggak masuk." teriak salah satu mahasiswa yang langsung mendapatkan teriakan antusias dari mahasiswa lainnya.
Mendengar itu Fariz langsung melepaskan tangan Ariani begitu saja lalu melangkah keluar dengan diikuti oleh Dani, Rifan, dan Riko. Meninggalkan Ariani yang hanya menghela napas menatap punggung Fariz dan teman-temannya. Sampai kapan Fariz akan menoleh padanya.
- - -
"Jadi Bu, nanti ade mau mulai masuk sekolah?" Tanya seorang gadis yang tengah duduk disamping Ibunya.
Orang yang ditanya langsung mengangguk dan kembali untuk menggoreng masakannya. Gadis itu menghela napas dengan wajahnya yang mulai menunduk sedih.
"Kenapa?" Tanya si Ibu melihat perubahan raut wajah anaknya.
"Mmmm kalo ade mau sekolah berarti harus ngeluarin biaya lagi. Nakyra masuk SMA terus Kak Kyky juga pasti pengen lanjut kuliah. Pasti ngeluarin biaya yang banyak." ungkap Nakyra.
Nakyra Princestya adik kandung dari Nakyta. Sekarang ia akan memasuki SMA karena jarak umur yang berbeda tiga tahun dengan sang kakak. Karena umurnya yang terpaut tiga tahun jadi mereka berdua sama-sama lulus sekolah di tahun ini. Sedangkan adiknya yang satu lagi sudah genap hampir tujuh tahun dan saatnya untuk masuk sekolah.
Adina, Ibu dari mereka terdiam memikirkan keresahan Nakyra. Ia tersenyum menatap putrinya, dielus kepala putrinya dengan sayang.
"Nggak apa-apa, Ibu pasti bisa cari uang buat biaya sekolah kalian."
"Tapi bu..."
"Udah jangan dipikirin. Semuanya pasti baik-baik aja." senyum Adina menenangkan Nakyra yang mengangguk paham.
Dibalik itu Nakyta mendengar semua pembicaraan Ibu dan adiknya. Ditangannya terdapat secarik kertas dimana ia diterima SNMPTN di Universitas yang diinginkannya. Tadinya ia akan memberitau Ibu dan adiknya namun saat akan menghampiri mereka, Nakyta mendengar pembicaraan itu dan langsung mengurungkan niatnya dan memilih bersembunyi dibalik tembok. Nakyta tertunduk dan berjalan memasuki kamarnya, diletakkannya surat itu diatas nakas meja samping tempat tidurnya. Dihempaskan tubuhnya ke kasur, menatap dinding kamarnya lalu memejamkan mata mencoba memikirkan semua hal yang sedang menimpa dirinya.
Ia ingin melanjutkan sekolahnya namun mendengar pembicaraan adiknya tadi membuat ia berpikir ulang. Bagaimana dengan biaya pendidikannya? Darimana ibunya bisa mendapatkan biaya tersebut disaat bukan hanya ia yang harus melanjutkan sekolah ada adiknya juga yang membutuhkan pendidikan.
Matanya terpejam kembali disusul dengan satu bulir airmata disudut matanya.
- - -
"Kamu nggak jadi lanjut? Sayang loh itu SNMPTN nya. Kenapa nggak diambil?"
"Kayaknya, Kyky mau langsung cari kerja aja."
"Loh kenapa? Ambil aja. Susah cari kerja tau, apalagi cuman pendidikan SMA. Udah lanjut kuliah aja, Ky. Kalau SNMPTN nya nggak mau diambil, udah kuliah bareng aku aja. Sayang kamu itu pinter loh."
Nakyta hanya menggeleng dan tersenyum menatap Nabilla yang cemberut karena keputusannya. Kini mereka tengah berada di salah satu kafe untuk jalan-jalan sore, menikmati sisa hari di waktu weekend.
Nakyta sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan tidak mengambil SNMPTN yang didapatnya. Guru-guru dan teman-temannya sangat menyayangkan perihal keputusan yang ia ambil itu. Walau dalam hatinya ia sangat menginginkan kuliah, apalagi universitasnya itu akan menjanjikan cita-cita yang selama ini ia mimpikan itu pasti akan terwujud. Menjadi Guru adalah cita-cita Nakyta sedari kecil dan universitas yang menerima Nakyta dalam SNMPTN itu akan bisa mewujudkan cita-citanya.
"Ya udah kalo memang itu keputusan kamu. Padahal aku ngarepnya kita bisa kuliah bareng. Tapi ya kalo itu mau kamu nggak apa-apa. Mungkin kamu bisa nyusul."
Kini Nakyta mengangguk. Berharap apa yang dikatakan Nabilla itu bisa menjadi kenyataan. Ia berharap bisa kuliah di tahun depan. Semoga masih ada kesempatan untuk mewujudkan cita-cita nya.
"Oke semangat Kyky." dengan mengepalkan kedua tangannya Nabilla memberi semangat kepada Nakyta tersenyum.
Handphone Nabilla berdering dengan cepat dijawab panggilannya dengan isyarat pada Nakyta untuk menunggu.
"Iya? Sekarang? Tapi ... emang penting? Oke aku ke sana."
Nakyta mengerutkan keningnya menatap Nabilla yang terlihat buru-buru memasukkan brang-barangnya.
"Sorry aku harus pergi sekarang. Ada meeting buat event cosplay nanti. Kamu jadi ikut 'kan? Besok aku kabarin lagi hasilnya. Sekarang kamu mau ikut aku atau mau aku anter dulu ke rumah?" Tanya Nabilla dengan terburu-buru.
"Kamu pergi aja. Kyky mau beli buku di toko buku depan. Hati-hati di jalan, jangan ngebut."
Nabilla mengangguk, ia pamit lalu pergi keluar. Nakyta kembali menatap jendela disampingnya, menatap keramaian di jalan. Dihembuskannya perlahan. Kepalanya menoleh menatap seseorang yang tiba-tiba saja duduk dihadapannya, ditempat Nabilla tadi. Mata Nakyta membalak kaget saat melihat orang yang dengan santainya meminum vanilla latte milik Nabilla yang masih sisa setengahnya.
Fariz yang merasa diperhatikan menatap Nakyta yang masih mematung dihadapannya. Daritadi ia memang sudah memperhatikan adik dan temannya itu. Mendengar pembicaraan para gadis itu, dan memperhatikan ekspresi yang mereka tunjukkan tanpa mereka ketahui.
"Kenapa?" Tanya Fariz yang melihat Nakyta masih diam memperhatikannya.
%%%