"Kenapa, Mas?" Aku terus memperhatikannya lama. Wajahnya pucat sekali. Padahal yang kuinginkan, dia antusias bukannya malah sebaliknya. "Mas gak senang seandainya aku hamil?" tanyaku lagi, menatapnya menyelidik. Jujur saja aku kecewa dengan sikapnya. Harusnya dia antusias, bukannya menunjukkan wajah ketakutan. Padahal dia sendiri yang waktu itu bilang ingin segera punya anak. Terus bicara mengenai anak, tapi sekarang sikapnya di luar dugaan. "Bukan tidak suka. Tapi itu tidak mungkin, Sayang. Aneh sekali si Rini itu," katanya sambil menggelengkan kepala. Dia setengah tertawa seolah yang kukatakan adalah yang tidak masuk akal. Padahal kan Rini juga pernah mengalaminya, jadi mungkin saja, kan, jika aku hamil? "Apanya yang aneh?" tanya Rini sambil berjalan masuk. "Yang kamu katakan pada L