Pagi itu, langit Jakarta masih diliputi kabut tipis ketika Uma menyeret koper kecilnya keluar dari apartemen. Ia sempat ragu sesaat ketika menarik gagang koper. Ia teringat akan putri kecilnya. Namun ia mengeraskan hati dan berjalan lurus. Ia tidak akan mendapatkan hak asuh putrinya kalau ia masih tetap di sini. Di depan lobi, seorang sopir taksi online sudah menunggunya. “Pagi, Bu?” sapanya ramah. Uma mengangguk kecil, suaranya hampir tenggelam oleh riuh kendaraan yang mulai padat. “Pagi, Pak.” Sepanjang perjalanan menuju terminal, Uma hanya terdiam. Tatapannya menerobos kaca jendela, mengamati kota yang membesarkannya. Jakarta—dengan segala luka, kenangan, dan air mata. Sesampainya di terminal, ia mengecek tiket digital di ponselnya. Cisarua. Tujuan baru yang penuh tanda tanya. Um