Lumatan Nikmat

1649 Kata
Langkah Aurielle terhenti di ujung tangga. Bahunya naik turun, napasnya tercekat. Di bawah sana, kerumunan mahasiswa sudah menyesaki halaman utama. Sorak-sorai, teriakan, kamera ponsel mengarah ke satu titik yang jadi pusat semesta pagi itu. Seorang pria tampan berdiri di depan sportscar hitam matte yang baru saja berhenti. Tinggi, tegap, kemeja hitam membingkai bahu lebar. Rambut gelap dengan highlight merah di ujungnya jatuh acak menutupi sedikit dahi, membuat wajahnya semakin kontras dengan tatapan mata tajam yang menohok siapa pun yang berani menatap balik. Aurielle seakan terpaku ditempat. Dua hari ia menunggu, menahan khawatir, menatap centang biru yang tak pernah berbalas. Dan kini, lelaki itu berdiri di hadapannya. Begitu nyata. Begitu dingin. Begitu dekat. “Levi!” suaranya nyaris pecah, bergetar antara lega dan takut. Levi menoleh. Sorot matanya, yang sejak tadi dingin, seketika berubah. Ada rasa lain di sana, seakan hanya Aurielle yang ada di sekelilingnya. Ribuan mata menatap, tapi fokusnya hanya satu … gadis kecil yang sejak dulu dijodohkan untuknya. Sky berhenti di samping Aurielle. Napasnya masih berat karena berlari mengejar. Pandangannya menancap ke arah Levi. Baru kali ini ia menyadari betul akhirnya—ini Levi. Nama yang selalu disebut Aurielle. Bayangan yang selama ini tak pernah bisa ia kalahkan, meski sejauh apa pun ia berusaha. Tatapan mereka bertiga bertemu. Aurielle penuh rindu yang tak terucap, bercampur canggung karena dua dunia seakan bertabrakan. Levi dengan tatapan dingin tapi penuh kepemilikan. Dan Sky, bara api rivalitas seakan menyala penuh di dadanya. Aurielle memberanikan diri melangkah satu langkah maju, matanya berair. “Kamu … beneran di sini?” Belum sempat napasnya stabil, Levi bergerak. Tanpa memberi ruang untuk ragu, tangan dinginnya langsung menarik pinggang Aurielle, mendekapnya ke sisi tubuhnya. Kerumunan mahasiswa meledak. Kamera ponsel serentak terangkat, kilatan flash memancar, jeritan histeris pecah. “GILAAA!!” “INI FIX VIRAL!!!” “WHO IS HE OMGGGG??!!” Sky tertancap membeku di tempatnya berdiri. Rahangnya menegang, tatapannya panas, hatinya perih, tapi tubuhnya nggak bisa bergerak melihat cara Levi menggiring Aurielle seakan dunia milik mereka berdua. Aurielle sendiri nyaris nggak bisa bernapas. Kehangatan Levi yang familiar menyergap, tapi cara tangannya mencengkeram pinggangnya … bukan lagi seperti sahabat kecil lagi. “Masuk.” Levi membuka pintu sportscar hitam matte itu, nyaris memaksa Aurielle untuk menunduk dan melangkah masuk. Tak peduli pada kamera, tak peduli pada teriakan, tak peduli pada Sky yang masih berdiri tegap di tangga dengan tatapan nanar. * * Di Dalam Sportscar Levi Mesin sportscar meraung halus, melaju mulus di jalanan. Aurielle duduk di kursi penumpang, tangan terlipat di d**a. Bibirnya manyun, pipinya menggembung, matanya sengaja menatap keluar jendela, mengabaikan Levi yang tenang di balik kemudi. Levi melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis. “Lo kenapa manyun?” suaranya berat, tenang, tapi ada nada menggoda yang familiar. Aurielle langsung mendelik ke arahnya, matanya berair tapi penuh protes. “Kamu nggak bales WA aku udah dua hari! Dua hari, Levi! Aku chat kamu banyak banget, kamu read doang, terus hilang! Aku khawatir, tau nggak?! Aku kira kamu kenapa-kenapa di Santorini sana!” Levi menahan napas sebentar, lalu mendesah berat. Tangan kanannya tetap mantap di kemudi, tatapannya lurus ke jalan. “Jetlag.” katanya cuek. Aurielle hampir meledak. “Jangan bohong kamu ya! Leviathan Yoon Dirgantara jetlag?! Impossible! Aku nggak baru kenal kamu setahun doang!” suaranya meninggi, hampir raungan. Levi menoleh sekilas, alisnya terangkat, senyum tipis sinis muncul di bibirnya. “Seriously? Gara-gara dua hari chat nggak dibales lo ngamuk kayak bocah? Yang penting sekarang gue udah balik. Dan lo berani manyun depan gue cuma karena dua hari?” Aurielle terdiam, bibirnya bergetar. Dia pengen nyerocos lagi, tapi nada Levi terlalu menusuk. Tangan kiri Levi mendarat di paha Aurielle, meremasnya cukup keras. “Next time lo protes soal hal receh kayak gitu, gue bikin lo nangis dengan cara lain. Ngerti?” Aurielle menelan ludah, wajahnya panas campur gugup. “Levi!” “Ck!” Levi tiba-tiba membanting setir, mobil sportscar itu menepi mendadak ke pinggir jalan yang agak sepi. Rem berdecit pelan, mesin masih meraung rendah. Aurielle langsung panik. “Kamu mau ngapain?!” Levi nggak jawab. Dia menghela napas pendek, lalu menyelipkan tangannya ke saku celana hitamnya. Dari sana, ia menarik keluar sebuah kotak beludru hitam kecil. Dengan kasar, Levi meraih pergelangan tangan Aurielle, menariknya ke arahnya. Aurielle kaget, matanya membesar. Kotak itu dibuka dengan satu tangan, memperlihatkan sebuah gelang emas putih tipis berhiaskan charm kecil berbentuk matahari. Cahaya matahari memantul di permukaan emasnya, membuatnya berkilau. Tanpa babibu, Levi langsung menyematkan gelang itu ke pergelangan tangan Aurielle. Aurielle tercekat, wajahnya langsung tersipu. “Eh? Ini …?” suaranya nyaris pelan. Levi menatap gelang itu sebentar, lalu tatapannya naik ke wajah Aurielle. Dingin, tajam, tapi ada sesuatu yang bergetar di baliknya. Ia mengangkat dagu Aurielle dengan jarinya, memaksa gadis itu menatap balik. “Sekarang … berhenti manyun.” Aurielle tertegun nggak percaya. Matanya menatap gelang tipis berhiaskan charm matahari kecil di pergelangannya, simbol masa kecil mereka yang dulu selalu jadi panggilan iseng Levi buat dirinya. Kelopak matanya bergetar. Air bening tiba-tiba memenuhi matanya, dan sebelum sempat ia tahan, tetes-tetes itu jatuh, meluncur membasahi pipinya. Levi langsung kaget. Rahangnya tegang, matanya melebar. “Hah? Kok lo jadi nangis?!” Nada suaranya meninggi, panik tapi tetap kasar. “Stop, Auri! Gue nggak suka liat lo nangis!” Aurielle buru-buru mengusap pipinya, tapi justru tangisnya makin pecah. “Hiks … Levi … aku …” Levi makin panik. Tangannya refleks menahan wajah Aurielle dengan kasar tapi gemetar, ibu jarinya berusaha ngusap air mata di pipinya. “Damn it … Auri … jangan nangis, kenapa? Jelek ya? Lo nggak suka gelangnya?!” Aurielle menggeleng, bahunya berguncang kecil. “Nggak …” Levi mendengus keras, matanya bingung antara marah dan takut. “Fine! Kalau lo nggak suka, nanti gue beliin yang model lain! Diamond, sapphire, apa aja yang lo mau—gue kasih! Jadi stop nangis!” Aurielle menggeleng lagi, air matanya makin deras. “Bukan! Levi … aku suka. Aku suka banget …” Levi terdiam. Matanya menatap wajah Aurielle yang sembab tapi cantik dengan air mata yang jatuh beruntun. Jantungnya jadi berdegup kacau, tangan kasarnya masih menahan pipi Aurielle. “…terus kenapa lo nangis?” suara Levi turun, serak, penuh ketegangan yang nggak biasa. Aurielle mengusap matanya dengan punggung tangan. Senyumnya muncul samar di balik tangis. “Soalnya … kamu masih inget. Kamu masih inget kalau aku matahari kecilmu …” Deg. Levi membeku. Semua kalimat sinis yang biasanya gampang keluar, lenyap seketika. Dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang baru saja menghantam keras di dalam. Levi menatap wajah Aurielle yang masih basah air mata. Pipinya sembab, tapi senyum kecil itu, senyum polos dan murni di balik tangis, yang berbeda dengan dunia gelapnya, bikin d**a Levi makin berantakan. Jantungnya berdetak liar tak terkendali, serasa lebih keras dari raungan mesin mobil. Deg Deg Deg Gadis ini … Selalu berhasil bikin dunianya chaos. Dan lalu— Cuppp Aurielle tiba-tiba condong ke depan, mengecup bibir Levi sekejap. Kayak kilat yang nyambar sebelum sempat disadari. Levi membeku di tempat. Mata hitamnya melebar, otaknya kosong. Dia bahkan lupa napas, nggak sempat refleks. Ciuman … pertamanya. Dirampas. Oleh gadis ini. Aurielle buru-buru mundur, wajahnya memanas. Tapi anehnya, senyum kecil tetap menggantung di bibir mungilnya, senyum polos yang justru makin bikin Levi kehilangan kendali. Levi menelan ludah keras, jemarinya mengepal di paha. Tatapannya menusuk, nadanya serak, patah-patah antara syok dan marah. “Do you … f*ck1ng know … that was my first kiss?” Aurielle terdiam, matanya membesar. Senyumnya mendadak kaku. “Eh—h-hah …?” Levi mendengus kasar, meraih dagunya dengan tangan dingin, memaksa Aurielle menatap matanya. “Lo sadar nggak? Lo—” napasnya berat, suara baritonnya turun makin rendah, “…lo seenaknya ngerampas first kiss gue kayak itu hal kecil.” Aurielle tercekat. Senyum kecilnya hilang, berganti gugup, pipinya makin merah. “Aku … aku—” Tapi belum sempat kalimat itu selesai, Levi sudah menunduk cepat. Cuppppp Bibirnya melumat bibir Aurielle habis-habisan. Menghisap bibir bawah gadis itu tanpa ampun, seolah ingin menandai bahwa momen ini bukan sekadar iseng atau kecelakaan. “Hnng—!” suara kecil lolos dari tenggorokannya. Kedua tangannya refleks mendorong d**a Levi, tapi kekuatan pria itu jauh lebih kuat. Levi makin menekan, lidahnya menerobos masuk, m3nd0m1n4si setiap sudut mulut Aurielle. Aurielle kehabisan napas, tubuhnya bergetar di kursi penumpang. Matanya terpejam rapat, otaknya kosong dihantam derasnya hasrat Levi. Suara napas mereka bercampur, panas, liar. Bibir Aurielle merah bengkak karena baru dilumat habis-habisan. Levi masih menahan dagunya, keningnya menempel ke kening Aurielle. Napasnya yang panas menghantam wajah gadis itu. Tanpa aba-aba, Levi menunduk lagi. Bibirnya turun, kali ini nggak ke bibir. Cupp Levi mencium sisi leher Aurielle, lalu menggigit pelan, menyedot kuat sampai jejak merah mulai terbentuk. Aurielle terpekik kecil, tubuhnya menegang. “Lev—Levi!” Tapi Levi nggak berhenti. Lidahnya menjilat bekas gigitan, suaranya berat penuh obsesi saat berbisik di telinga Aurielle. “Seminggu yang lalu …” bibirnya bergeser ke bawah telinga, menghisap lagi titik sensitif yang bikin Aurielle menggeliat. “…lo sengaja kan, di video call itu?” Aurielle gemetar, tangannya otomatis mencengkeram lengan Levi. Pipinya panas, tubuhnya nyaris meleleh. “Ahhh … nggak … aku—” suaranya pecah, tapi malah keluar seperti desahan. Levi meremes paha Aurielle lebih keras, menarik tubuhnya mendekat, lalu menurunkan ciumannya lebih dalam ke lekuk lehernya. “Don’t lie to me.” Aurielle menggeliat, kepalanya terdorong ke sandaran kursi. “Hhh—Levi! Ahh … jangan gigit di situ …” Levi nggak peduli, giginya kembali menggigit pelan tepat di bawah tulang selangka Aurielle, menyedot kuat sampai suara hisapan terdengar jelas. Bibirnya terangkat tipis. “Too late. Gue tandain lo di mana pun gue mau.” Aurielle menggigit bibirnya sendiri, matanya basah, suara kecil lolos di sela desahannya. “Levi … please …” Jemarinya menyapu bibir Aurielle yang bergetar, suaranya turun jadi bisikan kasar. “Lo pikir gue bakal diem aja setelah lo rampas first kiss gue? Nggak, Auri. Sekarang gue balikin semua. You started it.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN