Bab 7

1299 Kata
Mata Jenna mengawasi pria itu. Getaran halus menjalar dari kaki sampai ke puncak kepalanya. Darahnya menghangat dan berdenyut cepat. Melihat Dalton berdiri di sana. Membawa kebencian dan rasa aneh yang seharusnya tidak ada menjalari tubuhnya. Jenna tidak tahu. Ia mati rasa. Ia nyaris tidak bisa membedakan apa pun yang saat ini ia rasakan. Benci, marah, jijik, takut, putus asa. Ia benar-benar tidak bisa membedakan itu semua saat melihat Dalton berdiri dengan tuxedo hitam yang telah dilepas, digantikan oleh kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang padat dan urat-urat yang menonjol. Apakah sebaiknya ia melawan pria itu? Tidak, tidak. Dari tinggi dan bobotnya saja, ia bisa mengatakan jika Dalton sepuluh kali lebih kuat secara fisik darinya. Dari data yang ia baca. Dalton memiliki tinggi 201cm dengan bobot 95 kilo. Dia pria besar yang gesit dan kuat. Sebagian besar tubuhnya berisi oleh otot, dan pria itu tidak ragu membunuh jika dia merasa perlu melakukannya. Jadi, bagaimana caranya ia bisa menghindari ini? Tidak ada, tidak ada jalan keluar. Jenna harus menghadapi ini. Ia harus melakukannya, mau tidak mau. Suara air di kamar mandi yang akhirnya tidak terdengar lagi membuat ujung-ujung jari Jenna dingin. Suara air yang hilang menandakan bahwa Dalton sudah selesai mandi. Jenna bisa membayangkan pria itu meraih handuk dan sekarang ia berjalan ke pintu. Jenna mengepalkan tangan saat mendengar suara pintu toilet dibuka. Ia tetap berdiri di sana, meremas gelas winenya. Menggigit bibir kuat-kuat saat merasakan tatapan pria itu menusuk punggungnya. Dalton di sana, di belakangnya. Tidak memakai apa pun, hanya handuk, atau sama sekali tidak memakai apa pun? Siapa yang tahu? Tubuh Jenna gemetar halus, ia merasakan kehadiran sosok besar itu tepat di belakang punggungnya. Ia menggigil saat kedua tangan pria itu menangkup pinggulnya. "Apakah pinggul sekecil ini bisa digunakan untuk melahirkan anakku nanti?" Sialan! Apakah pria itu sedang merayunya? Oh, ayolah! Tentu saja. Jenna menggigit bibirnya lagi, mengepalkan tangannya kuat-kuat saat tangan Dalton mengusap bokongnya, mencoba menelusuri setiap lekukan. Tangan besar itu bergerak ke depan, mengusap perutnya yang rata, naik ke rusuk dan berakhir di dadanya. Dalton menggeram di telinganya. "Payudaramu memenuhi tanganku. Apa ini asli? Jenna akan menirukan suara Julie meskipun ia tahu Julie melarangnya bicara, tapi bukankah itu aneh jika ia tidak mengatakan apa pun? "Ya." Pria itu menggeram lagi. Bibirnya mendarat di bahu, lalu mendesak ke leher. Sentuhan bibir itu tidak langsung menyentuh kulit leher Jenna, tetapi Dalton sepertinya tidak memikirkan soal halangan itu. Dengan cepat, pria itu menyibak sedikit veil yang menghalangi, lalu bibirnya menekan lagi di leher, di kulit yang telanjang. Bibirnya dengan segera menemukan denyut nadinya yang cepat di sana. Dalton menjilat, mencicipi seperti harimau menjilat mangsanya sebelum melahap bulat-bulat. Jenna hanya bisa pasrah, ia menelengkan kepala, membiarkan leher jenjangnya dijelajahi ciuman-ciuman. "Kau harum." Pria itu lalu menyentak tubuhnya lebih dekat, tangan kekar itu memeluk sangat erat, Jenna menggertakkan gigi saat merasakan tekanan amat kuat tepat di bokongnya. Pria keji itu benar-benar sangat b.e.r.g.a.i.r.ah. Tangan Dalton meremas pinggul, mengusap perut, lalu turun ke lembah yang terapit paha. Pria itu menggeram menemukan kehangatan lembut di sana. "Tunjukkan padaku," bisiknya dengan suara bariton. Jenna memejamkan mata saat jari-jari pria itu mulai bergerak menurunkan resleting di bagian belakang gaunnya. Begitu punggung Jenna terlihat, pria itu langsung menjatuhi ciuman dan hisapan. Dia menggumamkan kata-kata dengan bahasa asing yang tidak Jenna mengerti artinya. Tangannya menjelajah ke sana kemari. Pria itu lalu membalik tubuh Jenna, dari balik veil itu. Jenna bertatapan dengan Dalton, tapi sepertinya Dalton terlalu dipenuhi hasrat binatang untuk dapat menyadari siapa sebenarnya orang di balik veil itu. Dengan kuat, Dalton mencengkeram dagunya. Pria itu lalu menunduk dan mencium bibirnya. Ciumannya terhalang sehelai kain, tetapi tidak mengurangi kenikmatan yang ada. Dalton menghela napas gemetar, menuntun tangan Jenna ke bawah. Ke tempatnya begitu keras dan siap. Jenna mau tidak mau harus menuruti itu. Jari-jarinya yang dingin menemukan pria itu dari balik handuk. Dalton menggeram, tubuh besarnya membungkuk rendah ke arah Jenna yang hanya setinggi 165cm. Cup! Cup! "Sialan! Veil ini semakin membuatku bergairah." Jenna terengah, Dalton menyibak sedikit bagian bawah veil itu hingga sebatas mulut Jenna. Mata merahnya menemukan bibir mungil yang cantik itu. Tanpa menundanya, Dalton menyambar bibir itu. Melumatnya dengan geraman rendah. Jenna terkesiap. Bibirnya dikuasai dari sudut ke sudut, ia dihisap kuat, dilumat, dicicipi. Dalton mencengkeram lehernya, tidak mencekik, hanya memegangnya cukup kuat agar ia tidak melarikan diri. "Mmnhhh...." "Errrrhhhh ... di mana semua yang kau janjikan itu? Hanya ini yang bisa kau lakukan?" Jenna berkilat-kilat. Apakah pria itu sedang meremehkannya? Sialan! Jadi di sinilah ia sekarang? Akan memberikan apa yang diinginkan pria itu? Baiklah, ia sudah tamat sekarang. Ia tidak memiliki alasan untuk menahan diri. Sekaligus saja ia basahi tubuhnya ini. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Ia lantas membuka mulut dan menggigit bibir bawah Dalton. Disambut dengan tawa rendah pria itu. "Aku suka kau melakukan itu. Lakukan lagi." Jenna menggigit bibir pria itu lagi. Ciumannya berpindah ke rahang Dalton. Ia merangkul leher pria itu erat-erat, tangan Dalton berpindah memeluk pinggangnya, turun untuk meremas dua bongkahan sintal di bawah sana. Ia menggeram, menghisap leher Dalton kuat-kuat seperti vampir yang kelaparan. Bukan hanya menghisap, ia juga menggigit bahunya yang kekar. Dalton keliatan sangat senang. Apalagi saat ia mencakar punggungnya yang lebar itu. "S.hit! Aku tahu kau bisa lebih buas dari ini, kucing hutan." Pria itu mendesak, lidahnya menyelinap masuk, mengabsen gigi Jenna satu per satu. Saat lidahnya menemukan lidah gadis itu, Dalton semakin menggila. "Kau milikku malam ini. Tidak akan ada yang bisa menghentikanku." Ia langsung mengangkat Jenna ke dalam gendongannya, menjatuhkan gadis itu ke ranjang, menindih dan mendesaknya dalam ciuman kasar yang memabukkan. Jenna terkesiap, ia membalas semua ciuman Dalton. Kedua tangannya di tahan di atas kepala. Dalton menempatkan pinggul di antara pahanya. Membuat gerakan mendesak yang menuntut. "Aku sudah menunggu lama. Jangan mengecewakanku, Julie." Kekuatan Dalton luar biasa. Jenna, dengan pelatihan fisiknya selama ini terasa bukan apa-apa bagi Dalton. Pria itu sangat besar, sangat menakutkan dan sangat lapar. Jenna terpaku ketika Dalton menarik turun gaunnya ke pinggang. Bagian atas tubuhnya terlihat. Tanpa menunggu lama, Dalton menarik turun mangkuk branya ke bawah hingga puncak dadanya mencuat. Pria itu mendesis, lalu kepalanya menunduk. Mulutnya yang lapar menutupi d**a Jenna, mendarat di sana dan memberikan hisapan dan jilatan yang membuat tubuh Jenna seperti di sengat listrik. Rasa panas di tempat Dalton menyentuhnya menyebar ke seluruh tubuh, menusuk dan membakarnya dengan tajam. Jenna tercekik, ia terengah-engah cepat saat Dalton mencumbuinya bergantian. Kanan dan kiri, menggigit, menghisap, menjilat. "Mmnhhh...." Suara Jenna keluar tanpa bisa ditahan, Dalton mengusap pahanya, telapak tangan pria itu menangkup Jenna di bawah sana. Di luar panty renda yang sangat tipis. Karena tidak tahan disentuh seperti itu, Jenna menyentak tangan Dalton. Ia melingkarkan tangan ke leher pria itu, lalu dengan gerakan ilmu beladirinya. Ia menggulingkan Dalton sampai pria itu yang berbaring di bawahnya. Ia menempatkan tangannya di leher Dalton, mencengkeram leher itu dan menunduk untuk mencium bibirnya. Dalton menggeram, mendesah senang saat Jena duduk di pangkuannya. Mereka saling memangut, Jenna mengulurkan tangan ke bawah. Meremas miliknya yang tegang. Dalton menggeram, menjatuhkan kepalanya ke bantal. "Sialan!" Jenna menyeringai, dari balik veilnya ia berbisik, "Aku akan menghancurkanmu, Dalton. Lihat saja." Dalton tertawa. "Aku akan senang jika kau melakukannya." Pria itu lalu mengangkat tubuhnya hingga ia duduk bersandar di kepala ranjang. Jenna menggerakkan pinggul, sengaja menekan milik pria itu yang semakin membengkak dengan bokongnya. Nyaris seperti menggilas. Dalton menggeram, dan Jenna memanfaatkan kesempatan itu untuk menyambar segelas air yang diletakkan di meja nakas. Ia menghirup air itu, lalu menunduk ke arah Dalton. Ia mentransfer air itu dan diteguk tanpa curiga. Setelah cukup, Jenna menyiramkan air itu ke wajah Dalton. "Kau harus tahu, dengan siapa kau berhadapan, Dalton." Dalton merasa seperti diterjang badai, ia memejamkan mata saat mulut Jenna mendarat di dadanya, menjelajahi perutnya, terus sampai mulut itu bergerak turun ke bawah. "S.hit!" "Kau akan hancur di tanganku, Dalton Rutherford. Aku berjanji kau akan bertekuk lutut padaku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN