Seperti biasa.
Acara makan malam keluarga Rutherford selalu terasa kaku dan dingin.
Percakapan yang mengalir di meja makan mewah itu tidak pernah jauh dari pembahasan soal bisnis keluarga dan rencana perjodohan berikutnya.
Biasanya, selepas menikah. Dalton akan langsung pulang ke mansionnya dan tidak akan menunda untuk menyantap santapan utamanya, gadis yang baru ia nikahi.
Padahal Dalton dan Julie diundang ke acara makan malam itu bersama, tetapi karena Dalton belum memastikan apakah Julie pantas untuk duduk bersama keluarganya. Ia lantas mengirim gadis itu ke mansion lebih dulu.
Ia tidak akan membiarkan orang asing masuk ke dalam keluarganya sebelum gadis itu melewatkan malam pertama.
Sebelum gadis itu berhasil melewati malam-malam panjang bersamanya.
Yeah, malam pertama.
"Makanlah lebih banyak, kau harus menghabiskan semua dagingnya."
Dalton memasukkan sepotong steak yang dimasak setengah matang itu ke dalam mulutnya, membiarkan si daging berempah meleleh di lidah beberapa detik sebelum ia mengunyah dan menelan.
"Aku sedang mengurangi porsi makanku."
"Kenapa?" Ellena bertanya, semua hal tentang Dalton harus selalu jadi perhatiannya. Ia mencintai putra sulungnya itu melebihi apa pun.
"Karena aku harus tetap bugar."
Dalton melirik malas ke arah kakeknya.
"Terlebih, kakek tua itu memaksaku untuk lebih menjaga pola makan."
"Mungkin selama ini Dalton tidak kunjung membuat istrinya hamil karena kualitas spermanya tidak sebagus dulu."
"Aku tidak mandul. Aku hanya menahan diri untuk tidak menghamili gadis yang tidak pantas menerimanya," kata Dalton tanpa menutupi isi kepalanya.
Semua orang mendengarkan, tetapi mereka sendiri sibuk menyantap makanan.
Ketegangan, sikap sinis dan dominan Dalton bukan sesuatu yang baru di antara mereka.
Baik Walter dan Rose, sebagai kakek dan nenek. Ellena, sang ibu.
Juga Kyle sang paman.
Menaruh rasa segan pada Dalton.
Di usia yang sangat muda, Dalton mengambil alih tugas-tugas ayahnya, membawa nama keluarga mereka yang hampir hancur menuju puncak tertinggi. Menuju tempat yang bahkan tidak akan pernah bisa diinjak-injak siapa pun.
Hasil dan kerja kerasnya sama sekali tidak dapat ditandingi siapa pun. Jadi perangai dan tabiat Dalton yang tidak biasa itu, secara garis besar tidak menjadi masalah di keluarganya.
Mereka semua tahu, Dalton memegang kendali. Semua orang takut dan menghormati Dalton.
Tidak peduli seburuk apa pria itu.
Dalton adalah pemimpin mereka, meskipun kekuasaan masih belum sepenuhnya diberikan karena Dalton tidak kunjung membuat istrinya hamil.
"Aku tahu kau tidak mandul, kau masih muda dan sangat sehat, tapi kau terlalu senang bermain-main. Jadi di sinilah kita, bermain kata dan mulai merencanakan perjodohan berikutnya."
Dalton tidak berkedip.
Matanya terasa perih, dan ia gatal ingin segera pergi dari sana.
"Kau hanya perlu duduk diam dan membiarkanku melakukan semuanya."
"Yeah, kuharap ini yang terakhir," kata sang kakek.
Dalton mengerutkan kening.
"Kalau kau ingin semua ini berakhir, carikan aku gadis yang pantas."
"Kau akan mendapatkannya, Dalton. Wanita yang kau inginkan itu pasti akan jadi milikmu."
Suasana di ruangan itu jauh dari kata hangat. Oh, ya. Itu bahkan jauh lebih baik. Karena Dalton dan pamannya bahkan pernah hampir saling tembak di sana.
"Malam ini, sepertinya nenekmu tidak bisa pergi ke kediaman dan mengawasimu. Aku ingin membawanya pergi menemui Jesicca."
Jessica adalah sepupu Dalton, gadis seusia Dillon Rutherford, adik satu-satunya yang Dalton miliki.
Saat ini Dillon ada di Yunani. Sibuk dengan urusannya sendiri.
Dalton melirik neneknya. Wanita itu duduk anggun di sebelah sang suami, memakai perhiasan sederhana dan memegang cangkir teh porselen dengan ekspresi puas yang membuat Dalton sebal.
Apa pun yang terjadi, neneknya selalu memastikan semuanya teratasi. Malam ini ia akan menggila bersama Julie, dan neneknya tidak akan ada untuk datang menghentikannya.
"Aku tidak pernah meminta nenek mengawasiku," jawab Dalton datar.
Ada sedikit rasa muak dalam suaranya. Ia benci diawasi dalam hal sekecil apa pun, apalagi pada hal yang bersifat pribadi. Ia tidak mencoba menutup-nutupi rasa tidak sukanya itu, tetapi neneknya wanita yang lebih keras dari batu.
Jadi meskipun Dalton keras, Rose jelas lebih keras lagi.
Sekarang wanita itu mendengus, mencoba menanggapi Dalton dengan sinis.
"Aku hanya ingin memastikan kau tidak membunuh istrimu sebelum kau mendapatkan apa yang kita inginkan."
Walter melirik istrinya.
"Sepertinya kali ini gadis itu akan berhasil."
"Kau begitu yakin?" tanya Rose.
Walter mengangguk.
"Gadis ini bukan berasal dari keluarga biasa, dia juga terlihat sangat terlatih. Kau tahu? Hal yang disebut kegigihan. Ya, ada kegigihan yang mengerikan di matanya. Dia tidak akan menyerah hanya karena sedikit desakan."
Dalton merasakan denyutan tajam di bawah perutnya.
Kejantanannya langsung mengeras hanya membayangkan Julie sebagai gadis terlatih yang mampu menaklukkan gairahnya.
Sudah lama sekali, ia nyaris bisa disebut tersiksa dengan desakan libidonya yang tinggi itu. Bertahun-tahun lamanya, ia tidak pernah mampu mendapatkan kepuasan yang benar-benar membuatnya cukup.
Ia selalu menginginkan dan menginginkan, tidak seorang pun gadis mampu menaklukkannya.
Sejujurnya, ia sangat ingin ditantang, ditaklukkan dan dikuasai, tetapi tak ada seorang gadis pantas melakukan itu.
"F.u.c.k," umpat Dalton di dalam hatinya.
Kata-kata kakeknya barusan, alih-alih meredakan gairah yang selama ini berusaha ia tahan, justru memicu rasa lapar dan haus yang lebih besar.
Terlatih.
Tidak akan menyerah.
Gadis yang bisa menggigit balik.
Bayangan itu membuat darah Dalton berdenyut lebih cepat.
Istri-istri yang dimilikinya sebelum ini hanya bertahan dengan pasrah.
Eleanor Withmore, istri keempatnya—mampu bertahan melewati malam pertama mereka dengan mulus, tetapi gadis itu babak belur. Ia harus dirawat berhari-hari dan hanya mampu bertahan beberapa minggu tanpa menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
Gadis itu menyerah karena tidak tahan dengan Dalton yang selalu meminta lagi dan lagi.
Dalton mengakui ia memang pria yang sangat aktif. Lebih tepatnya, ia pria yang lebih b.e.r.g.a.i.r.a.h daripada pria normal kebanyakan.
Seperti apa mereka menyebutnya?
Hiperseks.
Ya, seperti itulah.
Ia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan seorang gadis. Sementara itu, tuntutan kakeknya adalah, ia tidak boleh menjalin atau bahkan mencicipi wanita mana pun selain gadis yang akan dinikahinya itu.
Jadi, ketika ia akhirnya menikah.
Seluruh puncak libido itu meledak di kepalanya, membuatnya tidak lagi bisa mengontrol diri. Ia lepas kendali. Ia menggila.
Ia tidak berniat menuntut apa pun, tetapi ia sangat ingin penantiannya setimpal dengan gadis yang selama ini ia tunggu.
Jadi, ketika gadis-gadis itu menyerah sebelum malam pertamanya usai. Jelas ia sangat marah dan kesal.
Sementara itu, istri barunya. Julie Gladwine menjanjikan perlawanan.
"Jika dia terlatih, maka aku akan memberinya ujian yang pantas."
Pikirannya melayang pada kamar pengantin, kaki jenjang Julie dan senyum sinis di bibir seksi itu.
Ia membayangkan mata dingin gadis itu menatapnya, tantangan yang diucapkan dengan lantang untuk memanggil predator di dalam dirinya.
Makan malam itu berlangsung selama dua puluh menit.
Setelah percakapannya dengan sang nenek dan ibunya usai. Kini Dalton mulai berbicara banyak dengan pamannya, Kyle. Mereka berbicara soal bisnis, tetapi tidak banyak karena sifatnya rahasia.
Pada akhirnya acara makan malam itu selesai.
Tanpa mengucapkan selamat tinggal secara formal, Dalton bergegas meninggalkan ruang makan.
Ia berjalan cepat menyusuri koridor-koridor mewah, melepas sisa-sisa formalitas dari tubuhnya.
Julie Gladwine.
Nama itu terasa seperti racun manis di lidahnya. Gadis yang berani menatapnya dengan setengah wajah cacat, gadis yang berani mengajukan lamaran yang menantang, gadis yang berani berjanji bahwa dia akan membunuh, bukan hanya menggigit.
"Aku ingin peliharaan yang bisa menggigit balik."
Ah, ia sungguh-sungguh tidak sabar ingin melihat aksi dari peliharaan barunya itu.
Hanya dalam sekejap, perjalanan dari kediaman itu ditempuh. Mobil membelah jalan dalam kecepatan stabil. Mereka sampai. Disambut dengan laporan jika istrinya sudah siap di kamar pengantin mereka.
Tahu-tahu saja ia sudah sampai di sana. Tangannya mendorong pintu, dan tubuh besarnya menyelinap masuk.
Hal pertama yang ia lihat adalah punggung kecil gadis itu. Berdiri dengan gaun hitam dan veil hitam yang masih menutupi kepalanya.
Yeah, sepertinya itu akan jadi ciri khas Julie. Itu akan jadi sesuatu yang menggairahkan di antara mereka.
Sejujurnya ia bahkan tidak peduli gadis itu cantik atau buruk rupa. Ia hanya menginginkan tubuhnya.
Gadis itu terlihat sangat lezat sekarang. Seperti sajian utama di menu makan malamnya.
Sialan!
Bagaimana bisa lekuk tubuh indah itu disia-siakan?
Dalton merasakan tubuhnya begitu bengkak dan panas di bawah sana.
Gadis itu. Ia butuh gadis itu untuk menuntaskan masalahnya sekarang juga. Untuk membebaskannya dari cekikan gairah membara di bagian bawah perutnya itu.
Jadi, ditatapnya gadis itu.
Ditariknya sudut bibirnya.
"Bersiaplah, Sayang. Karena malam ini akan sangat panjang bagi kita berdua."