"Lakukan tugasmu, Jenna. Kau akan pergi ke kamar pengantin itu dan menggantikanku. Kau mengerti?"
Kata-kata itu terasa seperti cambuk bagi Jenna, yang merasa terjebak. Itu tidak sesuai dengan rencana yang ada. Itu tidak seperti yang sudah mereka sepakati. Bahwa kehadirannya di sana seharusnya hanya cukup untuk memata-matai Dalton Rutherford, tetapi kenapa?
Kenapa Julie ingin menumbalkannya juga?
Perubahan rencana ini jelas tidak dapat ia setujui. Tidur dengan Dalton? Tidak, tidak mungkin.
Ia bahkan jijik pada pria itu.
Bagaimana mungkin Julie melakukan ini padanya?
Demi Tuhan!
Ini benar-benar gila.
Jenna menatap dirinya di cermin.
"Kau tahu, ini tidak masuk ke dalam kesepakatan kita, Julie," katanya setengah berbisik.
Saat itu Julie menatapnya dengan dingin. Memandangi bagaimana Jenna memakai gaun yang memang sejak awal dirancang untuk ukurannya.
"Ini perintah, Jenna. Perintah."
Julie menekan setiap kata dengan sengaja. Memanfaatkan Jenna demi kepentingannya sendiri bukan sesuatu yang baru di antara mereka.
Jenna membunuh, Jenna rela mengorbankan nyawa untuk Julie.
Selalu, setiap saat Julie menginginkannya.
Sekarang Julie juga akan melakukan itu lagi.
Mengorbankannya demi keserakahan.
"Kau harus bertahan, aku tahu kau bisa."
"Aku tidak bisa," kata Jenna gemetar.
Meskipun begitu, Julie sama sekali tidak terdengar peduli.
"Kau bisa, kau bukan gadis sembarangan, Jenna. Kau mesin pembunuh, senjata rahasia. Ingatlah kau bisa hidup berminggu-minggu di hutan yang penuh bahaya sendirian. Kau hanya perlu berbaring di ranjang dan membiarkan pria itu menyentuhmu."
"Mudah sekali kau mengatakan itu."
"Lakukan, kau tidak punya pilihan."
Hanya dalam beberapa menit, Jenna telah mengganti pakaian maidnya dan menjelma sebagai Julie palsu. Ia berdiri di cermin, menatap dirinya dari balik tudung renda itu.
Sial!
Sial!
Sial!
"Dengar, aku akan membuat alasan jika seseorang mencarimu. Kau tidak perlu memikirkan soal itu."
Pelayan pribadi Julie yang bernama Mayden, bergerak membuka pintu.
"Nyonya, kita pergi sekarang? Semuanya sudah siap."
Jenna berbalik, dan menggunakan kemampuannya dalam meniru seseorang. Jenna mengambil langkah pertama yang sama persis dengan gestur Julie saat berjalan.
Ia keluar, dengan diiringi Mayden dan dua pelayan lain yang mengikuti dari belakang.
"Di mana Tuan Rutherford sekarang?" tanya Mayden, menanyakannya karena tahu Jenna tidak bisa bertanya. Meskipun gadis itu jelas bisa meniru suara Julie dengan sangat baik.
"Tuan Dalton akan segera tiba dalam setengah jam."
"Apakah Tuan membutuhkan sesuatu sebagai sajian? Maksudku, apakah beliau memiliki ritual khusus?"
Para pelayan itu berkata dengan suara datar dan profesional, "Tuan Dalton biasanya akan memberikan waktu ... untuk mandi sebelum memulai. Tidak ada sajian khusus, Tuan biasanya lebih suka langsung ke inti."
Aku tidak punya banyak waktu, pikir Jenna.
Sialan! Ia terjebak.
Ia harus melakukan ini.
Ya Tuhan!
Haruskah ia membiarkan b.a.j.i.n.g.a.n itu menyentuhnya?
"Kita sudah sampai."
Di sanalah mereka akhirnya tiba. Di lantai atas, di depan sebuah kamar berdaun pintu cokelat, berada di bagian kediaman paling tertutup dan khusus. Tempat yang steril dan tidak tersentuh oleh sembarang orang.
Tempat di mana Dalton Rutherford melakukan ritual keji bersama istri-istri barunya.
Malam ini, Jenna juga akan disembelih. Malam ini ia akan ditumbalkan pada sang iblis.
Ya Tuhan!
Selamatkan dirinya.
"Masuklah, Nyonya. Jika kau membutuhkan sesuatu, kau bisa memanggil pelayan."
Jenna tidak mengatakan apa pun. Ia masuk, beberapa detik kemudian ia mendengar pintu ditutup di belakang punggungnya.
Jadi inilah penjara itu, tempat jagal, tempat Dalton akan melakukan eksekusi pada setiap istrinya, tapi Jenna bukan istri pria itu. Ia bukan istri Dalton, ia hanya ... gadis yang kehilangan arah dan mencoba bertahan hidup.
"Aku tidak percaya aku ada di sini sekarang."
Jenna Ravenel berdiri di tengah ruangan, dikepung oleh kemewahan yang mengancam.
Gaun hitam milik Julie terasa asing di kulitnya. Gaun itu terasa berat, elegan dan dingin.
Namun, yang paling mencekik adalah veil hitam yang menyembunyikan identitasnya, yang mengubahnya menjadi Julie Gladwine palsu untuk malam ini.
Kamar pengantin itu sendiri adalah sebuah kontradiksi yang menakutkan.
Aroma lilin vanila dan mawar merah yang menghiasi sudut-sudutnya, sama sekali tidak memberi kesan romantis.
Di tengah ruangan, tempat tidur berkanopi besar terbentang, ditutupi seprai sutra hitam pekat.
Hal yang membuat Jenna menahan napas adalah ia menangkap beberapa perlengkapan lain di sana.
Jenna menemukan sepasang borgol perak yang disimpan di dalam kotak khusus, dan yang lebih mengerikan lagi ada rantai baja yang terikat pada kedua tiang kanopi, menunggu untuk digunakan.
Sambil menggigil.
Jenna melangkah mendekati jendela yang menyuguhkan pemandangan dari taman Rutherford yang luas, tempat di mana cahaya bulan bersinar lembut.
Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang bertalu-talu cepat.
"Jangan katakan sepatah kata pun. Pria itu tidak boleh tahu itu kau, bukan aku. Kau mengerti?"
Jenna mengingat tatapan dingin Julie di kamarnya tadi. Sikap yang sering diambilnya untuk memastikan Jenna tidak memiliki jalan keluar.
"Sudah sepatutnya kau mengerti, Jenna. Karena kau berhutang budi pada keluargaku, tanpa bantuan kakak dan ayahku. Kau dan adikmu sudah lama mati."
Kalimat itu mengikatnya dengan sangat erat.
Hutang budi, sampai kapan ia akan terus berhutang budi?
Jenna memang berhutang nyawa pada keluarga Gladwine, hutang yang kini harus dibayar dengan kehormatan dan tubuhnya, dengan menjadi umpan bagi predator bergelar Jenderal mafia.
Kini, Jenna di sana.
Berdiri tanpa ekspresi, memegang gelas wine berkaki panjang, sesekali menyesap cairan kental itu dari balik veil hitamnya.
Mabuk.
Ia butuh mabuk.
Namun Jenna tahu. Percuma saja ia mabuk. Ia tidak akan bisa lari dari kenyataan.
Tidak seorang pun akan menolongnya. Kecuali dirinya sendiri.
Ia harus melakukan ini.
Ia harus melakukannya.
Jenna duduk di sofa. Sementara itu, pikirannya berkelana. Setiap ia mendengar suara dari luar, ia langsung waspada.
Tidak peduli seberapa banyak nyawa, seberapa banyak hal berbahaya yang ia lewati selama ini.
Ia tetaplah gadis perawan yang tidak memiliki sedikit pun pengalaman dengan pria. Ia nyaris tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuhnya, dan malam ini. Ia akan membiarkan pria paling b******n dan tidak berperasaan menyentuh, mengklaim tubuhnya yang suci ini.
"Ini tidak adil. Sangat tidak adil."
Lama Jenna di sana. Ia menunggu dan terus menunggu, sampai akhirnya pintu kamar terbuka dan Jenna merasakan seluruh tubuhnya meremang.
Ia melihat Dalton Rutherford berdiri di ambang pintu, tampak seperti dewa perang yang baru saja melepaskan zirah besinya.
Berdiri di sana, dengan mata merah berkilat-kilat penuh gairah.
"Gunakan sisa waktumu sebaik mungkin, karena aku tidak akan menahan diri untuk langsung melahapmu."
B.a.jingan itu benar-benar sedang berada di puncak libidonya.