bc

GAIRAH LIAR SANG JENDRAL

book_age18+
151
IKUTI
1K
BACA
billionaire
revenge
dark
love-triangle
contract marriage
one-night stand
HE
love after marriage
system
age gap
forced
second chance
friends to lovers
arranged marriage
badboy
kickass heroine
mafia
gangster
heir/heiress
drama
sweet
bxg
lighthearted
serious
mystery
city
childhood crush
superpower
wild
like
intro-logo
Uraian

"Mereka bilang aku b.a.j.ingan yang tidak pernah merasa puas. Kita lihat apakah kali ini kau bisa melakukannya?"

.

"Pelan-pelan, Tuan Rutherford. Aku perawan," kata Jenna Ravenel dengan napas tercekat dan wajah mengerut kesakitan. Sementara Dalton Rutherford menyeringai keji di atasnya.

.

"Aku meragukan kau perawan."

.

"Kau bisa membuktikannya," isak Jenna, lalu menggigit bibir.

.

"Percuma kau bisa membuktikannya kalau kau tidak bisa bertahan sepanjang semalam."

.

Mata gadis itu melebar dan dipenuhi kebencian.

.

"Hancurkan aku! Dan akan kubuktikan aku bisa bertahan dan menaklukkanmu!"

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
"Ah! Tuan, kumohon aku sudah tidak tahan! Kumohon aku sudah tidak sanggup lagi!" "Kau harus menyelesaikan permainan ini sampai aku benar-benar selesai dan puas denganmu!" "Kumohon, aku lelah, aku lelah!" "Dasar lemah! Kita bahkan baru memulainya." Suara derit ranjang, entakan kasar, erangan dan rintihan kesakitan yang keluar dari celah pintu kamar itu menggema. Apa pun yang terjadi di balik pintu itu adalah mimpi buruk bagi gadis yang dijodohkan dan baru diklaim menjadi istri baru sang jendral. Dalton Rutherford jelas akan memastikan malam pertama dengan istrinya selalu dipenuhi rintihan. Menurut beberapa gadis, menikah dengan pewaris keluarga Rutherford adalah mimpi buruk sekaligus kesempatan emas yang mematikan. Mimpi buruk karena pria itu tidak akan berhenti sebelum dia cukup untuk memastikan kau tidak berdaya. Kesempatan emas karena seluruh kebutuhan materi yang kau inginkan aman terpenuhi. Tempat tinggal, pakaian, tas mahal, gaya hidup mewah. Semua akan diberikan, tetapi dengan syarat, kau harus mampu melewati malam pertama dengan mulus. Kau harus bisa memuaskan gair.ah liar pria itu sebanyak yang kau bisa. Sementara, hanya satu dari delapan wanita yang dinikahi Dalton yang bisa bertahan dari semua badai mengerikan itu selama beberapa minggu. "Kau tidak boleh pingsan sebelum aku selesai, dasar ja.lang lemah!" "Tidak! Tidak, Tuan! Aku ingin jeda, aku ingin istirahat!" "Satu jam permainan, dan ini masih terlalu awal untuk menyerah. Padahal kau begitu besar kepala menantangku." "Kumohon! Milikku sakit!" rengek wanita itu. Tampak begitu tersiksa. Suaranya tercekik, tangisannya pilu dan putus-putus. "Sakit? Apakah menurutmu aku terlihat peduli akan hal itu?" "Tapi, aku istrimu, Tuan. Kumohon, kasihanilah aku. Kumohon, hentikan, aku tidak sanggup lagi! Aku tidak sanggup lagi, Tuan! Aku ... aarghhhh!" Jeritan menggema, lalu hilang sepenuhnya. "Sh.it!" Jenna Ravenel, menyaksikan bagaimana istri ke delapan majikannya menyerah pada kegelapan. Pingsan di tengah sesi bercin.ta yang kasar dan sangat egois itu merupakan sebuah kekalahan. Sesuai dengan perjanjian yang ditetapkan Dalton Rutherford pada gadis yang dijodohkan dengannya, kekalahan di malam pertama akan berakhir pada perceraian di hari berikutnya. Terpaku di luar kamar sang tuan. Jenna, pelayan baru yang ditugaskan untuk selalu siap kapan pun ia dibutuhkan. Berdiri terpaku di tempat. Telinganya terasa sakit dan panas, jeritan-jeritan yang ia dengar sepanjang satu jam terakhir begitu menyiksanya. Itu bukan pertama kali Jenna dipaksa menyaksikan. Itu jelas bukan sesuatu yang bisa ia lewati dengan mudah tanpa menerobos pintu dan membunuh pria keji tanpa perasaan itu. Dari arah lorong, Jenna mendengar suara ketukan langkah kaki seseorang. Bukan pihak keamanan, itu seorang wanita bergaun dan berambut putih yang sama-sama tinggal di sana, mengawasi berjalannya proses malam pertama cucunya. Rose Rutherford, nenek dari sang pewaris—berjalan melewati Jenna dengan langkah tegas. Kebisingan yang mendadak menjadi senyap jelas membuat wanita tua itu gelisah dan merasa harus pergi untuk memeriksa. Bukan karena ia tidak tahu, melainkan karena ia jelas-jelas sangat tahu apa yang baru saja dilakukan cucunya. Rose hanya tidak ingin cucunya membunuh seorang wanita karena gairahnya yang keji itu. Jelas, ini bukan pertama kalinya Dalton berbuat kasar, hampir segala tentang pria itu selalu berhubungan dengan kekerasan. Sementara itu, usia Dalton dan tuntutan untuk menerima semua warisan yang diberikan sang kakek, harus dengan syarat Dalton memiliki seorang putra. Sementara itu, dari semua mantan istri Dalton. Tidak satu pun berhasil hamil, tidak satu pun berhasil bertahan menampung benih pria itu. "Apa gadis ini menyerah sebelum waktunya?" Rose berjalan mondar-mandir di depan Jenna, wanita bermata cokelat itu meremas-remas tangannya karena gelisah. "Ya, Nyonya. Gadis itu sepertinya ... pingsan." "Dalton pasti tidak akan melanjutkan hubungannya? Anak itu benar-benar ... tidak bisa dinasihati. Bagaimana bisa dia memiliki anak jika dia terus membuat istri-istrinya pingsan dan ketakutan?" Jenna tidak bisa menjawab, mulutnya terkatup rapat. Hanya berdiri sambil memegang jubah tidur di tangannya. Setelah beberapa detik berlalu. Rupanya Rose tidak tahan untuk tidak segera pergi memeriksa kondisi cucu menantunya. Wanita tua itu masuk. Tegang, Jenna berdiri begitu tegak di tempatnya. Tidak lama kemudian Jenna mendengar wanita itu berkata, "Oh, Dalton! Apa mau kembali membuatnya pingsan!?" Jenna mendengar suara menggeram yang tidak berperasaan. "Perempuan itu tidak berguna. Dia tidak akan bisa memberiku anak. Dia terlalu lemah." "Kau yang terlalu kasar, Dalton! Bukan seperti itu caranya memperlakukan wanita!" "Lalu, seperti apa?" Suara dingin yang membekukan itu menyahut sinis. "Nenek sudah mengatakannya padamu." "Aku tidak bisa. Dia akan kuceraikan. Itu pantas untuknya." Beberapa detik kemudian. Pria itu berteriak geram, "Pelayan!" Panggilan kasar itu menandakan bahwa masa-masa penderitaan si nyonya baru sudah berakhir, dan kini Jenna yang akan mengalami mimpi buruknya sendiri. Dengan secepat kilat, ia masuk ke kamar itu. Menemukan tuannya di sana, berdiri menatap dingin ke arah wanita yang terbaring tak bergerak di atas ranjang. Sementara sang nenek terus berbicara padanya, yang Jenna tahu tidak akan didengarkan pria itu. Siapa yang bisa menasihati seorang Dalton Rutherford? Si mafia kelas kakap, keturunan keluarga old money yang keji dan tanpa perasaan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, Nyonya Rose akhirnya selesai berbicara pada Dalton, wanita tua itu lalu keluar. Malang. Wanita itu tidak berdaya, begitu malang tanpa sehelai benang pun menutup tubuhnya. Di sekujur tubuhnya terdapat lebam, bekas gigitan dan bekas cambuk menghiasi kulit yang halus itu. Tanpa memasang ekspresi di wajahnya. Jenna bergerak maju untuk memakaikan jubah ke tubuh sang nyonya muda. Begitu Jenna selesai, ia menemukan pria keji bernama Dalton itu mendengkus, bahkan dia tidak sedikit pun menatap ke arah Jenna. Seolah-olah Jenna seekor serangga yang bahkan tidak dianggap ada. "Pastikan jal.ang lemah itu disingkirkan dari ranjang sebelum aku keluar dari kamar mandi." Dalton terdengar sangat jengkel. Tentu saja, pria yang keji dan tidak pernah merasa cukup ini baru saja gagal mendapatkan gadis yang bisa mengimbangi permainan brutalnya. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Tidak ada. Pria itu hanya seorang psikopat yang menyukai jeritan dan rintihan korbannya. Benar-benar pria keji, sadis dan haus darah. Begitulah semua orang mendefinisikan sosok Dalton Rutherford, sosok gelap dan mematikan yang tidak mengenal ampun. Sambil menggertakkan gigi, Jenna keluar dari kamar hanya untuk memberi isyarat pada dua pelayan pria yang bertugas memindahkan si nyonya ke kamar lain. Jenna mengawasi wanita itu dibawa pergi, lalu setelah itu ia memastikan seprai dan segala hal yang ada di sana diganti dengan yang baru. Dalton jelas tidak suka ada sisa-sisa kehadiran orang lain di ranjangnya. Dengan cekatan, Jenna menyiapkan setelan baru sang tuan. Menyiapkannya di atas ranjang. Ketika suara dingin dan mematikan itu terdengar dari seberang pintu kamar mandi, memanggilnya dalam suara panggilan yang bisa meruntuhkan gunung. Jenna masuk ke kamar mandi dan menemukan tuannya berdiri di bawah pancuran air. "Gosok tubuhku dengan spons dan sabun." Punggung lebar Dalton Rutherford tampak seperti relief pahatan yang keras dan kejam di bawah guyuran air. Setiap ototnya menegang, memantulkan cahaya redup dari kamar mandi marmer itu. Jenna berdiri di belakang sang tuan, memegang spons kasar dan sabun beraroma rempah. Tugasnya adalah membersihkan noda dosa dari tubuh majikannya dan itu jelas bukan sesuatu yang mudah bagi gadis perawan sepertinya, apalagi melakukannya sementara bok.ong kencang pria itu berada di depan mata. Jenna memulai tugasnya dengan gerakan mekanis dan tanpa emosi. Pikirannya kosong, fokus hanya pada gerakan menggosok. Air hangat mendesis saat mengenai kulit Dalton, dan uap tebal memenuhi ruangan, menutupi sebagian besar kekejian yang baru saja terjadi. Tangan kecil Jenna menggosok bahu pria itu, yang begitu lebar dan kokoh, bahu yang menanggung kekuasaan dan tirani. Jenna tahu betul di bawah lapisan otot itu terdapat hati yang sedingin baja. Lantas ia menggosok lebih kuat, berharap bisa menghilangkan aura gelap yang selalu menyelimuti pria itu. Berharap tugasnya selesai secepat gerakan lidah bunglon. "Lebih kuat," perintah Dalton, suaranya begitu otoriter, menyentak Jenna dari lamunannya. Jenna menekan spons lebih dalam ke kulit Dalton, menggosok area punggung bawah yang penuh dengan tato dan bekas luka. Untuk beberapa saat, Jenna bekerja dalam diam, menghindari kontak mata meskipun Dalton tidak menoleh. Bagi Jenna, ia hanyalah pelayan, dan Dalton adalah tembok batu yang harus dihindari. Saat Jenna mencapai pinggang Dalton, pria itu tiba-tiba bergerak. Tanpa peringatan, Dalton memutar tubuhnya dengan cepat, membuat air memercik ke mana-mana. Jenna basah kuyup. Tidak lama kemudian dua tangan besar dan kuat mencengkeram lengan Jenna dengan kecepatan kilat, menariknya ke depan, hingga tubuh Jenna yang mungil nyaris menempel pada tubuh telan.jang dan basah milik Dalton. Mata hijau Dalton yang tajam kini menatap lurus ke mata Jenna. Tatapan itu menelan.jangi Jenna, mengintip ke dalam jiwanya yang telah lama mati rasa. "Kau punya tangan yang gesit, Pelayan," bisik Dalton, suaranya serak dan berbahaya. Saat ini, di mata Dalton Jenna bukan manusia, tetapi hanya seekor kelinci di depan mata serigala yang kelaparan. "Kau tahu cara memijat yang baik. Mungkin ... kita bisa memindahkan sesi pijatanmu ke tempat yang lebih membutuhkan." Jenna merasakan adrenalin mengalir deras di nadinya. Jantungnya berdebar kencang. "Lepaskan aku, Tuan. Aku tidak berniat terlihat hubungan s.e.k.s.u.al denganmu!" Saat Jenna mencoba menepisnya, Dalton mendesak. Tanpa berpikir, tanpa memberi waktu pada Dalton untuk menyelesaikan ancaman atau melancarkan aksinya lebih jauh, Jenna mengangkat tangan kanannya yang bebas. Dengan kekuatan yang tidak terduga dari tubuhnya yang ramping, ia mengepalkan tangan dan meluncurkannya. Bugh! Tinju itu tepat mengenai hidung tinggi Dalton Rutherford. Membuat si empu terdiam beberapa detik untuk mencerna apa yang baru saja dilakukan si pelayan tanpa nama itu. Dengan segera, darah merah pekat mengalir dari hidung Dalton. Tetesan darah itu mewarnai ubin marmer putih menjadi bercak merah mengerikan. Dalton terdiam, sepertinya tinju Jenna jelas tidak membuatnya kesakitan, tetapi tinju itu jelas membuat Jenna mendapatkan perhatian lebih dari tuannya. Jenna berdiri tegak, napasnya tersengal, tetapi matanya tetap dingin dan tidak berkedip. Ia tidak menyesal. Ia tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Refleksnya telah menyelamatkannya, dan kini ia harus menghadapi konsekuensinya. "Kenapa kau memukulku?" Pria itu bertanya seolah-olah dia sama sekali tidak bersalah, seolah-olah pria itu tidak berusaha memangsa Jenna saat ada kesempatan. "Karena Tuan berniat melecehkanku. Senyum tipis dan menyeramkan merekah di bibir yang keras itu. Senyum yang lebih berbahaya daripada kemarahan langsung. "Ini pertama kalinya seorang gadis meninjuku sampai berdarah." Suara Dalton rendah dan serak, tetapi kini mengandung nada geli yang mengerikan. Darah terus menetes ke d.a.da dan perutnya yang berotot. Jenna tidak gentar. Ia berulang kali tidak menunduk dan melihat kemana saja darah itu menodai tubuh tuannya. "Aku punya trauma terhadap sentuhan pria, Tuan," jawab Jenna, suaranya tenang, dingin, dan nyaris tanpa intonasi. Ia menggunakan nada bicara yang biasa ia gunakan saat memberi tahu Dalton bahwa ia telah menyiapkan sarapannya. "Dan itu refleks yang tidak bisa dikendalikan. Sentuhan mendadak akan memicu respons perlindungan diri." Dalton melangkah maju, darah terus menetes ke dagunya, tetapi tatapannya tidak pernah lepas dari Jenna. Pria itu menyeringai. Itu jelas bukan senyum gembira nan ceria, melainkan seringai predator yang menemukan buruan menarik. Tangan Dalton yang besar dan kuat, kini berlumuran darah, bergerak cepat. Kali ini, ia tidak mencengkeram lengan Jenna. Ia mencengkeram rahang Jenna, mengunci kepalanya. Jarak antara wajah mereka kini sangat dekat, Jenna bisa merasakan napas panas Dalton yang berbau mint dan besi memenuhi indra penciumannya. Ia menahan napas. Berharap pria itu tidak mencekiknya sampai mati di sana. "Itu refleks yang bagus," bisik Dalton. Terdengar seperti pujian, meskipun Jenna tahu saat itu ia telah menarik terlalu banyak perhatian tuannya. Ia dalam bahaya. "Aku ingat wajahmu, tapi aku tidak tahu namamu, padahal kau selalu berada di dekatku. Aku tidak peduli dengan kehadiranmu. Kau hanyalah peliharaan." Sambil tersenyum mengejek, Dalton menjilat darah di sudut bibirnya. "Genggam aku." "Aku tidak bersedia, Tuan." "Ya, kau akan bersedia." "Tidak, aku—" Tanpa memberi Jenna kesempatan untuk bisa melarikan diri, Dalton mendesak Jenna sampai punggung gadis itu menempel ke dinding kamar mandi. Jenna tercekat, apalagi saat tangan kuat Dalton meraih tangannya dan mengarahkan tangan itu ke bawah. Jenna gemetar, bibirnya digigit gelisah. Brengsk! Brengsk! Bagaimana bisa ... bagaimana bisa pria itu bisa sekeras ini? Seharusnya rasa sakit, seharusnya tinju Jenna membuat pria itu merasa harga dirinya jatuh. Seharusnya Jenna ditampar, ditendang dan diusir sebagai pelayan pribadi majikannya, tetapi Dalton justru menunduk dan meletakkan kening di bahu kecilnya. Menggeram dan mengarahkan tangannya yang mendadak kebas agar bergerak membelai pria itu. Dalton mengangkat wajah, menempatkan mulutnya tepat di telinga Jenna. "Bagus, Pelayan. Bagus, lakukan terus." Pria itu menggeram. Jenna tidak berekspresi, wajahnya kaku, kebenciannya meluap-luap. Dalton menciumi lehernya, dan semakin cepat tangan Jenna bergerak di bawah sana. Semakin dalam dan serak suara yang keluar dari mulutnya. "Bagus, Jal.ang. Bagus, selesaikan!" Jenna mengerutkan kening saat benda besar dan panjang itu berkedut di tangannya, yang tidak lama kemudian disusul suara erangan serak yang keluar dari dasar tenggorokan tuannya. Pria itu meledak dengan dahsyat di tangan Jenna, tubuh kuatnya bergetar, dan Jenna harus berjuang keras untuk tidak memalingkan wajah atau buru-buru mencuci tangannya. Jijik! Ia sangat jijik! Dalton mengambil jarak, dan tatapannya jatuh ke tangan Jenna yang basah oleh cairannya. "Bersihkan." "Tuan...." Dalton menatapnya dingin, sorot mata hijau itu dipenuhi ejekan. "Bersihkan dengan mulutmu." Jenna kaku, untuk beberapa saat yang lama ia membiarkan waktu berlalu sebelum ia mengalihkan pandangan dan menatap mata tuannya tanpa gentar. "Maaf, tapi aku tidak akan membiarkan lidahku menyentuh cairan menjijikkanmu, Tuan." Dalton tertawa. "Menarik."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
291.7K
bc

Too Late for Regret

read
214.2K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.4M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.1M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
122.2K
bc

The Lost Pack

read
252.2K
bc

Revenge, served in a black dress

read
121.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook