Bab 2

1571 Kata
"Tidak! Aku tidak akan membiarkan Tuan Rutherford menceraikanku! Aku akan meminta kesempatan, Nyonya Rutherford. Aku mohon, biarkan aku menemui Tuan dan meminta belas kasihannya." Tangisan lirih dari kamar di ujung lorong itu terdengar amat pilu. "Dalton tidak ingin menemuimu. Suasana hatinya buruk karena ulahmu sendiri," kata suara yang sinis itu. Suara Ellena Rutherford, ibu kandung Dalton—yang pagi ini muncul, melenggak-lenggok dengan gaun pas badan dan rambut hitam disanggul rapi. Begitu tiba di kediaman, wanita itu langsung menemui Audrey Winston, istri kedelapan putranya yang baru saja dinikahi dua puluh empat jam yang lalu. Gadis dari keluarga terhormat yang dijanjikan kekayaan tak terbatas itu kini terbaring di ranjang, wajahnya pucat pasi, sementara air mata membasahi bantal sutra di bawah kepalanya. Ellena bukan wanita berumur lima puluh yang manis dan baik hati. Sebaliknya, dia berkepribadian kuat, sinis dan sangat ketat terhadap peraturan-peraturan yang ada. Wanita itu adalah satu otak di balik kekaisaran Rutherford yang bergerak di balik bayangan setelah suaminya—Damon Rutherford, meninggal. Ellena wanita cerdas, licik, dan handal dalam bisnis legal maupun ilegal jauh sebelum ia menikah, lalu menerima nama belakang suaminya yang terhormat. Nama belakang yang begitu sakral dan berkesan dingin sampai siapa pun akan gentar mendengarnya. Ia memiliki pemikiran tajam dan sama dinginnya seperti Dalton, sang putra sulung. Hanya saja, Ellena lebih menyukai jarum dan benang jahit daripada pistol dan tinju. "Kumohon! Tuan Rutherford pasti akan memberiku kesempatan. Aku ingin meminta belas kasihannya." "Kesempatan? Belas kasihan?" Sambil menahan rasa geli. Ellena tertawa terbahak-bahak. Lucu. Apa yang dikatakan Audrey jelas sangat menghibur sang nyonya. Tentu saja. Belas kasihan katanya? Belas kasihan tidak ada dalam dua emosi yang dimiliki putranya. Gai.rah dan amarah. Hanya itu. Dalton hanya memiliki dua di antara banyak. Anak yang diajarkan untuk tidak serakah, tumbuh menjadi anak yang sangat serakah. Bahkan jika Dalton disuapi seluruh potongan dunia, ia tidak akan pernah merasa cukup. Tawa Ellena menggema di ruangan itu. Membuat Audrey semakin terpuruk. Ia merasa menyedihkan dan tidak memikirkan harga diri. Padahal, ia datang ke sana untuk menjadi sang nyonya, untuk melahirkan pewaris bagi suaminya. "Apa kau baru saja berpikir putraku memiliki belas kasihan?" Ellena membersihkan ujung matanya yang berair. Ia benar-benar terhibur. Ia selalu menikmati merendahkan gadis-gadis serakah yang dinikahi putranya itu. Puas melihat mereka yang begitu pongah berubah menjadi sangat menyedihkan. "M-mom, aku...." "Panggil aku Nyonya Rutherford. Aku bukan ibumu." Audrey meremas selimut di atas lututnya. "T-tuan Dalton pasti akan memberiku kesempatan untuk mengandung anaknya, Tuan pasti...." "Kontraknya batal begitu kau pingsan dan membuat putraku merasa tidak puas." Karena kesenangan Dalton adalah hal nomor satu bagi Ellena, melihat seseorang mengecewakannya sama saja seperti menelan ribuan jarum yang menusuk ke tenggorokan. Apa saja, benar atau salah. Ellena bisa melakukan apa pun demi putranya. Ellena tahu putranya itu sangat sulit. Tetapi, itulah yang membedakan Dalton dari putra orang lain. Dia spesial. Iblis yang ia besarkan dengan tangannya sendiri. Orang yang akan menguasai sebagian besar pasar gelap Amerika hingga ke Britania Raya setelah dia dipastikan memiliki seorang putra. "Nyonya, beri aku kesempatan bicara dengan Tuan dan...." Ellena mendengkus, tawa kering dan pendek keluar dari bibirnya yang berlipstik merah tua. "Nona Winston," panggil Ellena, menggunakan nama keluarga gadis itu. Panggilan yang sengaja diberikan untuk menyadarkan gadis itu akan posisinya. Bahwa begitu ia keluar dari kamar dalam kondisi tidak sadarkan diri, itu artinya ia tidak berhak atas nama belakang keluarga Rutherford lagi. Tidak ada tempat bagi kelemahan di setiap seluk beluk keluarga mereka. Tidak ada tempat bagi wanita yang bahkan tidak bisa menyenangkan suaminya. Audrey Winston sudah gagal. "Dalton tidak berurusan dengan kata-kata seperti kesempatan dan belas kasihan. Dia menginginkan bukti dan hasil." Ellena memiringkan kepala. "Dalton tidak membutuhkan gadis yang merengek di ranjang. Kau bahkan tidak bertahan lebih dari satu jam." Bibir Audrey bergetar. "Itu karena Tuan melakukannya dengan sangat kasar! Dia melakukannya sampai aku merasa bagian bawah tubuhku akan koyak. Tidak ada wanita normal yang bisa menahan perlakuan seperti itu!" Ellena mencebik, mengamati Audrey dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan merendahkan. Tatapannya sedingin es. "Dalton tidak mencari wanita normal, Nona Winston. Putraku mencari seorang permaisuri yang mampu menerima tekanan dan cukup bertekad untuk bersabar. Kau pikir menjadi istri dari seorang mafia seperti Dalton hanya soal memamerkan tas mahal di pesta amal?" "Aku bisa menjadi kuat! Aku hanya butuh waktu untuk pulih!" Audrey beringsut, mencoba meraih tangan Ellena, tetapi wanita itu menarik tangannya dengan cepat. "Waktu? Justru karena waktu. Putraku tidak memiliki waktu untuk mengurus gadis yang suka merengek." Ellena berdiri dari kursinya. "Persyaratan utamanya adalah menghadapi malam pertamamu dengan gagah dan menunjukkan daya tahan yang luar biasa." Audrey terisak keras. "Aku rela menerima semua tuntutannya! Aku bisa memberinya pewaris! Beri aku kesempatan kedua, kumohon!" "Oh, pewaris," Ellena mengangkat alisnya yang terpahat sempurna. "Semua dari kalian mengatakan hal yang sama. Dan tahukah kau? Tidak ada satu pun dari delapan wanita yang dinikahi Dalton, termasuk dirimu, yang bertahan untuk benihnya. Kalian terlalu lemah untuk menampungnya." Ellena berdiri, membuat gaunnya mengeluarkan suara berdesir. Ia berjalan ke jendela, mengabaikan Audrey yang kini memohon dengan suara yang semakin putus asa. "Kau tahu, Nona Winston. Dalton itu seperti sebuah proyek konstruksi raksasa yang membutuhkan fondasi yang paling kuat. Fondasi itu harus anti-gempa dan anti-badai. Sementara kau, Sayangku, kau bahkan tidak bisa menahan sentuhan kecil." Sentuhan kecil? Sentuhan kecil apa yang membuat seluruh tulang-tulangmu terasa akan remuk? Membuat seluruh sendimu terpuntir dan otot-ototmu menjadi bubur? Ellena berbalik, tatapannya menyapu kamar mewah itu. "Pagi ini, semua allowance bulananmu akan dihentikan." Pernikahan biasanya akan dilakukan tiga atau empat bulan setelah lamaran dari pihak wanita diterima. Setelah itu, selama tiga atau empat bulan, Dalton akan memberikan uang saku untuk calon istrinya. Jumlah yang diberikan sangat besar, dan akan diberikan lebih besar setelah statusnya berubah menjadi istri sah. Namun, sesuai dengan perjanjian. Jika pernikahan itu batal. Maka uang saku tidak akan diberikan. "Semua hadiah yang kau terima. Perhiasan, tas, mobil, adalah milik Rutherford dan akan ditarik kembali. Keluarga Winston akan menerima kompensasi yang layak untuk menutupi biaya perjodohan, dan surat cerai akan ditandatangani hari ini." "Dad akan membunuhku jika aku pulang!" Audrey berteriak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya membelalak ketakutan. "Itu urusan yang harus kau pikirkan sebelum memutuskan untuk menikah dengan iblis," balas Ellena tanpa emosi. "Kenyamanan finansial adalah jebakan, Nona. Itu diberikan dengan harga mahal, tapi kau tahu kau harus bertahan untuk iblis yang membelimu." Sementara perdebatan pahit itu berlangsung, di lantai bawah, Jenna Ravenel sedang mengelap meja marmer ruang makan. Tubuhnya masih terasa kaku, tangannya terasa nyeri, dan aroma darah serta sabun yang bercampur samar masih melekat di indra penciumannya. Semalam, dokter pribadi keluarga telah datang, menjahit sobekan di hidung Dalton dan memberikan resep untuk mengurangi pembengkakan. Dokter itu pergi tanpa bertanya, sudah terbiasa dengan cedera aneh yang dialami sang jenderal. Jenna tahu, sejak insiden di kamar mandi tadi malam, statusnya telah berubah. Ia bukan lagi pelayan bayangan. Ia telah diakui oleh Dalton, dan itu adalah bencana. Ia harus mengakui, ada kepuasan kecil yang kejam saat melihat darah Dalton. Pria itu, yang begitu keji dan tak tersentuh, akhirnya mendapatkan sedikit balasan. Sayangnya, kepuasan itu ditelan oleh ketakutan yang lebih besar. "Pelayan?" Jenna menoleh, dan menunduk begitu melihat Nyonya Rose di seberang ruangan. "Nyonya Rutherford, ada yang bisa kubantu?" "Pergilah ke kamar gadis itu dan katakan pada Ellena, aku ingin bicara dengannya di gazebo." "Baik, Nyonya." Jenna undur diri, ia melangkah menuju sayap kanan kediaman besar itu. Langkah kakinya menggema di sepanjang lorong yang ia ambil. Beberapa kali ia berpapasan dengan pelayan-pelayan yang sibuk mengerjakan tugas mereka. Membersihkan debu, mengganti seprai di kamar-kamar yang tidak berpenghuni, mengganti kerai jendela tinggi, sampai mengisi bunga di vas bunga. Bahkan, di dapur jauh lebih sibuk daripada di sini. Ini waktunya sarapan, dan Dalton tidak pernah absen untuk menikmati sarapannya tepat waktu. Dalam perjalanan menuju kamar tempat Audrey Winston diasingkan, Jenna bertemu dengan tangan kanan atau asisten pribadi majikannya. Pria berambut cokelat tua, Roland Garret. Jika Garret di sini, maka Dalton pasti juga akan segera keluar. Jenna masih bisa mengingat kejadian semalam. Orang itu sudah gila. Jelas. Tidak terbantahkan lagi. Tidak peduli setampan apa wajahnya, tidak peduli sekaya apa dia. Orang itu jelas gila, pesakitan dan benar-benar menyedihkan. Jenna benar-benar menyesal, tetapi tanggung jawab dan seberapa jauh ia berjalan untuk bisa berada di sana terus ia putar. Ia tidak bisa mundur untuk alasan apa pun. Untuk yang kesekian kalinya. Pemandangan familier ini terlihat lagi. Dalton Rutherford sudah siap, tampan dalam setelan hitam tanpa celah. Rambut hitam pria itu disisir ke belakang, hingga dahi lebarnya terlihat. Dasi hitamnya menggantung dari kerah yang licin dan tidak sedikit pun memiliki kerutan. Pria itu berjalan melewati lorong yang sama dengannya. Saat melihat pria itu di depan sana, Jenna langsung berhenti melangkah. Ia lalu menepi di tepi jalan, sementara kepalanya tertunduk. Setiap ketukan langkah kaki yang diambil pria itu terasa seperti mimpi buruk. Jenna tahu, ia tidak bisa mundur, tidak peduli seberapa keras ia ingin melarikan diri dari rasa malunya. Semalam ia telah terjebak. Dan tanpa sadar, sikap sinisnya itu membawanya pada sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Langkah kaki itu semakin mendekat. Deg! Deg! Deg! Jenna merasa jantungnya berdebar sangat keras, mengetuk dadanya hingga nyaris keluar. Ia mengeratkan kedua tangannya yang saling bertaut, dan ia terus menunduk. Ia berpikir pria itu mungkin akan berhenti di depannya hanya sekadar mengejek, tetapi pria itu tidak berhenti mengambil langkah. Pria itu bahkan tidak menoleh atau melirik. "Menjijikkan," batin Jenna. Bahkan hanya membayangkan tangannya menyentuh pria itu, ia merasa gatal. "Tapi, kau harus bertahan demi misimu, Jenna. Ya, misimu. Untuk bisa membunuh iblis, kau harus menjadi iblis terlebih dahulu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN