Bab 4

1262 Kata
"Jadi kau akhirnya menerima lamaranku?" Kesan pertama yang diberikan Julie Gladwine pada Dalton Rutherford adalah sikap dingin dan sedikitnya toleransi terhadap sikap basa-basi. Dalton jelas tidak peduli soal basa-basi, dan ia sendiri tidak pandai melakukannya selama ini. Ketika Julie Gladwine melenggak-lenggok melewati jalur setapak menuju taman tempat makan malam disajikan, matanya nyaris tidak berkedip menatap kaki jenjang gadis itu, dengan beberapa bekas luka sayatan di sekitar tulang kering dan pahanya. Julie terlihat menantang. Pemandangan itu cukup menggugah rasa penasaran Dalton, ia ingin tahu alasan kenapa gadis Gladwine itu tidak berusaha mencangkok kulitnya yang cacat. Selain kaki jenjangnya yang mengintip dari belahan gaun hitam seksi itu, ada hal lain yang menarik dari penampilan Julie. Ya, bagaimana ketika kepala gadis itu ditutupi semacam kain renda hitam yang mirip seperti veil milik pengantin perempuan. Dalton tidak berdiri untuk menyambut gadis itu. Sebaliknya, ia mengangguk singkat dan menunjuk ke arah kursi dengan dagunya. "Duduk." Di balik veil hitam itu, Julie membalas Dalton dengan wajah kaku tanpa senyum. Tanpa menunggu lama, Julie duduk di kursinya. "Apa kau akan membiarkan wajahmu tertutup veil sialan itu?" "Kau mungkin akan kehilangan selera makan." Senyum sinis terbit di bibir Dalton. "Aku sudah terbiasa dengan darah dan mayat, jadi jangan khawatir dengan selera makanku." Gadis itu mendengus, lalu dengan kedua tangannya. Ia menyibak veil yang menutupi wajahnya. Dalton memiringkan kepala. Ia menemukan setengah wajah cantik dan setengah wajah buruk rupa di baliknya, tetapi itu tidak lantas menjadi penghalang baginya menikah lagi dan melengkapi persyaratan dari kakeknya. "Sebelah matamu buta?" "Kedua mataku normal." "Kalau begitu tidak jadi masalah." Julie duduk tegak di kursinya, anggun, tanpa ekspresi, tanpa minat berlebihan atau sikap manis yang sering dimainkan para pelamar sebelumnya. Dalton suka itu. Soal rupa, itu tidak jadi masalah. "Julie Gladwine, senang bertemu denganmu." Julie membalas dengan senyum sinis. "Dan kau pasti Dalton Rutherford, sang Jenderal yang gemar menyingkirkan istri-istrinya seperti mengganti jas." Dalton meraih gelas wine yang baru saja diisikan pelayan. Ia mengangkat gelas itu, lalu menyesapnya. "Setidaknya aku tidak bersembunyi di balik nama ayahku untuk menakuti musuh." Julie tertawa pendek sebagai tanggapan atas ucapan Dalton. "Aku melakukan semuanya tanpa bantuan siapa pun, Mr. Rutherford." Suaranya serak namun menggoda. Dalton meletakkan gelas wine, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Duduk diam, hanya mengamati sampai Julie akhirnya kembali membuka suara. "Jadi, kau datang untuk menerima lamaranku?" tanya Julie tanpa basa-basi. "Lebih tepatnya aku datang untuk memastikan apakah kau pantas menjadi seorang Rutherford." Julie tersenyum sinis. "Atau kau datang untuk memastikan aku bisa dijinakkan?" Pertanyaan itu membuat seringai di bibir Dalton melebar. Pria itu tahu, ia tidak memiliki ketertarikan khusus terhadap Julie. Sama seperti perjodohan-perjodohan sebelumnya. Ia tidak memiliki semacam ketertarikan, bahkan meskipun ia sendiri tidak merasakan percikan api terhadap gadis itu. Ia tetap bisa menidurinya. "Kebetulan aku tidak menyukai hewan jinak. Aku ingin peliharaan yang bisa menggigit balik." Julie meraih gelas wine berkaki itu, lalu mulai melakukan hal yang sama seperti Dalton. Menikmati cairan kental di dalamnya. "Kalau begitu, kau akan kecewa. Aku tidak menggigit, tapi aku membunuh." "Bisakah kau buktikan itu nanti?" "Aku bisa menjaminnya," kata Julie. Maka acara makan malam itu berjalan dengan sangat kaku. Julie dan Dalton sama-sama memperkenalkan diri secara singkat. Setelah basa-basi yang sebenarnya sama sekali tidak seperti basa-basi, mereka mulai membahas soal perjodohan itu. Alasan Julie mengajukan lamaran pada Dalton adalah ... karena ia butuh kekuatan baru. Sebagai orang yang satu-satunya tersisa, Julie jelas membutuhkan penyokong. Gadis itu bersama pamannya, jelas sudah memperhitungkan setiap langkah yang akan mereka ambil. Dengan kata lain, meskipun Julie sangat percaya diri akan kemampuannya. Ia berada di ambang kekhawatiran. Gadis itu membutuhkan tangan yang lebih besar untuk melindungi, apalagi setelah Dalton tahu fakta bahwa keluarganya memiliki sedikit masalah dengan organisasi besar yang selama ini bekerjasama cukup baik. Maka, rencana pernikahan segera disiapkan. Mereka akan menikah secara tertutup, di sebuah kapel sederhana milik keluarga Rutherford. Pernikahannya akan dilakukan bulan depan. Karena Dalton tidak ingin menunggu terlalu lama untuk itu. Ia akan berpuasa, tidak menyentuh wanita sama sekali sampai ia menikahi Julie nanti. Pagi ini, Julie menerima surat yang dikirim secara khusus dari keluarga Rutherford. "Nona Julie, ini surat berisi persyaratan dan peraturan yang harus Nona ketahui." Di dalam surat itu, Dalton menuliskan poin-poin yang harus dipatuhi Julie. Durasi bercinta di malam pertama akan berlalu sepanjang malam. Dalton menginginkan lawan main yang kuat dan mampu bertahan memenuhi hasratnya, pria itu ingin memastikan Julie adalah wanita terakhir yang harus ia nikahi. Jadi dia memerintahkan Julie untuk mempersiapkan stamina. Maka dalam dua minggu terakhir, Julie mulai menerima limpahan hadiah. Satu set perhiasan, pakaian, sepatu, bahkan kiriman bunga. Sebuah ritual yang akan diberikan Dalton pada calon istrinya, sebelum pria itu membantainya di malam pertama, tetapi Julie tidak merasa cemas sedikit pun. Ia cukup percaya diri pada rencananya. Satu kali pertemuan dengan Dalton Rutherford. Satu kali pertemuan dengan Ellena Rutherford, sudah cukup membawa Julie pada jalan baru kehidupannya. Hari ini, pernikahan akhirnya diadakan. Julie berjalan menuju altar dengan langkah-langkah anggun dan tepat. Di altar, ia melihat Dalton dengan setelan hitamnya. Tampak benar-benar gatal untuk menyelesaikan upacara itu. Karena jelas Dalton tidak terlihat menginginkan pernikahan jika saja bukan karena kakeknya. "Dalton Rutherford, apakah kau bersedia menerima Julie Gladwine sebagai istrimu. Dalam suka dan duka...." "Julie Gladwine, apakah kau bersedia menerima Dalton Rutherford sebagi suamimu. Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit...." Mereka berdua menjawabnya tanpa ragu, dan hanya dalam beberapa menit. Mereka sah menikah. Dalton membuka veil Julie dan menciumnya secara singkat. Pria itu lalu berbalik, menggandeng Julie, membawa pengantinnya pada sang kakek. "Aku akan memberimu cicit, Kakek. Jadi siapkan saja semua perpindahan kekuasaan itu padaku." "Cucuku yang serakah, aku suka kau berusaha sangat keras," kata Walter Rutherford. Dalton mengernyit, karena jelas ia sangat membenci semua yang sedang ia lakukan. Tentu saja, hanya untuk meniduri seorang wanita. Ia harus berpuasa dan menikah. Kakeknya hanya menginginkan penerus yang berasal dari pernikahan sah. Padahal meniduri seorang gadis tanpa ikatan dan membuatnya hamil jauh lebih mudah. Bayangkan saja, Dalton harus berpuasa tiga sampai empat bulan hanya untuk menikahi seorang gadis, yang kemudian pingsan di malam pertama di jam-jam pertama percintaan mereka. Siklus itu dilakukan secara berulang, membuatnya benar-benar kelaparan. Sekarang durasi berpuasanya lebih pendek, meskipun jelas tidak menjamin kadang testoteronnya menurun. Sekarang ia sangat berhasrat, sangat haus dan lapar, tetapi ia tahu masih ada harus ia lakukan bersama kakeknya. "Garret, antar pengantin wanita ke kediaman sekarang," ucap Walter, menatap cucu menantunya dengan ekspresi dingin. "Kau harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mengumpulkan semua stamina yang kau miliki." Pria itu menyipitkan mata ke arah Julie, yang wajahnya tertutup veil. "Jangan kecewakan aku, Nona Gladwine. Bertahanlah dan berikan aku seorang cicit." Julie menghampiri Walter, memberinya pelukan singkat dan bisikan tajam, "Aku pasti memberikannya untukmu, Tuan Rutherford. Cicit laki-laki yang kuat dan cerdas." Setelah itu, Julie menoleh ke arah Dalton dan tersenyum kaku pada suaminya itu. "Aku akan menunggumu." Mata hijau Dalton menyipit. "Saat aku tiba, aku ingin kau siap untukku." "Aku bisa menjamin itu." Julie diantar menuju kediaman, sepanjang perjalanan. Ia duduk tanpa mengatakan apa pun. Dengan dibantu pelayan-pelayan, Julie menghabiskan sisa hari itu untuk beristirahat di kamarnya. Kamar paling sudut di kediaman itu. Ketika semua orang akhirnya meninggalkan Julie sendirian. Pintu kamar diketuk, Julie sendiri yang membukakan pintu. "Kau memanggilku?" Julie duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Menatap Jenna Ravenel yang berdiri di tengah ruangan, memakai pakaian maid dan tampak begitu waspada. "Ada tugas lain yang harus kau lakukan, Jenna." Jenna tidak berkedip. Saat Julie mengangguk ke arah gaun hitam indah yang digantung di lemari kaca, Jenna mengepalkan tangan. "Kau tidak bermaksud untuk...." Sebelum Jenna menyelesaikan ucapannya, Julie sudah mengibaskan tangan dan berkata, "Lakukan tugasmu, Jenna. Kau akan pergi ke kamar pengantin itu dan menggantikanku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN