“Ini beneran harus gue banget yang ngelakuin?”
Entah sudah yang keberapa kalinya Abima melontarkan pertanyaan yang sama kepada Anjar, laki-laki yang lebih tua sampai harus menghela napasnya dengan penuh kesabaran untuk menghadapi Abima, sebab adik kecilnya itu benar-benar bertanya setiap beberapa menit sekali dan pertanyaannya selalu saja sama meskipun Anjar sudah menjelaskannya berkali-kali.
‘Memangnya harus gue?’
Sebenarnya apa yang salah sih jika memang Abima yang harus melakukan itu?!
“Harus berapa kali sih gue jelasin kalo memang cuma lo doang satu-satunya harapan gue, Abima?!” Anjar menekan setiap kata yang dia ucapkan agar Abima bisa mengerti bahwa dirinya sangat serius saat ini. Pilihan Anjar tidak bisa diganggu gugat, memang hanya Abima saja yang paling tepat untuk mendekati Kinan dan mencoba membuat gadis itu lebih terbuka dengan yang lainnya.
“Tapi kan masih ada banyak anak lain yang bisa dimintai bantuan, ada Kak Rea tuh yang jelas-jelas friendly banget sama semua orang dan gue yakin dia pasti bisa ngeluluhin hatinya Kinan. Lagian enggak perlu minat yang sama buat bisa deketin Kinan, Kak.” Tapi sayangnya Abima masih pada pendiriannya bahwa dia merasa tidak bisa melakukan apa yang Anjar inginkan.
“Enggak!” tolak Anjar cepat. “Harus lo yang ngelakuin itu. Lo tahu kan kalo feeling gue itu selalu benar? Gue yakin banget kalo lo bisa ngeluluhin hatinya Kinan dan ngebuat dia jadi deket sama kita semua, lo orang yang paling gue percaya, Bim. Lo juga bisa berbaur sama semua orang tanpa pandang status atau apa pun, lo juga orangnya hangat dan pinter buka obrolan, apalagi lo punya minat dan bakat yang sama kayak Kinan, jadi udah turutin aja apa yang gue bilang. Lagipula hal kayak gini kan memang udah kayak tradisi kita banget, kita nggak bisa biarin Kinan terus sendirian. Gue bahkan tahu apa yang terjadi tadi pagi.”
“Hah?”
Abima membeo dengan wajah terkejutnya, kalimat terakhir Anjar membuatnya jadi harus berpikir keras untuk mengingat kejadian apa yang terjadi kepadanya di pagi tadi, Abima bahkan sudah melupakannya karena seingatnya memang tidak ada hal yang spesial, sebab dia hanya membuatkan makanan seperti biasanya—
Sebentar ....
Bukankah pagi tadi dia bertemu Abima bertemu dengan Kinan di dapur?
“Udah ingat apa yang terjadi tadi pagi?” Suara Anjar kembali terdengar di telinganya, membuat Abima kontan melotot karena terkejut bagaimana Anjar bisa mengetahui bahwa keduanya ada di dalam dapur, padahal Abima tidak melihat Anjar di sana.
“Kak, kok lo bisa tahu sih?!” Abima jadi malu sendiri mengingat kejadian tadi pagi, padahal sebenarnya tidak ada kejadian memalukan hanya saja Abima merasa cukup malu dengan situasi canggung yang mereka alami pagi hari tadi.
“Bisa dong, gue punya banyak mata-mata soalnya.”
“Kasih tahu gue!” desak Abima masih belum puas.
“Janji dulu lo mau ngelakuin apa yang gue minta, kalo lo janji nanti gue kasih tahu.”
“Asli lo licik banget, Kak.” Abima berdecak kesal dan memilih mengabaikan Anjar, dia tidak lagi mendesak laki-laki itu untuk memberitahunya. Biarkan sajalah, mau Anjar atau satu anak asrama tahu sekalipun Abima akan biasa saja.
Anjar terkekeh kecil, mengganggu yang lebih muda memang menyenangkan, pikirnya. Sejak tadi dia sudah kepalang pusing mengerjakan skripsinya yang baru saja bertambah beberapa lembar saja, tapi untungnya sudah ada kemajuan daripada Anjar harus stuck di lembar yang sama sejak berhari-hari sebelumnya. Biarkan dia meringankan pikirannya lebih dahulu dengan menggoda Abima dan memilih untuk mengabaikan skripsinya yang masih berada di meja.
“Jadi, gimana? Lo mau turutin permintaan gue nggak?” tanya Anjar sekali lagi masih belum menyerah.
Anjar tidak akan memaksa Abima jika dirinya tidak seyakin ini. Laki-laki yang lebih tua itu memang sering kali memiliki feeling yang lebih peka daripada anak-anak yang lainnya dan dia yakin benar bahwa Abima pasti bisa menghilangkan seluruh kecanggungan yang ada dalam diri Kinan, Abima pasti berhasil membuat gadis itu jadi lebih terbuka dengan yang lain.
Anjar juga sudah lama mengenal Abima, jadi dia sangat tahu sekali bagaimana kepribadian adiknya itu. Abima yang hangat akan cocok sekali dengan Kinan yang cukup dingin, pendekatan seperti ini biasanya akan lebih berhasil jika dilakukan oleh berlawanan jenis, apalagi Abima adalah tipe orang yang mudah dekat dengan orang lain dan membuat orang lain merasa ingin dekat dengannya. Abima itu memiliki suatu pesona yang tidak dimiliki oleh penghuni lainnya, maka dari itu Anjar sangat percaya bahwa rencananya ini akan berhasil.
“Sekali lagi gue tanya, lo mau turutin permintaan gue nggak?” Anjar bertanya lagi untuk yang terakhir kalinya, meskipun sedikit memaksa tapi Anjar tetap memberikan pilihan akhirnya kepada Abima.
Yang lebih muda menghela napas panjang, baru saja dia ingin menjawab, sebuah suara lain datang dari orang yang berbeda.
“Permintaan apa tuh? Kalian berdua kok serius banget sih ngobrolnya gue sampe penasaran.” Dia adalah Bella yang langsung mendekat ke arah Anjar dan Abima lalu mengambil beberapa cemilan dalam toples terdekat.
Bella datang bersama Bintang, mereka berdua baru saja pergi dari ruang musik setelah mendatangi Kinan. “Gue sama Bintang tadi dengar Kinan main piano, kalian berdua dengar nggak?” tanya Bella tiba-tiba, tidak peduli bahwa pertanyaan sebelumnya belum dijawab oleh kedua laki-laki itu.
“Lo ke ruang musik?” tanya Abima cepat, penasaran dengan apa yang kedua gadis itu lakukan, sebab tadi dirinya hanya melihat saja tanpa merasa perlu untuk bertemu langsung dengan si pianis tersebut.
“Iya,” Bintang yang menjawab. “Gue sama Bella bahkan kasih tepuk tangan dan pujian ke Kinan, terus ngobrol sebentar sebelum akhirnya masuk deh ke sini,” jelasnya lebih lanjut.
Sebelah alis Anjar kontan terangkat tinggi. “Kalian nggak ke sini bareng sama dia?” tanyanya kaget. Lama waktu Anjar berada di dapur dengan Kinan yang berada di ruang musik itu kurang lebih sama, jadi Anjar tahu bahwa gadis itu sudah cukup lama berada di sana, namun pertanyaannya adalah mengapa Kinan tidak juga kembali padahal sudah sesore ini dan langit juga sudah mulai mendung?
Anjar yang sejak tadi duduk di dapur saja sudah merasa pegal dan muak, masa Kinan yang berada di ruang musik tidak bosan?
“Tadi udah diajakin sama Bintang, tapi Kinannya nggak mau. Kalo gue perhatiin sih tuh anak kelihatannya masih belum nyaman sama yang lain, gue sih ngewajarin ya soalnya dia masih baru dan anaknya introvert banget apalagi sekolahnya itu home schooling. Jadi, gue paham lah kenapa dia bersikap kayak gitu,” jelas Bella kepada kedua laki-laki itu, yang membuat Anjar lantas mengangguk cepat karena dia juga berpikiran hal yang sama.
“Yaudah kalo gitu gue sama Bintang balik ke asrama duluan ya, cape banget jujur, mau langsung rebahan!” pamit Bella sebelum akhirnya kedua gadis itu mulai pergi meninggalkan Anjar dan Abima yang masih betah duduk di dapur sana.
Sejak tadi, Abima hanya diam seraya menyimak percakapan mereka dan kini dia mendengar langsung dari Bella bahwa Kinan memberikan penolakan untuk diajak kembali ke asrama bersama karena gadis itu merasa tidak nyaman. Tiba-tiba saja Abima teringat dengan kejadian di pagi hari tadi, ketika dia melihat Kinan datang ke dapur sendirian di waktu sesubuh itu padahal gadis itu tidak memiliki kegiatan mendesak yang harus dia lakukan di pagi hari.
Tapi, untuk apa dirinya bangun sepagi itu?
“Tadi pagi Alicya chat gue, kasih tahu kalo pagi ini Kinan makan sendirian di dapur waktu jam subuh, Alicya nggak sengaja ketemu Kinan waktu dia baru balik. Gue kan tahu lo selalu masak subuh-subuh, jadi gue mikir dia pasti ketemu sama lo, ketemu nggak tadi pagi?” Anjar menjelaskan seraya bertanya kepada Abima, seolah-olah menyadari apa yang sedang adiknya itu pikirkan saat ini.
Abima hanya mengangguk saja sebagai jawabannya, tapi di sisi lain dia justru terpikirkan soal Kinan yang makan sendirian di pagi buta. Jadi, gadis itu datang ke dapur sepagi itu karena dia ingin makan sendirian?
‘Kenapa harus sendirian di saat ada banyak orang di asrama ini sih?’ batin Abima berteriak bingung.
“Kayaknya lo sekarang udah paham apa yang gue maksud, gue nggak mau terlalu memaksa lo sih, Bim. Cuma dari sudut pandang gue emang cuma lo yang paling cocok buat melakukan pendekatan ke Kinan, maka dari itu gue minta tolong sama lo, tapi kalo seandainya lo nggak mau—”
“Gue mau.”
Anjar menoleh cepat ke arah Abima dengan penuh keterkejutan. “Apa lo bilang?”
Abima turut membalas pandangan kakak tertuanya tersebut, lalu dia berkata, “Gue mau, Kak. Gue mau turutin permintaan lo buat coba lebih dekat sama Kinan.”