Selama perjalanannya menuju sekolah Abima tidak bisa berhenti tersenyum. Dia mengendarai si biru kesayangannya dengan senyum lebar bahkan hingga dirinya sampai di gedung tempatnya menuntut ilmu. Semua orang yang melihat laki-laki itu sampai mengernyitkan dahi kebingungan, ada beberapa juga yang merasa muak karena hari ini Abima benar-benar terlalu banyak tersenyum. Padahal biasanya laki-laki itu lebih sering mengeluarkan ekspresi yang datar-datar saja.
Mereka semua sampai bertanya-tanya, apa alasan yang membuat laki-laki itu terlihat begitu cerah hari ini?
Tentu saja jawabannya adalah karena kejadian hari ini, kejadian yang sudah melibatkan agenda sarapan paginya bersama dengan gadis penghuni baru Asrama Kartapati tersebut—Kanala Kinanti.
Abima lupa kapan terakhir kali dirinya merasa sampai sesenang ini, laki-laki itu memang sering merasa senang karena anak-anak asramanya, tapi yang betul-betul sampai ‘sesenang’ ini hanyalah di hari ini.
Padahal kedekatannya dengan Kinan baru terhitung di hari ini saja, yang kemarin-kemarin tidak bisa dihitung sebab mereka hanya bertemu secara tipis-tipis saja tanpa obrolan yang panjang, itu pun masih ada kecanggungan yang terjadi di antara keduanya. Benar-benar baru hari ini terjadi percakapan panjang di antara keduanya.
Jika perlu diperjelas, kejadian pagi ini pun sebenarnya terlihat sama saja seperti keseharian Abima pada umumnya ketika sarapan pagi bersama dengan anak-anak yang lain. Tidak ada yang berbeda, semuanya sama. Namun mengapa Abima merasa ada yang berbeda jika melakukannya bersama Kinan?
Aneh bukan? Bagaimana dalam obrolan panjang pertama mereka Abima sudah bisa merasa sesenang ini?
“Apa ini karena gue merasa berhasil ngelakuin apa yang udah Kak Anjar minta makanya gue jadi sesenang ini? Tapi, masa iya cuma karena itu aja sih?” Abima bergumam sendirian, dia bahkan tidak mempedulikan lagi tatapan yang diberikan oleh teman-teman sekelasnya kepadanya.
“Ah, bodo lah, lagian enggak ada salahnya kalo gue seneng, seharusnya kan malah bagus kalo gue senyum terus daripada harus sedih-sedih, iya, kan?” Entah kepada siapa laki-laki itu bertanya, tapi pada akhirnya Abima kembali tersenyum lagi seperti orang bodoh.
Beberapa menit berlalu, Abima masih bertahan pada ekspresinya sejak datang. Padahal laki-laki itu sudah mencoba untuk mendistrak kepalanya dengan hal lain seperti bermain game, membaca beberapa bab pelajaran yang akan dibahas hari ini, ataupun melakukan kegiatan lainnya. Namun, sosok Kinan masih saja terbayang-bayang di kepalanya, apalagi ketika kejadian sosis gosong pagi ini, Abima sampai kembali tertawa jika mengingatnya lagi.
‘Kalo dipikir-pikir gue beneran kelihatan kayak orang bodoh banget deh pasti, pantes aja Kinan ketawa sekencang itu,’ pikir Abima ketika mengingat lagi bagaimana suara tawa gadis itu.
“WOY!”
Abima terlonjak kaget sampai loncat dari tempat duduknya karena suara Galih. “Lama-lama jantungan gue kalo lo kagetin mulu tiap pagi!” geram Abima kesal, laki-laki itu sampai menjitak kepala Galih cukup kencang untuk membalas rasa kagetnya kepada sahabatnya tersebut.
Galih hanya terkekeh geli. “Abisan lo gue panggilin nggak nyahut-nyahut, gue lihat serius banget mikirnya sampe ketawa-ketawa, makanya gue kagetin aja.”
“Gue beneran bisa jantungan, Galih,” ujar Abima penuh rasa frustrasi. Bisa tidak sih dia buang saja temannya yang satu ini?
“Iya, sorry, janji deh besok-besok enggak lagi.”
“Kemarin lo udah ngomong hal yang sama, nebar janji nggak lagi dilakuin tapi pada akhirnya lo tetep aja ngagetin gue. Memang nggak bisa berubah deh lo.”
“Nah, itu lo tahu!” Galih terbahak kencang. “Kalo udah tahu jadi jangan minta gue buat berhenti lagi.”
“Terserah lo aja.”
Abima akhirnya kembali mengalihkan atensinya kepada game pada ponselnya yang sempat dia jeda karena memikirkan Kinan. Sekarang setelah kedatangan Galih, Abima jadi tidak bisa memikirkan apa pun lagi karena sahabatnya itu sudah membuatnya sangat terkejut barusan.
Galih juga langsung masuk ke kursinya tepat di sebelah Abima, meletakkan tasnya di kursi, kemudian kembali beralih pada Abima. “Jadi, apa alasan lo senyum terus sepanjang pagi ini? Padahal gue baru aja dateng, tapi anak-anak langsung pada nanya tuh ke gue tentang lo, emangnya lo abis ngapain sih, Bim?”
Abima menaikkan sebelah alisnya kebingungan. “Gue diomongin sama yang lain?” tanyanya, dia benar-benar tidak memperhatikan sekitar sejak datang ke sekolah. Jadi, wajar saja jika Abima memang tidak tahu bahwa semua orang memperhatikannya sepanjang pagi ini hanya karena dia terlalu banyak tersenyum. “Memangnya gue ngapain?”
“Kok lo nanya balik sih? Harusnya gue yang tanya dong lo kenapa?”
Lho, benar juga. Harusnya kan Abima menjawab pertanyaan Galih, bukannya malah menanyakan hal yang sama. Tapi masalahnya ... Abima juga tidak tahu kenapa orang-orang sampai membicarakannya.
“Gue beneran nggak tahu juga, memangnya mereka ngomong apa ke lo?” tanya Abima pada Galih, dia juga jadi penasaran tentang apa yang sudah anak-anak lain katakan kepadanya.
“Mereka bilang sejak dateng lo senyum-senyum enggak jelas, ada beberapa orang yang nyapa lo tapi nggak lo tanggepin karena sibuk sama isi kepala lo sendiri. Sebenernya lo mikirin apa sih, Bim? Soalnya pas tadi gue dateng juga, gue sempet lihat kalo lo beneran lagi bengong sambil senyum-senyum gitu,” jawab Galih.
Abima menghela napas panjang, sepertinya dia tidak sadar bahwa senyumnya sedari tadi benar-benar dia lakukan di dunia nyata. Abima pikir dia tidak terlihat sampai separah itu, namun karena ada banyak orang yang sampai mengatakannya kepada Galih, berarti Abima memang sudah kehilangan kesadarannya selama beberapa saat lalu.
Dan semua itu karena Kinan.
Kenapa efek kejadian pagi ini bersama Kinan jadi membuat Abima seperti ini sih?!
“Gue kenapa sih!” Abima menggerutu kepada dirinya sendiri hingga membuat Galih yang berada di sebelahnya hanya bisa menatap heran ke arah laki-laki itu. Dia tidak mengerti kenapa Abima sampai harus marah-marah kepada dirinya sendiri seperti itu.
“Cerita deh Bim. Sini gue dengerin semua cerita lo, daripada lo beneran jadi gila kalo pendem semuanya sendirian. Gue sedih kalo lo gila nanti gue nggak punya temen sebangku lagi.” Galih memasang wajah sedihnya dan memperlihatkannya kepada Abima, hingga membuat laki-laki itu langsung mendengus kesal karena perlakuan aneh dari sahabatnya tersebut.
Namun, benar kata Galih, akan lebih baik jika Abima berbagi cerita kepada laki-laki itu. Karena siapa tahu Galih bisa memberikan saran yang dapat lebih membantunya, walaupun Abima tidak begitu yakin, tapi biasanya Galih cukup ahli dalam hal meluluhkan hati wanita seperti ini. Biasanya, Abima juga memang lebih sering membagikan cerita apa pun kepadanya, mereka berdua terbiasa bercerita antara satu sama lain.
Jadi, mungkin tidak ada salahnya jika Abima juga menceritakan tentang Kinan kepada Galih.
“Oke, gue cerita, dengerin gue baik-baik.” Mulai Abima. Galih juga langsung bersiap mendengarkan. Jika sedang berada dalam mode serius seperti ini maka tidak ada yang boleh bercanda di antara mereka, jika cerita itu sudah selesai maka keduanya baru bisa kembali pada versi normal untuk diri mereka masing-masing.
“Jadi, di asrama gue itu ada kedatangan penghuni baru, perempuan namanya Kanala Kinanti yang pernah gue bilang ke lo waktu itu. Lo kan pernah nanya tuh waktu di Bandung kenapa gue serius banget main handphone dan gue pernah bilang kalo ada anak baru di asrama, nah ini orang yang sama.”
Galih mengangguk-angguk paham. “Gue inget, gue inget!” katanya bersemangat. Karena Abima sudah membawa kenangan kecil yang terjadi di Bandung, Galih jadi tahu siapa yang dimaksudkan walaupun sebetulnya Galih tidak tahu pasti yang mana yang namanya Kinan itu.
“Perempuan ini tuh pianis, Lih. Dia juga sekolahnya home schooling karena lebih fokus sama karir pianonya dan kedua orangtuanya ngebolehin dia buat fokus sama apa yang Kinan mau. Tapi, karena milih buat fokus karir dan sekolah di rumah, Kinan akhirnya jadi nggak punya banyak temen dan jadi pribadi yang tertutup gitu—bisa gue bilang kalo dia cukup sulit buat di deketin walaupun cuma sekadar buat temenan aja karena anaknya kaku banget, canggungan dan mudah nggak nyaman kalo ada di sekeliling orang baru. Seenggaknya itu yang gue lihat dari dia dan setelah denger kata orang lain.
“Kinan tuh emang sering tinggal di kos-kosan atau asrama gitu kalo kebetulan ada lomba di luar kota, katanya biar lebih deket buat latihan sama guru pribadinya dan tempat lombanya juga jadi lebih deket, makanya sekarang dia cuma ambil waktu tinggal selama 3 bulan karena lombanya memang dimulai 3 bulan lagi, mungkin setelah itu dia bakalan langsung cabut dari asrama.
“Tapi walaupun cuma tinggal 3 bulan doang di asrama, anak-anak asrama yang lain tuh tetep pingin coba buat deket sama Kinan. Karena mereka nggak tega juga harus ngelihat Kinan nggak nyaman ada di deket mereka, dia juga pernah kepergok makan sendirian waktu subuh-subuh karena nggak mau sarapan bareng yang lain. Jadi, anak-anak asrama yang lain tuh mulai nyusun strategi buat coba deketin Kinan.
“Gue juga pernah cerita kan sama lo kalo Asrama Kartapati itu kayak punya tradisi di mana salah satu penghuni lama bakal coba ngedeketin penghuni baru sampe mereka berdua deket, dan pada akhirnya kedekatan itu bakal menyebar sama anak-anak yang lain. Selama ini, cara itu yang selalu kami terapin dan berhasil.
“Terus masalahnya tuh sekarang, gue beneran nggak nyangka bakal kepilih buat jadi orang yang ngedeketin Kinan. Kak Anjar bilang sama gue alasannya sih karena gue sama Kinan punya hobi yang sama-sama di bidang seni makanya bakalan lebih cepet nyambung dan deket, gue awalnya nggak percaya karena sebelumnya gue nggak pernah ngelakuin ini—gue nggak pernah jadi pendahulu karena sebelumnya gue jadi deket kalo emang si anak baru itu udah deket juga sama yang lain, cuma karena sekarang jadi giliran gue makanya gue bingung.
“Kak Anjar tuh baru kemarin banget minta sama gue dan kebetulan pagi ini gue ketemu Kinan di dapur, dia dateng ke dapur sambil bawa botol minum kayaknya mah mau ngambil minum. Cuma tadi pagi gue nawarin dia buat makan bareng setelah sebelumnya ada kejadian yang—nggak bisa gue ceritain yang pasti kejadiannya agak aneh. Tapi karena hal itu Kinan akhirnya mau sarapan bareng gue tadi pagi.”
Abima sudah menceritakan topik utama dari hal yang memang ingin dia bagikan kepada Galih, namun Abima tidak tahu bagaimana cara dirinya harus melanjutkan cerita selanjutnya, karena bagian kedua akan masuk dalam tahap tentang apa yang Abima rasakan dan alasan utama mengapa efeknya bisa sampai sebesar ini.
Galih masih menunggu dengan sabar, Abima memang sudah berbicara panjang lebar untuk menjelaskan tentang drama yang terjadi di hari ini antara dirinya dengan gadis bernama Kinan, tapi Galih merasa bahwa dalam kalimat panjangnya yang terakhir itu masih dalam posisi menggantung, seperti ada hal lain yang masih ingin Abima sampaikan.
Namun, dua menit berlalu Galih tidak mendengar apa pun lagi, Abima malah melamun di sampingnya dengan ekspresi wajah yang sangat serius juga dengan keadaan keningnya yang tengah mengerut dalam tanda bahwa laki-laki itu sedang berpikir dengan serius saat ini. Galih tebak bahwa sepertinya telah terjadi perkelahian antara otak dan hati laki-laki itu hingga membuatnya tak singkron dan tidak bisa mengatakan lanjutan kalimatnya.
Sahabatnya itu seperti sedang memikirkan apakah dia harus menceritakannya kepada Galih atau tidak, itu yang Galih lihat dari ekspresinya sekarang.
Karena Abima tidak juga kunjung bicara, akhirnya Galih yang buka suara. “Oke, gue udah nangkep nih semua cerita yang lo kasih, gue juga udah paham gimana alurnya. Keren lo mau terima permintaan Kak Anjar buat deketin Kinan yang jelas-jelas definisi dari putri es gitu. Tapi yang gue pertanyakan adalah alasan lo senyum-senyum pagi ini tuh jadinya kenapa? Lo nggak ngasih tahu itu secara spesifik, kalo dari yang gue tangkep sih ini ada hubungannya sama sarapan bareng Kinan, cuma lebih jelasnya gue masih bingung. Lo masih mau cerita nggak, Bim?”
“Masih, gue masih mau cerita, tapi gue bingung lanjutinnya gimana ....”
“Kenapa lo harus bingung?” tanya Galih yang juga ikut kebingungan.
“Gue males soalnya nanti lo ketawain.”
Galih langsung terbahak kencang mendengar itu. Memangnya apa sih yang terjadi sampai sahabatnya ini kebingungan untuk melanjutkan ceritanya?
“Gue nggak janji bakal nggak ketawa, tapi terserah lo juga sih, kalo lo nggak lanjut cerita yaudah.”
Abima menghela napas panjang. “Oke, gue lanjutin ceritanya.” Galih langsung mengangguk dan siap untuk mendengarkan lagi.
“Sebenernya tadi pagi gue lagi goreng sosis dan sosisnya tuh gosong gara-gara gue sama Kinan pandang-pandangan lama banget, lo pasti tahu rasanya ketika lo kebingungan dan diem aja di tempat karena nggak tahu harus ngelakuin apa, nah gue sama Kinan tuh tadi pagi waktu ketemu di dapur kayak gitu. Dia yang kaget karena liat gue di dapur, dan gue yang kaget liat dia ada di pintu masuk dapur. Jadi, kami berdua lihat-lihatan beberapa menit sampai akhirnya gue lupa kalo lagi goreng sosis dan akhirnya gosong.”
Abima menoleh cepat dan langsung mendengus keras-keras ketika melihat Galih sedang menahan tawanya, suara tahan tawanya itu bahkan sampai ke telinga Abima dengan sangat jelas. Sahabatnya itu memang paling bisa menertawakan penderitaan Abima padahal selama Galih yang menderita Abima tidak pernah menertawakannya.
Bisa dilihat bukan perbedaan yang signifikan dari sifat keduanya?
“Sorry, sorry, cerita lo lucu banget soalnya gue jadi ketawa. Lagian drama banget deh pagi-pagi, malah lebih kayak sinetron sih yang lihat-lihatan pas ketemu sampe goreng sosis aja gosong—pft, HAHAHAHA.” Tawa Galih akhirnya benar-benar meledak pada saat itu juga, dia tidak bisa menahan rasa gelinya ketika membayangkan semua adegan yang sudah Abima ceritakan kepadanya.
Abima, sahabatnya yang dia kenal sangat amat tenang dan juga bisa berbaur dengan mudah oleh orang lain, justru menceritakan kejadian konyol di pagi ini karena kaget akan kedatangan seorang gadis yang merupakan penghuni baru di asramanya.
Sungguh tidak bisa dibayangkan. Galih jadi ingin sekali melihat kejadiannya secara langsung.
“Terus gimana? Lanjutin dong, ini ceritanya belum selesai ‘kan?” desak Galih lagi, memancing Abima untuk kembali melanjutkan ceritanya.
“Males lah, lo ketawa, guenya malu,” jawab Abima kesal, tapi juga merasa malu di saat bersamaan.
“Wajar kali gue ketawa, coba gue tebak Kinan juga pasti ketawa waktu sadar kalo sosis yang lo goreng itu gosong!” balas Galih bersemangat, wajahnya berseri-seri tanda bahwa dirinya sangat yakin sekali akan apa yang dia katakan.
Walaupun merasa sangat amat malu, tapi Abima tidak bisa menahan diri untuk tidak menangguk. Tindakan yang justru kembali memancing tawa Galih untuk kembali dia keluarkan hingga membuat teman-teman lain sampai menoleh ke arahnya karena penasaran mengapa Galih tertawa seheboh itu.
Abima hanya meringis saja di tempat duduknya, ingin sekali menyembunyikan dirinya sendiri dari dunia karena sudah kepalang malu.
“Aduh, astaga, makin muda dan makin ganteng deh gue kalo pagi-pagi kayak gini aja udah ketawa.”
Abima langsung menoyor kepala Galih dengan kesal. “Enggak nyambung!”
Sahabatnya itu masih terkekeh kecil, tapi tawanya besarnya sudah mereda. “Terus apalagi? Ayo, lanjutin ceritanya.”
Merasa tak punya pilihan lain dan Abima juga tahu bahwa ceritanya ini sedikit lagi akan selesai, dia sudah hampir sampai di ujung, maka dari itu Abima pun memilih untuk melanjutkan.
“Pokoknya setelah kejadian sosis gosong itu, setelah Kinan juga berhenti ketawa kita berdua jadi ngerasa geli sendiri sama apa yang udah terjadi. Tapi nggak tahu keberanian dari mana, tadi gue dengan entengnya aja nyeletuk buat tetep ngajakin Kinan buat sarapan bareng gue dan hal yang paling nggak gue sangka adalah Kinan akhirnya ngangguk dan iyain pertanyaan gue.
“Terus akhirnya kita beneran sarapan bareng, ngobrolin banyak hal tentang dia, tentang anak asrama ataupun hal-hal random yang lain. Gue ngerti ketika awal-awalnya Kinan masih kelihatan nggak nyaman ngobrolnya, karena pasti gadis itu butuh waktu buat nyesuain diri. Cuma tuh, makin lama ngobrol sama dia gue jadi ngerasa makin nyaman, Kinan juga kelihatan lebih santai daripada awal-awal obrolan kita.
“Karena sadar sama perubahan Kinan, gue tuh jadi ngerasa ... seneng. Enggak tahu kenapa ya, Gal, walaupun ini obrolan panjang pertama gue sama Kinan tapi gue udah ngerasa seseneng itu karena bisa lihat Kinan ngobrol dengan nyaman tanpa ngerasa takut di deket gue. Gue juga enjoy dan seneng banget karena obrolan kita nyambung dan ternyata dia anaknya asik walaupun masih kaku. Terus sebelum gue berangkat ke sekolah gue bilang ke dia kalo misalnya besok-besok dia mau sarapan lagi bisa sama gue aja asal dia nggak sendirian.
“Gara-gara itu gue jadi ngerasa makin seneng, dan itu yang ngebikin gue jadi banyak senyum hari ini. Karena tiap ingat kejadian tadi pagi tuh gue bawaannya seneng aja dan terus-terusan pingin senyum. Jadi, itu alasan dari semua keanehan gue di hari ini.”
Abima menutup ceritanya dengan embusan napas lega, tidak menyangka bahwa dirinya bisa menyelesaikan cerita ini dengan lengkap dan orang yang dia ajak bercerita adalah Galih. Sepertinya karena Abima sangat mempercayai Galih, maka dari itu dia tidak masalah menceritakan permasalahan ini kepada laki-laki itu.
Namun jujur saja, Abima merasa begitu lega karena sudah membagi ceritanya kepada Galih, daripada dia harus menyimpan cerita ini sendirian dan kebingungan karena tingkahnya yang aneh. Jadi, memang lebih baik Abima menceritakannya kepada orang lain.
“Hmmm.” Dehaman itu menjadi respon pertama yang Galih keluarkan kala Abima menyelesaikan ceritanya. “Kalo gue tebak, sebenarnya lo ini lagi jatuh cinta.”
Galih langsung mendapat toyoran keras untuk kedua kalinya dari Abima. “Ngaco lo!” kata Abima kesal karena Galih mengatakan hal semacam itu, padahal bukan itu yang sebenarnya Abima rasakan, sahabatnya itu memang suka sekali mengada-ada untuk urusan seperti ini.
“Kan udah gue bilang perasaan senang ini ada karena gue ngerasa bangga bisa bikin Kinan nyaman sama gue, gue tuh seneng bisa lihat dia akhirnya ngobrol dengan nyaman tanpa harus takut sama anak asrama yang lain—termasuk gue. Gue bahkan enggak ada kepikiran sedikitpun soal romansa, tapi lo malah mikir ke sana. Nyesel deh gue cerita sama lo, Lih,” Abima menjelaskan panjang lebar, dia benar-benar tidak ingin ada kesalahpahaman yang muncul hanya karena ceritanya ini, walaupun dari pemikiran Galih yang menurutnya tidak penting sekalipun.
Abima hanya merasa bahwa dirinya harus meluruskan apa yang sebenarnya terjadi.
Sedangkan Galih yang mendapatkan toyoran langsung mengusap-usap kepalanya dengan dramatis, mengeluarkan ekspresi bahwa dia sangat kesakitan, dengan bersungut-sungut laki-laki itu mengatakan, “Kalo memang nggak bener ya jangan ditoyor dong guenya! Sakit nih, kepala gue!”
“Maaf,” jawab Abima singkat, tidak merasa bersalah sama sekali.
Galih mendengus, tapi dia tetap kembali membawa dirinya untuk bersikap serius. “Oke, jadi sekarang gimana? Gue tahu lo cerita kayak gini bukan semata-mata karena pingin gue dengar doang, lo pasti butuh saran atau apa pun itu yang mau lo minta dari gue kan?”
Galih memang temannya, laki-laki itu bisa dengan cepat mengerti tanpa harus Abima jelaskan lebih dahulu.
“Gue nggak tahu saran lo akan berguna atau enggak nantinya, tapi menurut lo apa tindakan gue tadi pagi itu udah bener? Karena gue ngerasa gue terlalu berlebihan dalam hal dekatin Kinan. Kalo aja lo punya saran hal lain yang bisa gue lakuin biar Kinan nyaman sama gue, bilang aja, Lih.”
“Oke kalo gitu, sekarang dengarin gue baik-baik karena gue bakalan kasih saran terbaik buat lo.”
Abima tak yakin saran dari Galih akan berhasil atau tidak, tapi tidak ada salahnya untuk mendengarkan lebih dahulu.