66. Sarapan Bersama Abima

3011 Kata
Kinan berjalan menuju dispenser untuk mengisi botol minumnya sebelum bergabung bersama Abima di meja makan. Dia merasa senang entah karena alasan apa, apakah mungkin rasa senang ini datang karena pada akhirnya Kinan berhasil membangun hubungan yang lebih dekat dengan para penghuni asrama yang lain? Meskipun baru kepada Abima saja, tapi Kinan sudah merasa sesenang ini, apalagi jika dia berhasil dekat dengan semua penghuni asrama yang lain? Pasti rasanya akan lebih menyenangkan, pikir Kinan. Gadis itu tentu tidak akan perlu ragu lagi jika ingin melakukan apa pun yang dirinya inginkan. Abima sendiri kini tengah menyendok nasi goreng buatannya untuk diletakkan ke dua piring untuknya juga untuk Kinan. Laki-laki itu juga merasakan perasaan senang yang sama seperti apa yang Kinan rasakan, namun bedanya Abima lebih merasa bangga kepada dirinya karena berhasil melakukan tahap satu dalam pendekatan ini. Anjar harus tahu tentang ini, kakak tertua dalam asrama putra itu pasti akan memuji Abima setelahnya! ‘Pulang sekolah nanti gue harus cerita sama Kak Anjar tentang kejadian ini, dia pasti seneng karena praduganya bener, gue akhirnya bisa ngajak Kinan sarapan bareng!’ batin Abima berteriak kegirangan. Namun, tentu Abima melakukan ini bukan semata-mata karena dia ingin mendapatkan pujian saja. Laki-laki itu hanya ingin membuktikan bahwa dia memang bisa melakukan apa yang Anjar minta kepadanya, meskipun pada awalnya Abima sempat menolak dan tak yakin akan hal itu, tapi pada akhirnya lihatlah sendiri, dia justru berhasil mengajak Kinan untuk makan bersamanya. Tentu saja ini baru permulaan, Abima akan berusaha untuk mendekat kepada Kinan pada pendekatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Dan akan Abima pastikan bahwa dalam beberapa waktu ke depan Kinan akan bisa berubah menjadi lebih terbuka kepadanya juga kepada anak-anak lainnya. Setelah botolnya terisi penuh, Kinan akhirnya menghampiri Abima di meja makan dan mengambil tempat duduk tepat di samping laki-laki itu. Untuk saat ini mereka masih belum memikirkan bagaimana posisi duduk ternyaman agar bisa melihat satu sama lain, sekarang yang keduanya pikirkan hanyalah kesuksesan untuk makan bersama, di satu meja yang sama, pada jam yang sama, merealisasikan bahwa mereka tidak sendirian pagi ini. Jadi, keduanya tidak perlu repot-repot untuk mengatur tempat duduk harus bersampingan atau justru berhadapan karena kedua posisi itu masih sama saja bagi mereka berdua, tidak ada yang berbeda dan tidak perlu terlalu dipikirkan. “Makasih,” ucap Kinan tulus begitu Abima memberikan piring berisi nasi goreng untuknya. “Iya, sama-sama. Selamat makan,” balas laki-laki itu ramah dan Kinan langsung mengangguk. Dua manusia berbeda jenis itu akhirnya makan dengan tenang, selama beberapa menit tidak ada yang bersuara di antara mereka, hanya ada bunyi yang beradu antara piring dan juga sendok yang mereka gunakan untuk sarapan di pagi itu. Sebetulnya, dari gerak-gerik yang terlihat saja sudah bisa dipastikan bahwa sebenarnya mereka berdua masih cukup canggung antara satu sama lain. Di pihak sang gadis yang kentara sekali terlihat bahwa ada kecanggungan tetapi dia masih mencoba bersikap normal dan berusaha untuk tidak memperlihatkan kecanggungan tersebut, terlihat sekali bahwa dia sedang berusaha menepati janji yang sudah dirinya buat semalam. Namun dari pihak si laki-laki, jika diperhatikan lebih jelas sebenarnya sejak tadi Abima sudah curi-curi pandang selama beberapa kali ke arah Kinan. Dia juga memang masih merasa canggung, tapi keinginan untuk membuat suasana ini mencair lebih besar daripada kecanggungan tersebut. Abima hanya sedang menunggu waktu yang pas untuk membuka pembicaraan di antara mereka, sebab Abima tahu jika bukan dia yang memulai maka tidak akan ada pembicaraan lain di pagi ini hingga sarapan mereka habis. Kinan sendiri memang tidak akan memulai pembicaraan karena gadis itu tidak tahu harus membahas apa kepada Abima. Untuk seseorang yang belum pernah memiliki teman dekat sebelumnya, Kinan tentu tidak tahu apa saja yang harus dikatakan kepada lawan bicaranya tersebut. Maka dari itu sang gadis lebih memilih untuk diam dalam keheningan yang ada di antara mereka. Sedangkan Abima sendiri memang sudah bersiap untuk mengajak gadis itu mengobrol lebih jauh agar keadaan di sekitar mereka tidak akan sediam ini. Lagipula Abima memang harus banyak-banyak mengajak Kinan berbicara agar gadis itu merasa lebih nyaman berada di dekatnya, komunikasi itu sangat penting dalam sebuah pendekatan, jika tidak ada komunikasi maka pendekatan itu bisa saja berakhir. Maka dari itu Abima ingin mencoba sebisanya. Masalahnya, sejak tadi laki-laki itu masih merasa maju mundur untuk mengajak Kinan bicara. Alasannya sederhana, dia masih takut bahwa Kinan merasa tak nyaman. Namun, jika tidak dipaksakan maka ini semua tidak akan berhasil bukan? “Kinan kalo seandainya gue mau ngajak lo ngobrol sambil makan, lo keberatan nggak?” Akhirnya Abima mengeluarkan pertanyaan pertamanya dalam bentuk izin agar Kinan merasa nyaman. Ada jeda selama beberapa detik, sebab Kinan tidak langsung menjawab pertanyaan Abima karena sekarang kepalanya tengah memikirkan tindakan laki-laki itu yang terkesan lebih hati-hati daripada anak-anak yang lain. Ini adalah pertama kalinya ada anak asrama yang ingin mengajaknya bicara namun meminta izin lebih dahulu, kebanyakan dari mereka langsung berbicara saja tanpa harus izin kepada Kinan. Tapi ... ternyata laki-laki di sampingnya ini cukup berbeda ya? Jujur saja Kinan sempat terkesan ketika menyadari itu. Dia senang karena Abima memiliki sopan santun yang baik. “Enggak kok,” jawab Kinan ramah. “Di rumah gue nggak menetapkan aturan buat diam selama makan. Gue juga sering ngobrol sama orangtua gue kalo makan, jadi enggak masalah,” lanjutnya lebih panjang. Kinan tiba-tiba merasa heran sendiri mengapa dia bisa mengatakan semua itu dengan lancar tanpa hambatan dan yang lebih penting adalah mengapa Kinan merasa nyaman-nyaman saja berbicara dengan laki-laki ini? “Kalo seandainya nanti pertanyaan gue ada yang terlalu privacy buat lo nggak perlu dijawab ya. Gue cuma mau ngobrol sama lo dengan nyaman aja, jadi jangan terlalu maksain buat jawab kalo seandainya lo memang nggak mau jawab itu,” ujar Abima untuk mengingatkan. Kinan mengangguk, dia makin senang dengan cara laki-laki ini mendekat padanya. “Oke, kalo privacy nanti enggak akan gue jawab.” Abima tersenyum kecil, lantas menghabisi nasi goreng yang baru saja dia kunyah sebelum akhirnya bersuara lagi. “Gue tuh ya sebenernya dari awal waktu lo dateng ke asrama udah mau ngajakin kenalan, cuma sayang banget waktu itu gue lagi pulang ke Bandung, jadi kita ketemunya telat deh. Kayaknya dari semua anak asrama cuma gue ya yang jarang ketemu sama lo?” “Lo sama Kak Tara sih lebih tepatnya,” jawab Kinan. “Kalo anak-anak putra gue lebih sering ketemu sama Kak Anjar, sisanya ketemu kayak biasa, cuma lo sama Kak Tara yang agak jarang gue lihat.” “Padahal gue lebih sering di asrama,” balas Abima sambil memanyunkan bibirnya, tapi hanya beberapa detik saja karena ekspresinya sudah kembali lagi. “Cuma kalo Kak Tara jangan heran sih soalnya dia memang lagi sibuk banget, makanya susah banget ditemuin.” “Kak Tara tuh ... kuliah?” tanya Kinan bingung. “Ah, iya!” Abima menepuk tangannya sekali. “Lo pasti belum tahu banyak ya soal kehidupan anak-anak putra? Kalo belum gue jelasin deh!” kata laki-laki itu dengan bersemangat. Abima memang selalu senang jika harus mendeskripsikan tentang anak-anak asramanya entah kenapa siapapun itu. Anak-anak Asrama Kartapati sudah seperti keluarganya sendiri, sebab Abima tidak memiliki siapapun lagi di sini selain mereka, yang tersisa hanya paman dan bibinya—mereka pun tinggal di kota yang berbeda. Maka dari itu Abima sangat senang jika harus menjelaskan tentang mereka kepada orang lain, rasanya seperti Abima bisa menjelaskan dengan bangga dengan siapa saja dia tinggal. “Iya, Bim. Gue cuma tahu tentang anak-anak putri aja, cuma belum terlalu kenal banget sama anak putra. Sebenernya waktu itu Kak Anjar udah jelasin, tapi maaf banget karena waktu itu gue masih nggak nyaman dan cukup kebingungan jadi gue nggak dengarin dengan jelas waktu itu tentang apa yang dia bilang.” Abima menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi. “Kalo sekarang berarti lo udah nyaman dong ya ngobrol sama gue?” tanya Abima sambil tertawa kecil, bermaksud sedikit meledek agar pembicaraan mereka terasa lebih menyenangkan. Kinan pun tertawa saja mendengar itu. Jika harus dijawab jujur, Kinan akan menjawab bahwa dia sudah cukup nyaman berbicara dengan laki-laki ini walaupun tidak sepenuhnya. “Oke, gue jelasin deh,” putus Abima akhirnya. Laki-laki itu sampai memutar sedikit tubuhnya agar bisa menghadap langsung ke arah Kinan di sampingnya. “Lo pasti udah tahu kalo Kak Anjar cowok paling tua di asrama putra, dia lebih muda satu tahun dari Kak Cya, sekarang masih kuliah tapi udah di ujung tuh tinggal semester akhir dan sekarang dia lagi sibuk buat ngerjain skripsinya biar bisa cepet lulus. Kalo lo udah ngobrol sama Kak Anjar pasti lo sadar kalo Kak Anjar itu orang yang paling friendly sama yang lain dan juga paling cepat berbaur sama anak baru. Dia orangnya nggak pernah malu-malu, dan kalo seandainya lo lihat dia berantem sama Kak Rea, mohon dimaklumi aja karena itu semua bercanda dan mereka memang udah biasa kayak gitu sejak beberapa tahun lalu. “Oh, iya Kak Anjar itu orang pertama yang masuk ke Asrama Kartapati, terus dilanjut sama gue dan baru Kak Rea, abis itu baru deh satu per satu anak asrama datang ke sini sampai akhirnya Asrama Kartapati penuh. Ada juga beberapa penghuni yang udah pergi karena masa kontraknya habis dan kayak lo gini cuma tinggal beberapa bulan aja karena nggak ada rencana kegiatan dalam jangka panjang.” Abima selesai mendeskripsikan soal Anjar dan beberapa hal penting tentangnya dan juga tentang Asrama Kartapati, selama mendengarkan Kinan hanya menatap Abima dengan serius tanda bahwa dia benar-benar mendengarkan laki-laki itu dan sesekali mengangguk kecil. “Kemarin gue ketemu sama Kak Anjar, gue pikir semua anak asrama yang lain pergi karena kalian semua pasti punya kegiatan masing-masing kan, tapi ternyata Kak Anjar ada di asrama dan gue nggak sengaja ketemu dia waktu siang.” “Kak Anjar juga cerita sama gue kemarin kalo dia ketemu lo.” “Lho, dia cerita?” Kinan membeo’ kaget. Abima tertawa kecil, dia ingin menggoda Kinan dan melihat bagaimana respon gadis itu dalam menanggapinya, semoga saja bukan respon yang buruk. “Iya, Kak Anjar cerita. Dia bahkan bilang kalo kemarin lo kayak takut gitu buat jawab pertanyaan dia, lo juga nolak waktu diajak ke dapur buat ngobrol lagi.” Untung saja ekspresi Kinan tidak langsung berubah murung karena mendengar itu, alih-alih murung sang gadis malah cemberut dengan begitu lucu. “Ya, maaf ... gue masih belum terbiasa ngobrol sama anak putra makanya gue jadi kelihatan nggak nyaman banget. Tolong sampein maaf gue ke Kak Anjar ya, Bim. Maksud gue sebenernya bukan kayak gitu kok, gue beneran mau dekat sama kalian cuma tuh masih susah buat gue karena gue nggak pernah punya teman dekat sebelumnya.” “Eh, eh, kok mendadak sedih. Gue nggak bermaksud—” “Enggak apa-apa, gue juga paham kok,” jawab Kinan cepat. Abima jadi terdiam, dia merasa bersalah karena mengangkat topik itu yang sepertinya menjadi topik yang sangat sensitif untuk gadis itu. Tapi, karena tak mau membuat suasana di antara mereka jadi merenggang lagi setelah tadi sudah cukup baik-baik saja, akhirnya Abima kembali memutar otak untuk mencari topik lain yang bisa dia bahas bersama Kinan dan tidak membuat gadis itu jadi merasa sedih. “Eh, lo tuh asalnya dari Bandung, ‘kan?” tanya Abima tiba-tiba. Kinan mengangguk kecil. “Lo juga kemarin pulang ke Bandung?” “Iya, ternyata kota lahir kita sama, hehehe.” Abima tertawa kecil, Kinan juga ikut tertawa padahal tidak ada yang lucu dari percakapan itu. Tidak terasa bahwa selama mereka mengobrol keduanya juga tidak sadar bahwa piring mereka berdua sudah sama-sama kosong entah sejak kapan, berbicara sembari makan memang hal yang paling tepat untuk dilakukan jika tidak ingin sadar kapan kita menghabiskan makanan tersebut. Padahal sejak tadi Abima yang banyak bicara, tapi laki-laki itu juga sudah berhasil menyelesaikan makanannya dengan sangat cepat. Karena terlalu asik mengobrol, Abima dan Kinan jadi lupa waktu dan tidak mempedulikan apa yang ada di sekitar mereka saat ini. Abima melirik jam tangannya, sudah hampir jam enam dan dia harus berangkat sekarang. “Eh, gue harus berangkat sekarang nih. Kayaknya obrolan ini harus kita lanjut besok lagi,” kata laki-laki itu seraya bangkit untuk menaruh piringnya di tempat cuci piring. Abima juga sekalian membawa piring milik Kinan walaupun gadis itu sudah berkata tidak dengan tatapan matanya, tapi Abima menghiraukan itu. “Bukannya ini baru jam enam? Gue nggak tahu sih sekolah umum tuh masuk jam berapa, tapi gue selalu lihat Bella, Bintang sama Rashi berangkat lebih siang. Kenapa lo pergi sepagi ini?” Sebetulnya pertanyaan ini ingin sekali Kinan ajukan sejak kemarin, dia cukup kaget melihat Abima yang sudah serapi ini pagi-pagi sekali. Karena sekarang sedang bersama laki-laki itu maka tak ada salahnya jika Kinan melontarkan tanya itu secara langsung agar dia juga bisa mendapatkan jawaban secara langsung dari si empunya nama. “Enggak ada alasan khusus sih, Kinan. Gue cuma udah terbiasa aja buat berangkat sepagi ini sejak dulu? Tapi enggak setiap harinya gue berangkat pagi kok, kadang kalo lagi males juga gue berangkat siang,” jawab Abima. “Berarti lo lebih sering rajin daripada malesnya ya?” tanya Kinan dengan nada sarkastik, tentu saja dia bercanda mengatakan itu. Namun entah mengapa rasanya menyenangkan karena Kinan bisa berkata seperti itu dengan bebas tanpa harus memikirkannya lebih dahulu. Abima langsung terbahak mendengarnya. Dia kembali berjalan mendekati gadis itu karena tas sekolahnya juga berada di dekat sana. “Gue enggak serajin yang lo pikir.” “Padahal gue lagi nggak mikirin apa-apa,” jawab Kinan. Abima tertawa lagi—wah ternyata gadis ini bisa melucu juga ya? pikirnya. “Ya, apa pun itu, pokoknya gue nggak rajin-rajin banget kok, cuma memang udah kebiasaan aja.” Kinan mengangguk dan tidak menjawab lagi, dia memberikan kesempatan bagi Abima untuk merapikan seragamnya. Sejak tadi kedua bagian lengannya dia gulung hampir mencapai siku, sebab Abima harus memasak dan sekarang laki-laki itu tengah membenarkannya agar rapi kembali. Kinan tidak mengatakan apa-apa dan hanya memperhatikan saja dalam diamnya. Walaupun tidak ada yang bersuara, tapi ketika Abima secara tak sengaja menatap gadis itu juga, anehnya Kinan tidak membuang pandangannya dan tetap memperhatikan laki-laki itu. Jadi, Abima hanya menyunggingkan senyum kecil untuknya yang langsung dibalas oleh Kinan dengan senyum yang sama. Tindakan yang terjadi sangat sederhana, tapi entah mengapa keduanya baik-baik saja dengan hal itu. Ketika Abima sudah berhasil merapikan seragamnya dan mengecek seluruh perlengkapannya untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Laki-laki itu pun segera menyampirkan tas ke punggung dan mengambil kunci motornya. “Abima?” panggil Kinan sebelum laki-laki itu melontarkan kata pamit kepadanya. “Iya?” “Lain kali lo boleh panggil gue ‘Ki’ aja kalo seandainya nama Kinan terlalu panjang buat lo sebut.” Kinan tahu bahwa informasi yang dia sampaikan tidak begitu penting, gadis itu bisa saja mengatakannya jika mereka bertemu lagi atau bisa juga besok. Tapi entah mengapa gadis itu ingin mengatakannya saja sekarang. Abima mengulum senyumnya. “Kinan?” laki-laki itu memanggil balik. “Ya?” “Lo juga boleh panggil gue ‘Abim’ aja kalo nama Abima kepanjangan buat lo sebut.” Kemudian mereka berdua tertawa bersama-sama. “Udah sana pergi,” usir Kinan cepat karena entah alasan apa dirinya jadi merasa malu. Abima masih tertawa di tempatnya berdiri saat ini, dia melihat ke arah Kinan yang kini sudah berbalik hendak mendekat lagi ke arah cucian piring, sepertinya gadis itu ingin mencuci piring bekas makan mereka. Abima tersenyum melihat itu, ternyata Kinan juga bisa dengan cepat berbaur seperti yang lain, ketika ada satu orang yang memasak maka orang lain harus mencuci piringnya tanpa harus diperintahkan lebih dahulu, seperti sudah menjadi kesadaran diri masing-masing saja. “Kinan?” Abima memanggil lagi untuk kedua kalinya. Kinan sempat terkejut dan langsung menoleh ke belakang. “Gue pikir lo udah pergi?” Lalu dia melihat Abima menggeleng. “Kenapa?” tanya Kinan lagi. “Ki,” Abima malah memanggilnya lagi. “Kenapa deh, Bim?” Senyum Abima melebar. “Enggak apa-apa sih, cuma mau coba panggil pake nama itu aja.” Kinan mendengus dan memutar kedua bola matanya. “Lo aneh,” katanya. Kini gadis itu tidak lagi menatap ke arah Abima melainkan kembali fokus pada cucian piringnya, dia sudah pada tahap membasahi busa. Namun dua menit berlalu Kinan tidak mendengar suara apa pun lagi, dia pikir Abima sudah benar-benar pergi, tapi ketika Kinan menoleh untuk memastikan ternyata laki-laki itu masih berdiri di tempat yang sama sembari memperhatikan Kinan dengan senyum lebarnya. “Kenapa sih, Abima?” gadis itu geram, namun juga merasa malu di saat bersamaan karena laki-laki itu tak juga kunjung beranjak dari tempatnya dan masih memperhatikan Kinan dengan senyumnya. “Kenapa lo masih di sini? Kenapa lo ngelihatin gue? Katanya mau ke sekolah?” “Nanti ngobrol sama gue lagi ya? Soalnya gue belum selesai nih jelasin satu per satu tentang anak-anak asrama putra,” kata Abima mengangkat salah satu topik pembicaraan mereka tadi. Kinan tertawa, dia baru ingat kalau Abima hanya menjelaskan tentang Anjar saja dan setelahnya pembicaraan mereka justru beralih ke topik lain padahal laki-laki itu belum menjelaskan tentang sosok yang lainnya. “Oke, nanti kita ngobrol lagi.” “Ki, ini terakhir deh gue janji!” Abima memanggilnya lagi. Kinan yang baru saja ingin berbalik pun menghela napas dengan senyum terpaksanya, lama-lama kesal juga, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Kinan cukup tertarik dengan tarik-ulur seperti ini. “Iya, kenapa lagi, Abima?” tanya gadis itu dengan seluruh kesabaran yang tersisa. Abima nyengir lebar lebih dulu sebelum akhirnya laki-laki itu berkata, “besok-besok kalo lo mau sarapan bareng gue aja ya? Jangan sendirian lagi, gue tiap pagi pasti sarapan kok di jam yang sama, jadi lo jangan makan sendirian. Bareng aja sama gue, gue seneng kalo lo mau sarapan bareng gue. Oke, Kinan? Kalo gitu gue berangkat dulu ya! Jangan lupa cuci piringnya yang bersih!” Abima melambaikan tangannya dengan bersemangat kemudian segera pergi dari hadapan Kinan tanpa menunggu gadis itu menjawab perkataannya, Abima terlalu malu untuk mendengar jawaban Kinan karena ketika bicara pun laki-laki itu sudah mengumpulkan semua keberaniannya. Melihat Abima yang langsung pergi begitu saja tanpa sempat Kinan menjawabnya membuat gadis itu hanya bisa tersenyum kecil. Kalimat terakhir Abima berputar-putar di dalam kepalanya dan entah mengapa membuat Kinan merasa senang ketika mendengarnya. Laki-laki itu menawarkan Kinan untuk sarapan bersama agar besok-besok Kinan tidak perlu sarapan sendirian lagi. Jujur saja, saat ini Kinan merasa sangat terharu dan senang karena mengawali paginya bersama laki-laki itu—Kelana Abimanyu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN