Pulang ke kampung halaman, Abima sudah merencanakan banyak hal yang bisa ia lakukan bersama Galih setelah mereka memperingati hari kematian orangtua Abima. Tetapi semua agenda mereka sudah diputuskan oleh Abima untuk dibatalkan saja. Galih sampai tidak enak sendiri dengan Abima karena ia tahu niat baik Abima ingin mengajak Galih jalan-jalan. Tapi mau bagaimana lagi? Galih sangat mengkhawatirkan keadaan neneknya yang sedang kritis. Bagaimana Galih bisa tenang di Bandung dan menikmati momen jalan-jalan bersama Abima jika di sana neneknya sedang berjuang melawan masa kritis? Kalau-kalau ada situasi yang tidak pernah bisa ia tebak, seperti kepulangan neneknya di sisi Tuhan, sementara Galih bersenang-senang, ia akan lebih menyesal karena tidak bisa menemani neneknya untuk napas terakhirnya.
“Gue beneran nggak enak sama lo Abim,” cicit Galih yang sedang berjalan di sisi Abima sambil menunduk ke bawah, menatap sepasang sepatunya. Abima masih belum menjawab, ia menatap Galih dari samping dan mendengar kembali apa yang ingin dikatakan oleh temannya ini. “Padahal kita udah bahas mau ngapain aja di sini,” tambahnya lagi dengan nada bimbang.
Tangan Abima menepuk pelan bahu Galih sebelum mengatakan sesuatu. “Lih, nggak usah gitu. Namanya juga musibah, kita nggak ada yang tahu kalau rencana bakalan bisa berubah sewaktu-waktu karena kita cuma manusia biasa.” Abima menjawab sambil menenangkan Galih sebelum mereka masuk ke dalam area pemakaman setelah memarkirkan mobilnya. Keduanya juga mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam sebagai bentuk peringatan hari kematian.
Galih mengangguk paham, walaupun wajahnya masih terlihat lesu.
“Udah ah, lo nggak usah sedih gitu soal rencana kita di sini. Liburannya bisa kapan-kapan lagi deh kalau emang lo mau balik hari ini juga. Liat cewek-cewek Bandungnya juga udah kan di jalanan buat cuci mata? Gue mau lo tetep semangat doain nenek lo biar dia bisa bertahan dan lewatin masa kritisnya,” ucap Abima yang selalu bisa menenangkan keadaan walaupun ia sedang merasakan kesedihan karena saat ini ia akan melihat makam orangtuanya.
“Hahaha, bisa aja lo. Eh, di sana ya makam orangtua lo? Ini buket bunganya masih aman dan wangi, sekarang kita doain orangtua lo aja karena kita udah di sini, jadi jangan mikirin aku dulu,” sungut Galih seraya melewati beberapa pemakaman dan akhirnya mereka berdua menemukan makam orangtua Abima yang terawat dengan rapi dan bersih.
Abima senang melihatnya, ia tak sia-sia membayar petugas kebersihan di sini setiap bulannya agar mereka rajin membersihkan setiap hari. Rumah peristirahatan mereka tidak boleh kotor. “Assalamualaikum Ibu, Ayah. Abim dateng nih sama teman Abim si Galih.” Abima yang masih berdiri di hadapan makam kedua orangtuanya memberikan sapaan, sementara Galih di sisinya tersenyum seakan-akan ikut menyapa penghuni makam ini.
Begitu Abima berusaha duduk dengan posisi jongkok sambil menaruh buket bunga mawar merah serta putih yang ia beli di perjalanan tadi, karena setiap berkunjung ke sini dan semenjak orangtuanya meninggal, bunga itulah yang selalu Abima gunakan sebagai lambang bahwa ia sangat sedih atas kepergian mereka, tetapi ia juga harus melanjutkan kehidupan keras di dunia ini dengan keberanian walaupun tanpa bimbingan dari kedua orangtuanya.
“Ibu, Ayah, Abim kangen sama kalian,” tutur Abima seraya mengusap batu nisan yang terukir nama ibunya, sementara di sisi makam ibunya adalah makam ayahnya. “Maaf kalau Abim baru sempat datang ke sini,” katanya lagi.
Galih tidak banyak berkata-kata karena seperti biasa saat ia menemani Abima berkunjung, hanya bisa duduk di sisinya sambil mendengarkan apa yang dikatakan Abima untuk kedua orangtuanya.
“Dua bulan kemarin Abim sibuk mempersiapkan ujian buat kenaikan kelas sebelas, makanya baru sempat dateng. Kalian nggak marah, kan?”
“Enggak Abim, mereka bangga pasti sama lo,” sahut Galih seraya menambahkan senyuman lebarnya.
Abima terkekeh pelan, ia sempat melirik Galih sebelum kembali menatap ke batu nisannya. “Abim minta doanya ya, Ibu, Ayah, buat kelancaran sekolah Abim. Janji deh bakalan bikin kalian bangga, Abim bakalan jadi orang sukses. Bakalan jadi orang yang nggak pantang menyerah seperti Ayah. Terus nanti nyari cewek yang sabar dan baik hati kayak Ibu. Pokoknya Abim sayang banget sama kalian. Abim masih nggak nyangka kalau kita nggak punya banyak waktu buat bersama. Kalian nggak bisa melihat pertumbuhan Abim yang udah dewasa ini.”
Banyak hal yang Abima sampaikan kepada kedua orangtuanya, seperti biasa setiap datang ke makam, Abima menunjukkan sisi aslinya yang rapuh dan rasanya ingin sekali bisa mendengar tanggapan kedua orangtuanya setelah ia menceritakan setiap perjalanan hidupnya, setiap pertumbuhan kedewasaannya.
“Kalau boleh jujur, kalian pasti bosen dengerin ocehan Abim, ya? Dengerin Abim ngeluh kalau Tuhan terlalu cepat ngambil kalian dari Abim. Bahkan Abim selalu iri kalau lihat anak-anak di sana yang dapat perhatian dari orangtua lengkapnya. Tapi makasih udah lahirin Abim, dan Abim nggak pernah menyesal punya orangtua seperti kalian walaupun perpisahan kita terjadi saat Abim masih kecil. Setidaknya Abim tahu gimana wajah orangtua Abim. Masih bersyukur karena kalian udah pernah ngerawat Abim dengan baik. Daripada Abim nggak pernah tahu dan lihat orangtua Abim seperti apa? Lebih baik Abim mensyukuri garis takdir yang udah dibuat sama Tuhan.”
Setelah banyak hal yang Abima sampaikan kepada kedua orangtuanya, kedua cowok berbaju hitam itu segera memanjatkan doa untuk mereka dan untuk seluruh ahli kubur di sini agar mereka dapat beristirahat dengan tenang.
“Abim pamit, ya. Kalau Abim ada waktu, liburan pasti ke sini sama Galih. Bahagia selalu di sana Ibu, Ayah.”
“Pulang dulu Paman, Bibi,” Galih juga ikut pamit, sebelum akhirnya ikut berdiri bersama Abima, lalu mereka benar-benar meninggalkan pemakaman ini.
Mereka segera berjalan keluar area pemakaman untuk mencari angkutan umum yang langsung bisa membawa keduanya untuk kembali ke rumah Abima. Untung saja keadaan masih pagi sehingga tidak sulit bagi keduanya untuk bisa menemukan kendaraan umum tersebut, walaupun banyak diisi oleh kaum Ibu-Ibu tapi hal itu tidak membuat Abima dan Galih justru mundur, mereka akan tetap menaiki angkutan umum sesuai dengan berangkatnya mereka tadi.
“Gimana? Jadi pulang sekarang kan kita?” tanya Abima kepada Galih.
“Beneran lo ikut balik sama gue? Nggak mau di sini dulu?” Galih malah balik bertanya.
“Enggak, kita berangkat bareng, pulang ya harus bareng lah.” Abima menoleh ke sampingnya, ke arah Galih. Sang supir pun sudah melajukan mobilnya membawa mereka dalam perjalanan menuju kepulangan.
“Oke kalau gitu, gue minta maaf lagi kalau ngacauin rencana kita.”
“Sumpah, gue suruh lo turun Lih kalau minta maaf mulu dari tadi!” Abima berdecak kesal. Sementara Galih tertawa pelan.
“Gue sebenarnya sayang banget udah di sini tapi nggak bisa nikmatin keindahan Bandung. Gue kangen banget sama kota ini, tapi mau gimana dong kalau gue harus nemenin Nenek. Gue harus ada di sampingnya,” tutur Galih seraya menatap Abima. Bisingnya jalan raya tidak membuat mereka berdua kesulitan untuk berbincang-bincang.
“Nenek lo lebih penting daripada liburan kita. Kalau lo kehilangan dia, lo bakalan nyesel. Tapi kalau lo batal nikmatin liburan kita kali ini, lo masih bisa rencanain lain waktu lagi bareng gue karena Bandung tetap di sini, nggak bakalan ke mana-mana.”