Beberapa jam sebelumnya Abima dan Galih sudah menghabiskan waktu mereka dengan berjalan-jalan sebentar di sekitar kompleks perumahan lama Abima. Laki-laki itu banyak mengenalkan berbagai tempat kepada Galih yang katanya sering dia datangi ketika masa kecilnya dulu.
Abima bahkan masih ingat dengan nama pemilik toko kelontong di ujung gang rumahnya. Walaupun dia sudah lama tidak datang kemari dan bisa dibilang juga bahwa Abima sudah lama meninggalkan kota ini, tetapi dia tetap memiliki ingatan yang tajam untuk setiap hal yang tertinggal di kota lahirnya tersebut.
Tentu saja Abima tidak akan semudah itu melupakan semua kenangan yang pernah terjadi dalam masa kecilnya beberapa tahun lalu. Ada banyak sekali kenangan yang lebih baik dikenang daripada harus dilupakan, lagipula Abima juga tidak memiliki niat untuk melupakan semua itu. Dia senang mengenang sesuatu yang dapat membuatnya merasa lebih baik.
Padahal Galih tidak berasal dari Bandung dan ini juga adalah kunjungan pertamanya ke kota ini. Namun, setelah mendengar semua penjelasan yang telah Abima berikan kepadanya, Galih jadi hapal dengan komplek ini seolah-olah dirinya juga berasal dari kota dan komplek yang sama. Abima sungguh menjelaskan dengan sangat teliti, dia memberitahukan semuanya kepada Galih tanpa ada yang terlewat.
Jujur saja, sebenarnya Galih sangat takjub dengan sahabatnya itu. Di dalam kepalanya itu sepertinya terdapat sebuah perpustakaan besar yang membuatnya jadi sangat mudah untuk mengingat banyak hal dan juga tidak cepat melupakannya. Galih pikir Abima itu hanya pintar ketika di sekolah saja, dia termasuk siswa nomor satu yang paling cepat menghapal di kelasnya, jadi seluruh siswa di kelas itu tidak akan heran jika seandainya Abima akan maju duluan untuk tugas menghapal dadakan, sebab laki-laki itu memang selalu bisa melakukannya.
Kemampuannya dalam menghapal memang sangatlah berbeda dengan level kebanyakan orang. Sudah banyak orang yang mengakuinya termasuk juga dengan Galih dan teman-teman sekelasnya yang lain.
Akan tetapi, sekarang Galih benar-benar dibuat sangat terkejut oleh kemampuannya itu. Tidak heran lagi sih, Abima memang sering sekali mengejutkan Galih. Namun, untuk yang satu ini. Bagaimana bisa seseorang masih mengingat dengan jelas setiap detail kompleks perumahan yang sudah tidak dia tinggali selama bertahun-tahun?
Abima memang belum terhitung belasan tahun merantau ke Jakarta, tapi untuk hitungan lebih dari lima tahun saja sudah cukup lama menurut Galih. Kemudian Abima yang sudah meninggalkan kotanya ini lebih dari lima tahun masih bisa mengingat jelas setiap tempat di lingkungan ini.
“Abim, gue mau tanya deh sama lo,” ujar Galih pada perjalanan pulang mereka di waktu itu, setelah selesai berkeliling lingkungan hanya untuk mengabsen satu per satu pemilik rumah dan apa saja pekerjaan mereka.
“Apa tuh?” tanya balik Abima.
“Kenapa lo bisa ingat semua hal tentang kompleks ini di saat lo sendiri udah lama banget nggak tinggal di sini? Bahkan udah hitungan tahun lo tinggal di Jakarta dan ninggalin Bandung, tapi kenapa lo masih ingat segala hal tentang Bandung?” Galih sungguh penasaran, jika dia tidak penasaran maka dirinya tidak akan menanyakan hal tersebut kepada Abima.
“Gue nggak pernah ninggalin Bandung,” jawab Abima, tatapannya lurus ke depan dan menerawang semua hal yang sudah dia lihat sebelumnya. Mengingat kembali tentang sosok kecilnya yang pernah berlari dari rumah menuju toko di ujung jalan hanya untuk membeli satu buah es krim. Hal-hal semacam itu tidak pernah hilang dalam ingatan Abima. “Gue mungkin memang pindah ke Jakarta, tapi gue nggak pernah merasa meninggalkan Bandung. Gue cuma pindah, tapi semua kenangan lama gue masih tertinggal di sini, buktinya sesekali gue masih pulang ke Bandung karena gue memang nggak pernah bener-bener meninggalkan Bandung.”
“Berarti Bandung masih berarti banget buat lo sampai sekarang?” tanya Galih lagi.
Abima mengangguk kecil sebagai jawaban. “Masih banget. Selamanya Bandung akan selalu menjadi tempat gue untuk pulang sesekali, rumah gue sekarang mungkin di Asrama Kartapati dan gue juga udah menganggap asrama itu tempat untuk gue selalu pulang. Tapi untuk rumah asli, gue cuma punya Bandung sebagai rumah asli tempat gue untuk pulang karena masa kecil gue semuanya memang di sini. Kedua orangtua gue juga di sini, akan aneh rasanya kalo gue meninggalkan Bandung gitu aja di saat semua hal tentang masa kecil gue tertinggal di sini.
“Gue pernah bilang kan kalau kecelakaan orangtua gue waktu itu enggak mau gue jadikan sebagai ingatan yang menyakitkan. Gue lebih ingin mengingatnya sebagai takdi. Kalau gue selalu merasa bahwa kecelakaan itu adalah sesuatu yang menyakitkan, nantinya gue nggak akan pernah bisa lupa dan gue selalu berpikiran sama. Gue akan merasa sakit tiap kali datang ke Bandung, tapi untungnya gue nggak berpikir seperti itu dan sekarang gue udah bener-bener ikhlas ngelepasin semua hal tentang ayah dan ibu gue. Jadi, enggak ada dendam atau rasa sakit apa pun yang tersisa, hati gue udah bener-bener bersih.”
Galih sungguh speechless mendengar semua jawaban yang dilontarkan oleh sahabatnya itu. Hati Abima benar-benar lapang sekali, entah dalam rentang waktu berapa lama, tapi nyatanya laki-laki itu sudah benar-benar bisa menerima kematian orangtuanya, yang mana hal itu pasti akan sulit dilakukan bagi seorang anak tunggal sepertinya.
Kehilangan itu bukan perkara hal mudah yang bisa diterima begitu saja. Apalagi setelah ditinggalkan posisi anak tersebut akan jadi sendirian dan dia tidak lagi memiliki kerabat terdekat seperti orangtuanya sendiri. Jika saja Galih yang merasakan itu semua, Galih tak yakin bahwa dirinya bisa menjadi seperti Abima, sebab sulit untuk menerima kenyataan bahwa dirinya benar-benar sudah sendirian di dunia ini.
Sungguh sulit menerima kenyataan tersebut.
“Abim, gue boleh nggak tanya satu hal lagi ke lo? Tapi kalo seandainya nanti lo nggak mau jawab juga enggak apa-apa,” kata Galih lagi, masih ada satu hal yang mengganjal dan ingin dia ketahui dari Abima. Maka dari itu dia meminta izin untuk bertanya kepadanya.
“Tanya aja, kalo gue merasa pertanyaan itu cukup privacy maka gue nggak akan jawab,” sahut sang sahabat santai, berbeda sekali dengan Galih yang justru sudah deg-degan setengah mati hanya karena ingin melontarkan pertanyaannya tersebut.
“Oke, jadi, untuk pelaku dari penabrakan kedua orangtua lo, apa lo tahu gimana kabar mereka sekarang? Lalu gue juga mau tanya, apa lo udah maafin mereka atas semua hal yang sudah mereka lakukan ke lo?” Pertanyaan ini sungguh sensitif, Galih tahu sekali. Menanyakan tentang pelaku kecelakaan yang menewaskan kedua orangtua Abima bukanlah perkara hal yang mudah untuk bisa ditanyakan.
Akan tetapi, Galih benar-benar penasaran sekarang, dan karena ini adalah Galih maka dari itu dia berani mempertanyakannya kepada Abima.
Sesuai dugaan Galih, Abima memang tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Laki-laki itu terdiam lebih dulu seperti tengah mempertimbangkan sesuatu di dalam kepalanya. Memang tak mudah untuk menjawab pertanyaan dari Galih tadi, Galih pun menyadarinya oleh karena itu dia bilang bahwa Abima boleh tidak menjawab jika dia memang tidak ingin.
Terdengar helaan napas panjang Abima di sebelah Galih, membuat laki-laki itu langsung menoleh ke arah sahabatnya. Apakah sesulit itu untuk menjawab pertanyaannya?
“Kalo lo memang nggak mau jawab enggak apa-apa kok, Bim. Jangan dipaksain,” ujar Galih serius, dia jadi tak tega melihat Abima begini.
“Eh, bakalan gue jawab kok. Sebentar, tadi tuh gue diem lagi memastikan dulu di dalam hati apakah gue udah bener-bener nggak apa-apa. Gue lagi meyakinkan diri gue sendiri juga sebelum meyakinkan lo.”
“Lho, maksudnya gimana?” sahut Galih tidak mengerti.
“Tadi lo tanya gimana kabar pelaku kan? Untuk yang satu itu gue nggak tahu soalnya gue nggak pernah tanya sama Bibi gue, tapi setahu gue pelaku masih berhubungan sama Bibi gue buat tanya kabar gue gitu, pelaku mau memastikan kalau gue baik-baik aja. Cuma gue nggak mau tahu juga tentangnya jadi gue biasa aja. Tapi kalo lo tanya gue udah maafin dia atau belum soal kesalahannya, itu udah kok, tadi waktu lagi diem gue lagi mastiin diri gue sendiri apakah gue memang udah maafin dia atau belum dan gue nggak ngerasa ada yang salah, berarti gue bener-bener udah maafin pelaku kecelakaan itu.
“Lagipula pelaku juga udah tanggung jawab kok waktu itu, dia juga minta maaf ke gue secara langsung waktu gue masih kecil dan gue ingat gimana wajahnya, cuma gue memang nggak mau cari tahu aja. Biarin dia hidup sama kehidupannya dan gue juga akan melanjutkan kehidupan gue. Kejadian itu udah lama banget, bertahun-tahun lalu, gue pikir kalo gue harus menyimpan dendam selama itu yang ada gue nggak akan tenang. Padahal kan gue mau hidup tenang dan bahagia walaupun kedua orangtua gue udah nggak ada, mereka juga pasti mau hal yang sama.
“Mereka bakalan ikut sedih di atas sana kalo gue di Bumi sedih sendirian. Makanya gue selalu baik-baik aja bukan karena gue berpura-pura, tapi karena kenyataannya gue beneran dalam keadaan baik, jadi enggak ada yang perlu di khawatirin karena semuanya udah baik-baik aja.”
Galih langsung merangkul pundak Abima yang tengah berjalan di sampingnya setelah Abima menyelesaikan kalimatnya. “Sahabat gue memang paling keren!” sahutnya sebagai respon dalam semua jawaban yang sudah dilontarkan. “Pasti nggak akan mudah untuk menjadi lapang d**a seperti lo. Gue juga yakin kalau nggak semua orang bisa langsung menerima seperti apa yang udah lo lakukan. Tapi kenyataannya lo bisa melakukan itu, lo bisa berdamai sama kenyataan dan menurut gue itu keren banget! Apalagi usia lo masih terbilang muda tapi lo udah bisa ikhlas sama keadaan yang mengharuskan lo hidup sendirian tanpa orangtua lagi, kalo gue jadi lo mungkin gue nggak akan sanggup, tapi nyatanya lo bisa mengatasi semua itu. Makanya gue bilang lo keren karena kenyataannya lo memang beneran keren!”
Abima terkekeh mendengar semua pujian itu diutarakan untuknya, dia merasa tersanjung mendengarnya. Galih itu jarang memuji seseorang tapi kepada Abima dia selalu memberikan pujian-pujian yang indah untuk didengar.
“Makasih buat pujiannya, tapi gue mengatakan semua itu bukan berarti gue mau dipuji. Gue beneran bilang itu tulus dari hati gue kok, jadi sebenernya lo nggak perlu kasih pujian sampai kayak gitu.”
“Tapi gue pingin, jadi jangan tolak pujian dari gue,” jawab Galih.
“Iya udah deh, terserah lo aja,” sahut Abima setelahnya. “Udah nih, enggak ada lagi yang mau lo tanyain ke gue?” tanya Abima lagi, Galih itu memang suka mempertanyakan sesuatu secara tiba-tiba, jadi dia harus memastikan apakah masih ada pertanyaan lainnya atau memang sudah tidak ada lagi.
“Buat sekarang sih enggak ada ya, cuma enggak tahu nanti. Kalo misalnya gue mau tanya lagi nanti pasti gue izin lagi.” Galih langsung nyengir lebar, tepat sesuai dugaan Abima bahwa laki-laki ini memang banyak ingin tahu tentang segala hal dan sulit untuk menghentikannya.
Mereka berdua pun kembali berjalan menuju rumah Abima, agenda berkeliling itu sudah selesai. Abima dan Galih pun sudah selesai menikmati es krim di toko kelontong depan. Berkeliling sampai bermain sebentar di area taman tempat dulu Abima masih suka bermain.
Setelah semua kegiatan itu sudah selesai dilakukan, keduanya pun pulang karena harus mempersiapkan banyak hal sebelum pergi menuju agenda yang sudah direncanakan.
“Ini kita langsung beres-beres?” tanya Galih sesampainya mereka berdua di rumah Abima.
“Iya, lo beresin aja barang yang mau lo bawa. Gue mau beresin barang-barang gue dan siapin bawaan buat ke makam orangtua gue,” jawab Abima, tadi mereka memang sempat meminta bunga dari para tetangga ketika sedang berjalan-jalan. Sekalian saja pikir Abima agar bisa lebih mudah baginya ketika sampai di makam nanti.
“Kalo gue udah pasti enggak ada yang dibawa sih selain dompet sama handphone, tas gue bakalan kosong banget, Bim. Jadi, mending gue bantuin lo aja dan barang bawaan lo lebih banyak, dibagi dua aja sini sama gue masukin ke tas gue jadi lo nggak perlu bawa semuanya sendirian. Kita kan perginya bareng-bareng jadi harus bawa barangnya juga bareng-bareng!” Ketika mengatakan itu, Galih sedang berdiri di depan pintu kamar Abima, sedangkan Abima berada di tempat tidurnya dan sedang memilih barang-barang yang harus dia bawa.
“Padahal lebih enak tas kosong, lo kan jadi nggak perlu keberatan bawa sesuatu,” jawab Abima.
“Enggak bisa gitu! Gue tetap mau bantu!”
Abima menghela napas pasrah, mana bisa dia menolak keinginan sahabatnya itu yang lebih keras kepala daripada dirinya. “Ya udah, bawa tas lo ke sini, kita bakalan bagi tugas kalo gitu.”
Secepat kilat Galih langsung pergi ke kamarnya sendiri untuk mengeluarkan baju-baju dari dalam tasnya yang memang belum sempat untuk dikeluarkan, dia tata baju itu di atas tempat tidur dengan keadaan rapi karena tak mungkin Galih harus meninggalkannya dengan keadaan yang acak-acakan. Jika ini di rumahnya sendiri maka Galih akan bersikap santai, tetapi karena sekarang dia berada di rumah Abima—yang mana Abima tidak mungkin harus membereskan barang-barang milik Galih, maka dari itu Galih harus mempersiapkan barang-barangnya sendiri dan tidak boleh bergantung oleh orang lain khusus di hari ini.
Galih memang terbiasa dimanja dan dipersiapkan segala hal yang dia butuhkan, tapi untung saja dia tidak lupa bagaimana caranya untuk mempersiapkan dan merapikan barang-barangnya sendiri. Dengan begini Galih tak perlu kesulitan.
Setelah berhasil mengeluarkan semua bajunya dan menatanya di atas tempat tidur, kemudian meninggalkan barang-barang yang memang tidak terlalu penting untuk dibawa. Akhirnya Galih membawa tasnya untuk pergi ke kamar sebelah dan mendatangi Abima di sana.
“Udah, jadi apa aja yang harus gue bawa?” tanya Galih selagi dirinya ikut naik ke atas tempat tidur.
“Sini, biar gue yang pilihin dan masukin barang-barangnya ke tas lo,” kata Abima langsung mengambil alih tas milik sahabatnya tersebut.
Beberapa menit berlalu, mereka pun sibuk dengan urusan menata barang dan membaginya ke dalam dua tas—milik Abima dan juga milik Galih.
Abima dan Galih kini tengah mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa dan perlukan di hari ini. Sebenarnya hanya Abima yang tahu barang apa saja yang harus mereka bawa, sedangkan Galih akan mengikuti setiap perintah yang laki-laki itu katakan dan mempersiapkannya dengan sebaik mungkin.
Walaupun menjadi tamu di rumah ini dan menjadi pihak yang diajak oleh Abima, tapi Galih tetap tidak mau jika dirinya hanya mendapatkan perlakuan baik saja dari sang tuan rumah. Lagipula sudah cukup banyak yang Galih terima sejak semalam—ia sudah sangat berterima kasih untuk semua kebaikan yang telah Abima berikan kepadanya, ia tidak suka jika terlalu banyak menerima, maka untuk mengimbanginya Galih juga harus memberikan sesuatu.
“Itu yang berat sini biar gue aja yang bawa.” Abima hendak menarik salah satu alat miliknya, tapi tangannya lebih dulu ditepis oleh Galih dengan cepat.
“Dibilangin biar gue aja yang bawa. Lagian lo mau taruh di mana lagi sih? Itu lihat tas lo udah penuh banget, mau diisi apa lagi? Ini barang gue masih sedikit dan tas gue masih kosong jadi mending pindahin beberapa barang lo biar kita bisa bagi tugas untuk bawa hal kayak gini. Gue bakalan merasa nggak enak kalo lo bawa barang berat, sedangkan gue malah enteng-enteng aja,” Galih protes panjang lebar. Tipikalnya sekali yang tentu saja akan langsung mengoceh jika merasa ada suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Abima sudah paham sekali akan hal ini, tapi tetap saja dia akan merasa tidak enak jika membiarkan tamunya membawa barang-barangnya.
“Lih, tapi lo itu tamu gue, seharusnya lo dapat bagian yang enak aja, jadi kalo kayak gini biarin gue aja yang bawa,” Abima masih teguh dengan pendiriannya. Dia ingin mengambil lagi barang yang sudah Galih ambil darinya.
“Justru itu yang salah! Gue itu teman lo bukannya tamu lo. Sekali pun lo ajak gue ke Bandung, anggap aja gue sebagai teman yang lagi mau main dan menginap di rumah lo. Kenapa jadi menganggap gue kayak tamu sih? Santai aja kali, Bim. Kita temenan bukan cuma sebulan atau dua bulan kok, bahkan lebih dari itu, jadi jangan merasa nggak enak sama gue,” Galih membantah lagi, berlawanan pendirian dengan Abima saat ini.
“Tapi, gue tuh—”
“Kalo lo mau terus mempeributkan hal ini yang ada kita nggak akan jadi mau perginya. Lo mau kita terlambat dan semua rencana kita berantakan?” Galih memotong kalimat Abima cepat dengan ekspresi yang dibuat-buat dengan begitu dramatis.
Abima akhirnya mengalah, tidak lagi memiliki kalimat bantahan untuk laki-laki itu. Baiklah, Galih menang untuk kesekian kalinya dan Abima kembali menjadi pihak yang kalah karena lebih dulu mengalah. Telinganya akan terasa sakit jika terus mendengarkan semua ocehan Galih yang tidak ada habisnya. Abima harus berhenti sebelum sahabatnya itu bertingkah lebih menyebalkan lagi daripada ini.
Galih tersenyum lebar ketika menyadari bahwa Abima sudah tidak lagi mendebatnya. Dia merasa senang karena memenangkan topik pembicaraan di pagi ini. Galih juga merasa puas karena akhirnya dia bisa menjadi pihak yang memberi, bukannya yang terus-menerus menerima seperti itu.
Berbagi bukan hanya soal barang, makanan, ataupun materi saja. Nyatanya saat ini Galih bisa membagikan tenaganya untuk membantu Abima bersiap-siap, walaupun dia tidak tahu persis apa fungsi dari setiap alat yang Abima bawa untuk proses memotretnya, tapi Galih tetap menyusun semua itu di dalam tasnya—sebab tas Abima sudah tidak muat lagi untuk menampung apa pun.
Maka dari itu mereka membagi tugas untuk membawa beberapa barang yang memang penting dan harus dibawa dalam perjalanan mereka hari ini. Lebih banyak isi dalam tas Abima walaupun memang tidak sepenuh itu, tetapi Galih tetap ingin membantu membawakan beberapa hal yang memang bisa dia tampung di dalam tasnya.
“Beneran udah semua ini barang-barangnya, enggak ada yang ketinggalan?” Galih bertanya untuk terakhir kali, memastikannya ketika Abima sendiri sudah menutup resleting tas miliknya sendiri. Mereka baru saja selesai membereskan barang-barang tersebut.
“Udah semua kok, gue udah hapal tentang apa aja yang harus gue bawa jadi enggak akan ada yang ketinggalan. Lo juga tutup aja tasnya, nanti kalo udah butuh sesuatu gue tinggal minta aja kan ke lo, kalo gitu mudah jadi kita bagi tugas,” Abima menyengir menjawab pertanyaan dari Galih selagi dirinya menoleh ke arah laki-laki itu.
Sebetulnya Abima ingin mengambil alih semua barang-barang yang merupakan miliknya sendiri. Dia tidak suka menjadi terlalu merepotkan, bagi Abima posisi Galih saat ini adalah sebagai tamu karena dia sendiri yang turut mengundang laki-laki itu untuk ikut bersamanya ke Bandung—hanya karena Abima tidak suka melihat Galih bergaul dengan anak-anak lain yang tidak jelas tujuan masa depannya.
Seharusnya Galih mendapatkan bagian yang menyenangkan saja dan tidak perlu mengurusi hal semacam ini. Abima takut laki-laki itu akan merasa pegal karena membawa isi di dalam tasnya yang cukup berat, memang tidak seberat Abima, tapi tetap saja bagi Abima hal itu pasti akan merepotkan Galih, temannya tersebut. Akan tetapi, Galih itu keras kepala, Abima tahu akan sulit mendebatnya karena selama ini pun dia terlalu banyak mengalah ketika sedang berbicara dengan Galih.
Ketika sedang berdebat dengan Galih, akan sulit memenangkannya karena laki-laki itu cukup banyak bicara. Galih tidak akan berhenti bicara sebelum dia memenangkan apa yang sedang diperdebatkan, sekalipun itu hanya masalah kecil saja, rasanya akan menjadi besar jika diperdebatkan bersama Galih.
Sebetulnya, barang Abima biasanya tidak akan sebanyak ini ketika ingin melakukan hunting foto. Namun, karena hari ini ada agenda lain yang harus dia lakukan, maka dari itu barang bawaannya menjadi bertambah dan terlihat banyak sekali. Padahal hanya akan dihabiskan dalam satu kegiatan saja.
Abima bahkan sampai membawa botol air minum besar berisikan air kerannya untuk menyiram tanah dari rumah terakhir milik kedua orangtuanya. Jika ingin praktis, sebetulnya Abima bisa saja membelinya tanpa harus repot-repot membawa seperti ini. Akan tetapi, Abima selalu menerapkan prinsip jika bisa membawa sendiri kenapa harus membeli? Dengan membawanya sendiri berarti Abima bisa mengurangi pengeluarannya dan bisa menggunakannya untuk hal lain yang lebih berguna.
Dia tahu bahwa uang jajan sekolahnya lebih dari cukup berkat kiriman setiap bulan dari Om dan Tantenya, tapi selagi bisa ditabung maka akan Abima lakukan. Dia tidak mau boros untuk hal-hal semacam ini. Apalagi Abima tahu bahwa bunga dan juga air yang dijual di dekat tempat pemakaman pasti akan bernilai lebih tinggi daripada yang seharusnya—namanya juga penjual, pasti mereka ingin mencari untung.
Namun, Abima tidak tahu membelinya selagi dia masih memiliki air dan bunga-bunga tersebut, lagipula tidak sulit untuk mencarinya. Dia tinggal meminta saja seperti pagi tadi bersama dengan Galih dan semuanya selesai. Sekarang Abima sudah mendapatkan semua hal yang dia butuhkan.
Suara resleting tas Abima yang tertutup mengalihkan perhatian Galih dan langsung membuat senyum laki-laki itu terkembang begitu lebar. “Oke kalo gitu, kita bisa berangkat sekarang?!” tanya Galih dengan penuh antusias.
Abima tertawa kecil mendengarnya, pasti sahabatnya itu sangat bersemangat untuk agenda mereka di hari. “Oke, udah! Ayo, berangkat!” Abima berdiri lebih dulu dan memakai tas tersebut, kemudian disusul dengan Galih setelahnya.
Akhirnya mereka menyelesaikan semua tugas dengan baik, termasuk menyelesaikan perdebatan kecil selama proses packing barusan. Sebelum benar-benar keluar dari rumah, Abima sempat menoleh ke arah foto kedua orangtuanya.
‘Ibu, Ayah, hari ini akhirnya Abim bisa mampir lagi ya ke rumah kalian. Tolong tunggu sebentar lagi, Abim jalan dulu ya,’ pamitnya kepada foto tersebut. Memberitahu kedua orangtuanya bahwa hari ini dia akan datang dan menjenguk mereka setelah sekian lama.
Abima dan Galih keluar dari rumah di lantai dua dan mulai turun ke lantai satu, keadaan rumahnya di lantai satu pun sudah sepi karena tadi pagi Ibu Rina pamit untuk pergi mengantar anaknya ke sekolah dan juga pergi berbelanja, jadi sekarang Abima dan Galih tidak bisa berpamitan kepada beliau.
Tapi tidak apa-apa, mereka bisa bertemu lagi nanti ketika Abima dan Galih sudah menyelesaikan agenda mereka di hari ini yang sudah pasti akan menyenangkan.
“Kita bakalan naik kendaraan umum atau online?” Galih bertanya, baru ingat bahwa dia belum mempertanyakan hal ini.
“Kalo naik kendaraan umum lo masalah nggak? Makamnya juga nggak begitu jauh sih jadi bisa didatangi walaupun naik kendaraan umum, tapi pasti bakalan lebih rame daripada naik kendaraan online yang cuma ada kita berdua aja,” jawab Abima.
Galih langsung mengangguk-angguk kecil. “Gue nggak apa-apa kok naik kendaraan umum, lagian di Jakarta juga gue sering naik kendaraan umum. Lo jangan membuat seolah-olah gue anti sama kendaraan umum dong,” sungut Galih kesal, tawaran Abima tadi seolah mengatakan bahwa Galih jarang naik kendaraan umum padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Tentu saja Galih sering menaikinya, dia juga bukan orang kaya yang harus naik kendaraan pribadi setiap hari. Kedua orangtuanya memang bisa dibilang dari kalangan atas, tapi Galih tidak bisa menyebut dirinya sebagai orang kaya. Dia bukan orang yang sombong yang harus memamerkan hartanya seperti itu.
“Ya udah, yuk, berangkat?”
“Ayo!” sahut Galih dengan bersemangat.
Namun, sepertinya semesta sedang tidak berbaik hati kepada kedua laki-laki itu saat ini. Sebab alih-alih melancarkan seluruh kegiatan yang mereka lakukan, nyatanya baru saja lima langkah keduanya berjalan hendak ke jalan raya depan untuk mencari kendaraan umum. Tiba-tiba saja ponsel Galih justru berdering dengan nyaring. Deringnya mengagetkan mereka berdua yang sedang mengobrol santai dalam perjalanan itu.
“Gue angkat telepon dulu,” kata Galih yang langsung mengeluarkan ponselnya.
Laki-laki itu sedikit bingung kala melihat nama mamanya lah sebagai penelepon di pagi itu. Tumben sekali sang mama meneleponnya ketika Galih tidak ada di rumah. Biasanya dia tidak akan terlalu mempedulikan di mana Galih berada, apalagi jika sedang bersama Abima karena mamanya sangat percaya kepada Abima sehingga tahu bahwa mereka berdua tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.
Galih akhirnya mengangkat panggilan itu karena takut ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan oleh mamanya. Abima hanya memperhatikan saja selama Galih mengangkat panggilannya, namun yang membuat Abima menjadi heran adalah ekspresi wajah Galih yang berubah setelah laki-laki itu mengangkat panggilan teleponnya.
Laki-laki itu juga berkali-kali menoleh ke arahnya, entah apa yang sedang dibicarakan. Tapi semua gerak-gerik Galih saat ini justru membuat Abima jadi penasaran akan percakapannya dengan sang mama di seberang telepon sana. Yang lebih aneh adalah entah mengapa Abima juga merasa bahwa perasaannya berubah menjadi tidak enak seiring dengan perubahan wajah Galih yang lebih memucat daripada sebelumnya.
Sekitar tiga menit kemudian panggilan itu pun terputus. Galih juga sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu dia mendekati Abima dengan sorot yang masih sama—ketakutan dan juga khawatir ada di sana.
“Lih, kenapa?” sontak saja Abima langsung melontarkan tanya, dia sungguh tidak tega melihat Galih seperti ini.
“Bim, nenek gue ... tadi mama gue telepon dan kasih tahu kalo nenek gue baru aja masuk rumah sakit dan sekarang keadaannya kritis,” ucap Galih dengan suaranya yang bergetar dan juga lirih. Jelas sekali terlihat kekhawatiran yang besar dari dua binar matanya.
Abima terkejut luar biasa mendengar kabar tersebut. Setahu Abima, Galih itu sangat dekat dengan neneknya, Galih bahkan bisa dibilang cucu kesayangan dari neneknya tersebut. Jadi, bisa dibayangkan sekhawatir apa Galih saat ini kepada sang nenek yang dikatakan tengah kritis di rumah sakit.
Abima memang tidak tahu apa yang terjadi sampai neneknya Galih bisa masuk rumah sakit dan kritis seperti itu, hanya saja Abima ingat bahwa Galih pernah bercerita bahwa keadaan neneknya memang sedang tidak baik akhir-akhir ini dan Galih selalu takut bahwa dia akan kehilangan. Galih masih belum sanggup untuk kehilangan sang nenek, setidaknya jangan sekarang.
Melihat dari bagaimana takutnya Galih saat ini membuat Abima langsung memutar otaknya. Sahabatnya itu pasti sangat khawatir dan Abima juga sangat tahu kalau Galih ingin segera pulang dan berada di samping neneknya, tapi di sisi lain dia merasa sayang dengan perjalanannya bersama Abima yang bahkan belum dimulai. Abima sudah sangat mengenal laki-laki itu, jadi dia juga sudah tahu apa yang tengah Galih pikirkan saat ini, sangat mudah menebak isi kepala sahabatnya tersebut.
“Tenangin diri lo dulu ya, coba untuk jangan panik dan jangan berpikiran hal yang buruk. Kalo lo berpikiran buruk nanti malah kejadian, makanya sekarang mending lo doain nenek lo semoga dia baik-baik aja dan semoga keadaannya membaik. Ikutin apa yang gue suruh,” pinta Abima kepada Galih, dia jadi tidak tega melihat Galih seperti ini.
“Oke, gue bakalan mencoba untuk lebih tenang,” jawab Galih seraya mengambil dan mengembuskan napasnya beberapa kali untuk dapat menenangkan diri.
“Kalo gitu gue mau tanya, apa mama lo minta lo untuk pulang sekarang?” tanya Abima.
Galih langsung menggeleng. “Mama gue nyuruh gue buat nggak khawatir karena sekarang nenek gue lagi dalam pengawasan dokter juga, cuma gue tetap khawatir. Dia kasih gue pilihan untuk pulang sekarang atau pulang nanti dan jujur gue juga bingung. Gue nggak enak sama lo, Bim. Kan kita ke sini mau tengokin kedua orangtua lo sekalian nemenin lo hunting foto untuk tugas, kalo gue harus pulang terus gimana?” Wajah Galih diliputi oleh rasa bersalah yang begitu besar, tidak bisa dipungkiri jika Galih pulang maka rencana mereka sekarang memang akan berantakan. Hanya saja Abima tidak memikirkan itu, jika mereka harus menunda maka tidak apa-apa.
“Lih, please jangan pikirin gue dulu. Sekarang yang perlu dipikirin cuma diri lo sendiri dan keadaan nenek lo. Gue memang harus ke makam kedua orangtua gue hari ini, tapi itu nggak akan makan waktu lama kok. Kalo misalnya memang nggak jadi hunting foto hari ini juga enggak apa-apa, kan hunting foto ke Bandung itu cuma pilihan. Gue bisa pergi hari minggu buat ngerjain ini di Jakarta kalo memang lo mau pulang.”
“Lo bakalan pulang bareng gue?” tanya Galih tak percaya.
“Iya lah! Ini pertama kalinya lo datang ke Bandung, jadi nggak mungkin gue lepasin lo untuk pulang sendiri karena bisa-bisa lo malah tersesat. Jadi, gue bakalan pulang bareng lo kalo misalnya lo memang mau pulang. Pilihan lo apa? Udah bisa nentuin mau langsung pulang atau enggak?” tanya Abima lagi, meminta jawaban dari sahabatnya.
Galih terdiam, dia tengah menimang-nimang sesuatu di dalam kepalanya saat ini. Jika boleh jujur, Galih sebenarnya tak ingin langsung pulang karena perjalanan mereka hari ini akan sangat sayang jika harus ditinggalkan. Akan tetapi, mengingat keadaan neneknya, Galih juga masih ingin melihatnya dan ingin berada di sisi sang nenek ketika beliau sedang dalam keadaan kritis.
Galih jadi sangat bimbang, dia bingung harus memutuskan apa.
“Galih, lo harus pilih prioritas utama lo dulu. Kita bisa ke Bandung lagi kapan-kapan yang berarti batalnya hari ini bukan berarti gue nggak akan ajakin lo lagi. Tapi beda sama kondisi nenek lo sekarang, kita nggak tahu apa yang akan terjadi sama beliau jadi untuk jaga-jaga takut sesuatu yang buruk terjadi, lebih baik lo ada di sana kan untuk ada di sisi dia?” Abima memberikan pencerahan kepada Galih yang saat ini isi kepalanya sedang dipenuhi oleh berbagai macam pemikiran.
Laki-laki itu pasti pusing dan Abima sangat tahu akan hal itu. Dia tidak bisa langsung memutuskan secara mendadak.
“Kalo misalnya lo nggak bisa kasih jawaban sekarang, gimana kalau seandainya kita ke makam kedua orangtua gue dulu, yang mana di sana enggak akan lama karena gue cuma kirim doa dan ngobrol sebentar. Nanti ketika kita udah selesai dari makam kedua orangtua gue, lo baru bisa memutuskan untuk pulang atau enggak. Kalo lo mau pulang berarti habis dari sana kita bisa langsung beresin barang-barang dan kemudian pulang tanpa perlu nunggu apa pun lagi. Gimana? Lo setuju sama saran gue? Jadi, lo masih bisa berpikir selama kita masih ada di makam kedua orangtua gue.”
Abima dan jalan pikirannya yang selalu bisa cepat mendapatkan solusi, memang menjadi sosok yang paling bisa diandalkan untuk hal-hal semacam ini.
Nyatanya, Galih langsung mengangguk untuk menyetujui apa yang telah Abima katakan barusan. Galih tahu bahwa apa yang Abima katakan memang yang terbaik. Galih jadi bisa berpikir lebih dulu sebelum memutuskan.
“Oke, kita ke makam kedua orangtua lo dulu kalo gitu,” putus Galih akhirnya.
Abima langsung mengangguk dan kembali merangkul Galih untuk melanjutkan perjalanan mereka. Masalah memang tidak pernah bisa terdeteksi, bisa datang secara tiba-tiba dan mengacaukan segala rencana yang sudah disusun matang-matang. Tetapi, Abima sungguh tidak keberatan jika harus mengubah rencananya di hari ini, asalkan Galih tidak bersedih dan sahabatnya itu tetap baik-baik saja.