Abima masih ingat sekali bahwa penyewa lantai satu rumahnya ini terdiri dari satu keluarga yang hanya memiliki satu orang putri. Sama seperti keluarga Abima dulu yang juga hanya memiliki satu anak tunggal, namun bedanya Abima adalah laki-laki.
Kepala keluarganya bernama Bapak Rama, Abima sudah pernah berkenalan dengannya, tetapi Abima jarang bertemu karena Bapak Rama bekerja sebagai sopir truk yang tugasnya berkeliling dari satu kota ke kota lain sehingga dia jarang sekali ada di rumah. Abima memaklumi itu karena mencari pekerjaan sulit, sedangkan posisi Bapak Rama yang katanya sudah menjadi sopir truk tetap dan mendapatkan gaji yang lumayan. Jadi, tak masalah jika Abima jarang bertemu dengannya.
Jika memang sibuk, maka mau bagaimana lagi bukan? Tidak ada salahnya menjadi sibuk untuk mengejar sesuatu yang benar.
Lalu Ibu Rumah Tangga yang ada di bawah rumahnya ini bernama Ibu Rina, beliau sangat amat baik kepada Abima dari pertama kali datang sebagai penyewa bahkan sampai di hari ini. Sering sekali Ibu Rina memberikan sesuatu kepada Abima tiap kali Abima sedang pulang ke Bandung yang membuat Abima juga jadi sangat menghormatinya.
Awalnya, Abima tidak tahu bahwa hubungan penyewa dengan pemilik rumah bisa sedekat ini. Lalu dia sempat bertanya kepada Bapak Karta untuk mendapatkan pencerahan dan katanya memang akan terjadi hubungan baik jika si penyewa dan pemilik memiliki sikap yang sama-sama baik. Ada beberapa kasus yang menjadikan hubungan para penyewa dan pemilik itu jadi berantakan karena salah satu pihaknya yang tidak bisa terbilang baik dan selalu suka mencari masalah.
Abima jadi bersyukur karena dia mendapatkan penyewa yang baik hati dan terasa seperti Ibunya sendiri.
Kemudian ada putri tunggal mereka yang bernama Dini, dia masih kecil sehingga sulit sekali untuk mengajaknya bicara. Namun, Abima juga baik kepadanya dan ketika baru datang dari Jakarta biasanya Abima suka membawakan makanan yang kemudian akan dia berikan kepada Dini. Anggaplah sebagai balas budi akan kebaikan yang selama ini juga sering diberikan oleh Ibunya Dini kepada Abima.
Namun, sayang sekali Abima tidak bisa membawa apa pun pada kedatangannya kali ini, sebab perginya bersama Galih hari ini pun sedikit mendadak dan karena sudah lama tidak pulang ke Bandung, Abima jadi sedikit lupa dengan kebiasaannya tersebut. Seharusnya Abima tidak bisa lupa begitu saja dan masih harus mengingat kebiasaannya. Namun sayang sekali kali ini Abima benar-benar lupa membawanya.
“Halo, Dini,” sapa Abima kepada sosok yang paling muda di antara mereka.
Abima lebih dulu mendatangi Dini dan kemudian mengusap kepalanya dengan perasaan sayang, gadis ini sudah terasa seperti adiknya sendiri. Dini sangatlah lucu sehingga seringkali Abima gemas kepadanya. Dini yang mendapatkan perlakuan itu hanya bisa tersenyum ke arahnya.
“Halo, Kak,” jawabnya walaupun masih dengan suaranya yang tidak jelas. Dia memang sudah diajarkan untuk menyapa balik ketika ada orang lain yang menyapanya. Sungguh proses pendewasaan yang sangat baik yang telah diberikan oleh kedua orangtuanya kepada gadis itu.
Abima kemudian beralih kepada Ibu Rina. “Ibu Rina,” sapa Abima, laki-laki itu mendekat ke arah wanita paruh baya tersebut dan menyalimi tangannya, kemudian disusul juga dengan Galih yang melakukan hal sama. Tidak mungkin Galih hanya diam saja di saat Abima melakukan hal tersebut, dia juga masih punya sopan santun dan karena Abima terlihat sangat menghormati wanita di depan mereka ini, maka Galih juga akan melakukan hal yang sama.
Ibu Rina ikut tersenyum melihat kehadiran Abima dan Galih di hadapannya, sudah lama dia tidak melihat Abima jadi wanita paruh baya itu merasa senang karena bisa melihatnya lagi setelah sekian lama.
“Senang Ibu bisa lihat kamu hari ini, soalnya sudah lama banget kamu tidak datang, sibuk sekali ya Abima?” tanya Ibu Rina kepadanya.
Abima langsung mengangguk untuk membenarkan. “Iya, Ibu. Kemarin tuh Abima lagi sibuk kenaikan kelas gitu jadi harus belajar terus dan kemarin waktu libur ambil kerja part time makanya belum sempat buat ke sini. Baru sekarang deh bisa datang lagi, untung aja ada waktu luang soalnya semenjak naik kelas sebelas ini pelajarannya jadi makin banyak dan Abima juga jadi makin sibuk,” beritahunya sekaligus menjelaskan. “Abima juga udah kangen sama Ibu dan Ayah makanya milih untuk mampir ke Bandung buat tengokin mereka, hari ini juga tepat peringatan hari kematian mereka jadi Abima memang udah berencana buat datang karena beberapa bulan kemarin enggak sempat.”
“Iya, Bim, bulan kemarin Ibu memang sempat kepikiran kenapa kamu enggak datang gitu padahal kan hari peringatan kematian kedua orangtua kamu. Biasanya setiap bulan kamu pasti rajin datang buat berkunjung dan tengokin rumah. Ibu sempat pikir ada apa-apa tapi ternyata kamunya lagi sibuk di Jakarta,” balas Ibu Rina yang turut mengutarakan rasa khawatirnya terhadap laki-laki yang lebih muda tersebut.
“Hehehe, maaf ya Ibu, Abima juga enggak sempat kasih alasan kenapa nggak bisa datang, Abima waktu itu cuma kirim pesan ke Ibu kalo nggak pulang dulu ke Bandung. Kehidupan remaja sekolah memang kayak begitu deh, kadang tugasnya selalu enggak pasti, bisa banyak tapi bisa juga sedikit. Abima sebagai pelajar cuma bisa tuntasin tanggung jawab Abima sebagai pelajar tersebut, Abima juga mau bikin Ibu sama Ayah bangga makanya belajar terus dan coba kejar beberapa prestasi di sekolah,” jawab Abima lagi.
Tidak heran mengapa dia bisa sesantai itu berbicara dengan Ibu Rina, sebab kenyataannya mereka memang sangat dekat. Bahkan Abima memang sering bercerita kepada wanita paruh baya tersebut tiap kali dia sedang pulang ke Bandung. Sekadar mengobati rindu kepada Ibunya sendiri, maka dari itu Abima memilih untuk bercerita kepada Ibu Rina yang memang terlihat cukup mirip dengan Ibu Abima.
Wanita paruh baya itu juga memiliki sikap yang sangat hangat dan mudah membuat Abima merasa nyaman ketika berbincang dengannya. Dia sangat mengayomi dan bisa membaca isi kepala Abima dengan sangat baik. Mungkin karena dia juga adalah seorang Ibu dan Abima adalah seorang anak, jadi wanita paruh baya itu tahu bagaimana caranya berbicara yang baik dengan Abima dan bagaimana caranya memberikan perhatian terhadap laki-laki itu.
Akan tetapi, semua hal yang selalu dia berikan kepada Abima membuat Abima merasa senang. Abima senang karena rumah lantai satunya disewa oleh penghuni yang sangat baik seperti keluarga Ibu Rina. Abima jadi tak perlu khawatir sekalipun dia meninggalkan rumahnya dalam jangka waktu yang lama, sebab dia sudah tahu kalau rumah itu pasti akan dijaga dengan baik oleh penghuni yang ada di sana.
Tanpa perlu mengecek secara langsung, Abima sudah sangat tahu bahwa rumahnya sungguh dijaga dengan sangat baik oleh mereka. Bahkan seringkali, tiap Abima sedang pulang ke Bandung, maka Ibu Rina akan mengajaknya makan di lantai satu bersama-sama dengan sang Ibu dan juga Dini. Ada kala ketik Bapak Rama juga pulang dan ikut makan bersama dengan mereka, tapi hal itu terhitung jarang karena Bapak memang sibuk sekali dengan pekerjaannya yang selalu pulang dan pergi di luar kota.
Setahu Abima, jadwal pulang Bapak Rama itu adalah di hari Rabu, dia akan menginap selama satu hari sebelum akhirnya pergi lagi di Kamis sore untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Memang seperti itu lah pekerjaan yang harus dilakukan. Jika tidak bekerja, maka siapa lagi yang akan membantu ekonomi keluarga mereka bukan? Memang sudah menjadi suatu keharusan bagi seorang kepala rumah tangga untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
Abima terkadang memang datang ke lantai satu, tetapi Abima memang tidak pernah memberikan akses bagi Ibu Rina untuk ke lantai dua dan kunci juga Abima yang membawa karena dia tahu jika dirinya memberikan akses maka Ibu Rina pasti akan dengan senang hati membersihkan rumahnya di lantai dua sekalipun beliau hanya menyewa di lantai satu saja. Tetapi Abima tidak mau terlalu merepotkan sehingga dia tidak mau membiarkan hal itu terjadi, dia tidak memperbolehkan Ibu Rina mendapatkan akses ke lantai dua dan membiarkan saja lantai dua sebagai tanggung jawab dari Abima sendiri.
“Ibu yakin pasti kedua orangtua kamu bangga banget sama kamu, Abima. Kamu tumbuh dewasa menjadi laki-laki yang sangat baik, jadi Ibu juga yakin kalau kedua orangtua kamu juga pasti senang di atas sana lihat pertumbuhan kamu yang sangat pesat dan bisa membuat mereka berdua jadi bahagia di sana,” ujar Ibu Rina tulus, bukan semata-mata hanya ingin menyenangkan hati Abima saja. Dia sungguh mengatakan hal itu dari hatinya yang paling dalam.
“Terima kasih Ibu, Abima juga berpikiran hal yang sama. Semoga aja Ibu sama Ayah di atas sana bangga lihat Abima yang sekarang dan nggak akan kecewa sama apa pun tentang Abima. Tapi, Abima memang selalu berusaha jadi anak yang baik dan juga berusaha untuk nggak mengecewakan mereka karena Abima memang nggak mau melakukan hal itu,” jawab Abima sama tulusnya. Ini lah yang dia sukai tiap kali berbicara dengan Ibu Rina, beliau pasti selalu mengerti isi hati Abima tanpa perlu Abima jabarkan. Benar-benar definisi seorang Ibu.
“Ibu yakin orangtua kamu akan berpikiran seperti itu.” Kemudian pandangan Ibu Rina jatuh pada sosok asing di sebelah Abima yang sejak tadi hanya diam saja, laki-laki itu adalah sosok yang dia temui di pagi tadi ketika mengantarkan sarapan ke lantai atas. “Ini teman kamu, Bim? Tadi Ibu sempat datang ke lantai satu dan ketemu juga tapi belum sempat kenalan, ini siapa namanya? Kayaknya baru sekali ini ya kamu ajakin main ke Bandung?” tanya Ibu Rina seraya memperhatikan sosok Galih yang sejak tadi hanya diam saja berdiri di sebelah Abima.
Abima langsung menyenggol lengan sahabatnya itu dan memintanya untuk memperkenalkan diri di depan Ibu Rina. Biarkan saja Galih mandiri untuk melakukannya secara langsung. “Halo, Ibu, perkenalkan saya Galih, teman sekolahnya Abima dari Jakarta. Ini saya ikut karena mau nemenin Abima sama ikut dia mau hunting foto sih, soalnya Abima bilang mau mengenali beberapa bagian Bandung ke saya, jadinya kan saya penasaran dia mau kasih tahu apa.”
“Bandung ini indah Galih, saya yakin Abima akan memberitahu banyak hal ke kamu jadi kamu siap-siap saja untuk mendengar apa pun yang akan dia beritahukan ke kamu. Tapi saya pastikan kamu tidak akan bosan karena Abima juga pembicara yang baik, saya yakin kamu sudah tahu yang satu itu karena kamu juga berteman dengan Abima. Tapi setiap kali pulang ke Bandung, kadang Abima juga cerita ke saya tentang kehidupannya di Jakarta dan saja jadi bisa tahu banyak tentang kehidupan di Jakarta karena Abima,” sahut Ibu Rina. “Salam kenal ya, Galih. Semoga kamu betah berada di Bandung selama beberapa hari ini. Kalau nanti Abima pulang lagi kemari, kamu ikut saja, saya pasti akan masakan lagi sarapan seperti tadi supaya kamu dan Abima bisa makan-makanan rumah.”
“Wah! Terima kasih banyak Ibu. Saya pasti akan selalu menunggu masakan Ibu soalnya enak, saya aja tadi sampai habis makannya karena saking enaknya masakan Ibu. Saya juga memang sudah sangat mengenal Abima karena kebetulan kami teman sebangku. Abima adalah orang yang sangat baik dan saya sangat tahu hal itu. Saya jadi nggak sabar nanti Abima mau ajakin ke mana karena katanya dia mau ajakin saya ke tempat bagus,” jawab Galih lagi, dia mulai bisa merasakan bagaimana menyenangkannya berbicara dengan wanita paruh baya tersebut.
“Di Bandung ada banyak sekali tempat-tempat indah, tapi kebanyakan jaraknya jauh, kalian mungkin akan sulit untuk datang ke sana. Tapi kalau tidak ada kegiatan lain, kalian bisa sekalian main juga di Bandung.”
“Saya udah bikin agenda kok, tadinya berniat mau ajakin Galih ke daerah puncak tapi ternyata waktunya kayaknya enggak cukup soalnya mepet banget,” Abima ikut menimbrung dalam percakapan itu, sebab dialah yang menjadi si pembuat rencana.
“Puncak sekarang macet banget, kalian bisa-bisa terjebak macet di sana dan pulangnya nanti malah malem banget. Lebih baik ke tempat yang lebih dekat saja tapi aman, kayaknya itu lebih baik,” saran Ibu Rina kepada mereka berdua.
Galih dan Abima kompak langsung mengangguk, itu lah mengapa mereka pada akhirnya memutuskan untuk pergi ke taman kota saja daripada pergi ke daerah puncak sana. Belum karena jaraknya yang jauh, lalu kemacetan yang pasti akan terjadi di sepanjang jalan, lalu sulit mencari tempat makan enak selain hanya di daerah sana saja dan mereka akan menghabiskan banyak waktu di jalan yang hanya akan membuat mereka pada akhirnya kelelahan. Jika keduanya tetap pergi ke daerah puncak, bukannya lebih banyak merasakan kesenangan bisa-bisa Abima dan Galih malah hanya akan merasakan lelahnya saja.
Berbeda dengan pilihan pergi ke taman kota yang lebih dekat dan mudah mengakses banyak tempat ke mana-mana, daerahnya juga memang macet, tapi tidak separah ketika pergi ke daerah atas. Ada banyak tempat makan juga yang bisa mereka datangi dan waktu yang mereka habiskan tidak perlu terlalu lama. Abima dan Galih bisa langsung pulang dengan sangat mudah dan beristirahat lebih cepat daripada yang sudah mereka perkirakan. Mungkin daerah puncak akan terlihat lebih indah pemandangannya, namun mereka harus mempersiapkan banyak hal lebih dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk ke sana.
Butuh juga persiapan mental untuk pergi, baik Abima dan juga Galih menyadari bahwa mental mereka berdua nyatanya belum siap untuk dibawa pergi ke tempat yang cukup jauh. Waktu mereka juga cukup terbatas karena hanya bisa menginap dua malam saja di sini. Jika saja ada liburan seminggu, mungkin mereka berdua akan menyanggupi untuk pergi. Maka dari itu tidak bisa sekarang mendatangi puncak tersebut, mungkin berkemungkinan besar untuk datang lagi di lain hari.
“Enggak jadi pergi ke puncak juga kok Ibu, tadi kami berdua udah diskusi jadinya dapet beberapa tempat yang bagus. Abima juga mau ngajakin Galih makan di beberapa tempat makan Abima dulu, jadi anggap aja sekalian bernostalgia sama kenangan yang udah lama,” kata Abima lagi menjelaskan.
Ibu Rina akhirnya mengangguk pertanda dia mengerti. Lalu tanpa di duga Dini tiba-tiba menarik ujung kaus milik Ibunya sendiri seperti memberitahu bahwa waktu terus berjalan dan mereka sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk mengobrol di pagi ini.
“Abima, Galih, sepertinya Ibu sama Dini harus segera pergi,” katanya.
Sebelum terlambat dan malah lupa, Abima akhirnya mengutarakan sesuatu yang belum sempat dia katakan sejak tadi, baru Galih saja yang mengungkapkannya. “Ibu, saya juga mau bilang makasih banyak ya untuk makanannya, saya sama Galih jadi bisa sarapan masakan dari Ibu.” Abima tersenyum lebar ketika mengatakan itu, tentu saja dia harus mengucapkan terima kasih kepada wanita paruh baya ini, sebab dia sudah repot-repot memasak lebih hanya untuk diberikan kepada Abima dan juga Galih.
Sebenarnya Ibu Rina memang sering memasakkan Abima makanan ketika dia sedang datang ke Bandung. Entah mengapa sudah seperti kebiasaan dan Abima terus saja merasa tak enak tentunya, namun Ibu Rina selalu memaksanya untuk menerima. Sebagai penyewa dari rumah Abima, wanita paruh baya itu ingin membangun hubungan dekat dengan anak si pemilik rumah ini.
Karena terus diminta untuk menerima dan karena Abima juga tidak enak jika menolak, akhirnya dia akan menerima semua makanan yang selalu Ibu Rina berikan tiap kali dirinya sedang pulang ke Bandung. Rezeki memang tidak boleh ditolak, lagipula makanan itu memudahkan Abima jika sedang kelaparan dan tidak ingin turun ke bawah untuk membeli makanan. Oleh karena itu, Abima jadi sangat menghormati sosok Ibu Rina karena beliau sangat baik kepadanya.
“Iya sama-sama, kurang nggak makanannya? Kalau kalian masih kurang itu di dalam masih ada kalau memang mau nambah lagi,” kata Ibu Rani sembari tersenyum ramah. Dia kembali menawarkan makanan kepada kedua laki-laki itu.
Akan tetapi, Abima langsung menggeleng cepat. Dia tidak mau terlalu merepotkan. “Enggak usah, Ibu. Enggak apa-apa kok, makanan yang tadi juga udah cukup banget. Nanti nampan sama wadah makannya tadi Abima pulangin sebelum berangkat ya.”
“Baiklah kalau begitu, ini kalian berdua sekarang mau ke mana?” tanya wanita itu.
“Cuma jalan-jalan aja, saya mau kenalin lingkungan ini ke teman saja,” jawab Abima masih dengan senyumnya.
“Kalau begitu hati-hati ya! Ibu juga pergi dulu karena harus antar anak Ibu ke sekolah dan harus pergi belanja habis itu.” Pamitnya kepada kedua laki-laki muda tersebut. “Sudah jam segini juga soalnya takut Dini terlambat ke sekolahnya, semoga kalian menikmati waktu kalian berdua di sini ya.”
“Hati-hati juga Ibu sama Dini!” sahut Abima dan Galih secara bersamaan sebelum akhirnya membiarkan wanita itu keluar lebih dulu dari gerbang depan karena dia sudah terlihat seperti terburu-buru. Mereka terlalu asik mengobrol sampai tidak kenal waktu dan tahu-tahu sudah jam segini.
Abima dan Galih juga tadi sempat menyalimi tangannya terakhir kali sebelum wanita itu pergi, sebagai tanda kesopanan dengan yang lebih tua tentu saja. Sekarang mereka sudah ditinggalkan berdua lagi dan Galih hanya akan menunggu rencana apa yang sekiranya akan Abima berikan kepadanya sebagai agenda jalan-jalan mereka di kompleks perumahan Abima.
Keduanya akhirnya keluar dari gerbang utama dan tidak lupa mengunci gerbang itu dulu sebelum pergi. Abima dan Galih memang tidak akan lama, tapi untuk berjaga-jaga lebih baik gerbangnya dikunci saja karena Ibu Rina juga memiliki kunci kedua sehingga dia bisa langsung membuka jika pulang lebih dulu dibandingkan mereka berdua.
“Lo sama keluarga Ibu Rina itu udah dekat banget, ya, Bim?” tanya Galih yang memulai pembicaraan lebih dulu dalam perjalanan mereka pagi itu. Dia sungguh penasaran mengapa Abima bisa sedekat itu dengan penyewa rumahnya sendiri.
“Iya, dekat banget. Soalnya mereka baik sih sama gue jadi gue juga mengimbangi untuk terus bersikap baik sama mereka. Lo kan tahu gue tipe orang seperti apa, kalo ada orang baik ke gue maka gue juga akan membalas dengan lebih baik,” jawab Abima.
Galih langsung mengangguk setuju. “Iya, gue tahu banget lo gimana. Memangnya keluarga mereka menyewa dari kapan? Udah berapa tahun tinggal di lantai satu rumah lo?”
Abima tidak langsung menjawab, ia tampak sedang berpikir untuk mengingat-ingat waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan Galih barusan. Abima sedang berusaha menggali ingatannya sendiri untuk bisa menemukan satu fakta tersebut. “Kayaknya sekitar dua atau tiga tahun, gue nggak tahu pastinya karena udah lupa tapi kurang lebih selama itu.”
“Udah lama juga ya ternyata,” komentar Galih lagi.
Dia jadi tahu alasan mengapa Abima bisa sedekat itu dengan keluarga Ibu Rina, karena nyatanya mereka memang sudah tinggal di sana dalam waktu yang cukup lama. Sewaktu kelas satu dulu Abima biasa pulang ke Bandung setiap satu bulan sekali untuk menengok rumahnya tersebut sehingga dia memang sering sekali bertemu dengan keluarga penyewa dari lantai satu rumah lamanya tersebut.
Awalnya memang terasa canggung, namun lama kelamaan pembicaraan mereka mengalir begitu saja dan Abima jadi senang mengobrol bersama keluarga bawah itu. Begitulah yang terjadi beberapa tahun lalu dari mengapa sekarang Abima menjadi sangat akrab dengan mereka.
“Kalau ada orang baik kayak mereka yang jagain rumah lo, jadi lo nggak akan khawatir sih ya, karena seenggaknya lo udah tahu kalau mereka itu orang baik yang nggak akan melakukan hal macam-macam ke rumah lo,” kata Galih lagi yang kini menyuarakan pendapatnya.
“Itu bener banget, gue juga berpikiran hal yang sama makanya gue tenang aja walaupun ninggalin rumah dua bulan kemarin karena sibuk karena gue udah tahu kalau ada yang jagain lantai satu. Walaupun faktanya yang lantai dua jadi berdebu karena lama nggak dibersihin, tapi enggak apa-apa, gue bisa pulang lagi nanti di lain waktu buat bersih-bersih. Semua pasti bisa gue sempetin kalau ada waktu,” jawab Abima santai.
Galih mengangguk setuju dengan kalimatnya itu. Mereka berdua pun kembali meneruskan langkah, tujuan utama mereka adalah toko kelontong di ujung gang karena Abima tadi sempat menawarkan untuk membeli es krim. Mendengar itu tentu saja Galih jadi ingin, maka dari itu mereka segera pergi tanpa perlu menunggu apa pun lagi.
Lagipula waktu mereka juga masih banyak, jadi tak perlu khawatir akan pulang terlalu malam. Taman kota itu dekat, tidak sejauh yang mereka pikirkan.
“Lih, lo tahu nggak, ini dulunya rumah ketua lingkungan di sini. Cuma setahu gue keluarganya juga udah pindah ke Jogja barengan sama waktu gue mulai merantau ke Jakarta, jadi sekarang ketua lingkungannya baru lagi. Tapi gue kurang tahu sih yang baru yang mana, mungkin Ibu Rina tahu,” Abima mulai memperkenalkan satu per satu rumah yang ada di sana beserta dengan penghuninya.
Sedangkan Galih hanya bisa menyimak saja dan mendengarkan dengan teliti setiap hal yang dikatakan oleh laki-laki itu. Apa pun yang akan dikatakan oleh Abima pasti akan Galih dengarkan, sebab dia tidak tahu banyak tempat ini dan hanya Abima saja yang pernah tinggal di sini.
“Kalo yang ini rumah temen gue waktu masih kecil, salah satu yang sempet ngantri ayunan yang tadi gue ceritain. Gue kadang masih suka komunikasi nih sama dia buat tanya kabar aja sih, cuma enggak dekat banget. Gue sekarang enggak tahu nih anaknya ada di rumah atau enggak, tapi gue juga nggak mau manggil.”
“Terus kalo yang ini rumah guru gue waktu sekolah dasar. Dulu gue sering datang ke sini juga soalnya sempet les sama beliau, tapi sayang beliau udah nggak ada. Kalau nggak salah dia meninggal sekitar tiga tahun lalu, gue pun dapat kabarnya dari temen gue yang tadi. Sayang banget, padahal gue juga cukup deket sama dia. Sekarang rumahnya ditinggalin sama anaknya.”
“Nah, ini kita udah sampai di toko kelontongnya! Gue udah agak lama sih nggak ke sini, tiap pulang juga gue jadi jarang mampir jadi jangan sebut nama gue ya. Nanti kalo ngobrol bakalan lama banget, soalnya penjaganya suka ngobrol jadi buat menghemat waktu mending lo aja yang beli es krimnya dan gue bakalan tunggu di luar biar dia nggak ngenalin gue siapa.”
Kalimat terakhir dari Abima membuat Galih langsung terbahak kencang, padahal sejak tadi dia sudah menyimak dengan benar dan menyimpan semua informasi di dalam kepalanya dengan sangat baik. Tidak penting juga, untuk apa Galih mengingat siapa saja pemilik rumah di kompleks ini? Jika hanya mendengarkan saja maka tidak apa-apa, tapi entah mengapa dia justru refleks ikut mengingat seperti apa yang sudah Abima lakukan kepada dirinya sendiri.
Namun, setelah mendengar penjelasan terakhir Abima, Galih sungguh tidak bisa menahan tawanya. Kenyataannya, Abima benar-benar menunggu di luar toko karena tak mau bertemu dengan si penjual, sebab seperti apa yang dia bilang bahwa si pemilik ini suka mengobrol. Bisa-bisa waktu mereka akan banyak terbuang jika pemilik itu mengenali siapa Abima.
Sudah bisa ditebak pertanyaan apa saja yang mungkin akan diajukan oleh pemilik tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindarinya Abima memilih untuk tidak ikut masuk ke dalam. Dia membiarkan Galih memilih es krim yang dia inginkan sekaligus membelikan punya Abima juga. Setelah selesai barulah mereka kembali melanjutkan perjalanan untuk berkeliling di daerah ini.
Abima juga mengajak Galih untuk menepi sebentar di taman kompleks yang sudah lama tidak Abima datangi, padahal ada banyak sekali kisah tentang masa kecilnya di tempat itu. Abima sungguh tumbuh dan berkembang di sana, bermain bersama teman-temannya hingga sore menjemput bahkan terkadang tak kenal waktu, dia baru akan pulang setelah Ibunya memanggil.
Pada pagi hari itu, Abima sungguh mengenalkan banyak hal kepada Galih. Dia turut membawa laki-laki itu untuk menyelami masa lalunya lewat sebuah nostalgia kecil dengan berkeliling pada tempat di mana Abima tumbuh. Kompleks ini sungguh menyimpan banyak kenangan di relung hati Abima sendiri, memiliki satu tempat khusus di memori ingatannya yang tidak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun.