Mendengar cerita Abima barusan membuat Galih jadi sadar bahwa ternyata bukan hanya dirinya saja yang memiliki kenangan masa kecil yang bisa terdengar aneh, sebab ternyata Abima juga memilikinya.
‘Ternyata bukan cuma gue aja kan, yang namanya anak kecil pasti punya masa-masa anehnya sendiri termasuk Abima yang sekarang besarnya justru keren dan pinter banget. Tapi ternyata waktu kecil dia juga bisa jadi aneh cuma perkara ayunan yang nggak mau dipinjemin ke anak-anak lain.’ Galih langsung mengangguk-angguk kecil, akhirnya dia sudah tahu bahwa bukan hanya dirinya saja yang aneh di sini.
“Lo dulu waktu kecil cemburuan banget ya ternyata,” Galih memberikan responnya setelah mendengar semua cerita Abima. Benar seperti apa yang dia beritahu di awal, ternyata ceritanya tidak kalah seru dari milik Galih sendiri. “Tapi kayaknya kalo gue jadi lo, gue juga bakalan nangis deh sampai guling-guling di depan Papa sama Mama gue biar mereka tahu kalo gue nggak mau ayunannya dimainin sama orang lain.”
“Itu mah lo aja yang lebay. Gue memang nangis tapi nggak sampai guling-guling, itu mah memang lo banget sih, Lih. Kayaknya gue nggak heran kalo lo memang sampai kayak gitu waktu kecil,” canda Abima, namun nada suaranya terdengar serius sampai Galih mendengkus kesal dibuatnya.
“Nista banget sih gue di mata lo,” balasnya pura-pura sedih.
“Bercanda gue, jangan diambil hati gitu dong. Sekarang gantian lagi, giliran lo kan yang cerita?” tutur Abima mengingatkan perjanjian mereka sebelumnya.
Terakhir yang bercerita adalah Abima dan sekarang memang giliran Galih untuk melanjutkan lagi. Mereka masih memiliki beberapa waktu untuk melanjutkannya lagi, cerita-cerita Galih pasti terdengar seru sehingga Abima jadi ingin mendengarnya lagi.
“Oh, iya, sebentar biar gue pikir-pikir dulu punya cerita apa lagi.” Galih menaruh jemarinya di bawah dagu untuk memikirkan cerita apa lagi yang ia miliki tentang masa kecilnya, seingatnya sih ada banyak sekali, tapi karena sudah lewat beberapa tahun yang lalu jadi ingatan-ingatan itu tentu saja sudah sedikit mengabur.
Dua menit menunggu, akhirnya Abima mendengar laki-laki di sebelahnya itu memekik girang. “Gue inget!” kata Galih dengan bersemangat. “Ini kayaknya bakalan singkat soalnya gue nggak ingat-ingat banget, tapi lumayan lah bisa untuk diceritain. Jadi, dulu tuh waktu ulang tahun gue—tapi gue lupa buat umur yang ke berapa, gue pernah minta mama gue untuk bikinin gue kue ulang tahun. Mereka sempat nawarin untuk beli aja, tapi gue nggak mau dan minta kue bikinan mama gue aja, akhirnya karena gue terus merengek mereka pun kasih apa yang gue mau.
“Waktu itu mama gue beneran bikin kuenya, tapi waktu lagi nunggu di oven ditinggalin tuh sama mama gue terus dia pergi gue lupa dia ke mana. Tapi waktu itu gue masuk ke dapur karena gue udah nggak sabar buat lihat kue ulang tahunnya. Gue cari-cari sampai naik ke atas kursi buat lihat di atas meja dapur karena kan gue pendek ya, jadi susah buat cari barang yang gue mau. Gue sampai ngacakin meja dapur waktu itu, karena belum paham banget gue mainan sama tepung yang sisa jadi kayak ikutan buat kue gitu sampai muka gue cemong di mana-mana.
“Terus karena bosen gue cari lagi kuenya dan gue baru sadar itu ada di oven gitu, gue pikir tuh oven kayak kulkas yang bisa langsung gue buka terus gua ambil kuenya. Tapi ternyata waktu ovennya gue sentuh panas banget dan jari gue langsung melepuh karena kena panas tinggi. Waktu itu gue langsung nangis kenceng terus papa sama mama gue langsung samperin ke dapur dan kaget lihat gue yang udah dalam keadaan cemong dan nangis kenceng karena jari gue panas abis pegang oven. Jadi, gitu sih kejadiannya, gue memang nggak ingat pasti, tapi gue yakin itu yang terjadi. Gue jadi yakin kalo dulu waktu masih kecil memang udah bodoh banget, nyatanya gue megang oven yang masih panas.”
Abima langsung terbahak kencang mendengar semua cerita Galih, terutama pada bagian akhir dari kalimat yang dia katakan. Tentu saja Abima tahu kalau Galih itu termasuk tipe orang yang asal bicara tanpa perlu repot-repot merevisi kalimatnya sendiri, akan tetapi semua kalimatnya selalu menjadi lucu untuk bisa Abima dengar. Maka dari itu, dia merasa sangat senang mendengar cerita Galih.
“Dulu kan lo masih kecil, jadi wajar lah kalo nggak paham kalo yang lo sentuh itu namanya oven. Kalo udah paham juga kayaknya nggak mungkin lo mau sentuh itu ovennya,” respon Abima sebagai jawabannya. Dia sungguh tidak habis pikir dengan isi kepala Galih dan bagaimana cara laki-laki itu berpikir.
“Iya sih bener, jadi bukan salah gue kan ya?” tanyanya.
“Lo inget nggak dulu kena marah atau enggak?” tanya balik Abima.
Galih langsung menggeleng cepat. “Mungkin karena gue nangis jadi orangtua gue nggak tega buat marahin. Akhirnya gue malah diungsikan dari dapur dan disembuhin tangannya. Gue inget sih mereka cuma bilang beberapa hal yang nyuruh gue buat nggak dekatin dapur lagi, dan gue disuruh buat nggak selalu penasaran sama banyak hal karena itu cuma bikin gue celaka. Nyatanya bener gue malah mencelakai diri gue sendiri.”
Abima tertawa lagi. “Dari kecil lo memang ajaib,” komentarnya jujur, “bahkan sampai remaja juga masih ajaib sih menurut gue, soalnya kalau dengar dari cerita-cerita lo sebelumnya. Lo beneran nggak berubah banyak, Lih. Tapi enggak apa-apa, semua sikap itu yang justru jadi ciri khas tersendiri buat lo untuk menjadi beda dari orang lain,” lanjutnya memberi penjelasan.
“Makasih banget loh, Bim. Gue beneran merasa tersanjung dengar penjelasan lo itu. Kalo lo yang jelasin gue beneran kelihatan kayak anak ‘bener’ gitu. Bukan kayak anak-anak yang jahat gitu dan salah pergaulan,” balas Galih, kedua matanya sudah berbinar penuh rasa senang hanya karena satu penjabaran Abima tentangnya.
“Mulai deh, udah jangan gini, gue jadi geli,” jawab Abima yang kontan saja langsung menjauhkan wajah sahabatnya itu dari dekatnya.
Selama berteman dengan Galih, Abima tidak menemukan banyak sifat buruk darinya. Daripada dibilang buruk, Galih itu lebih seperti seseorang yang ingin banyak tahu. Dia termasuk tipe orang yang ingin mencari tahu banyak hal dan kemudian mencobanya, nanti ketika Galih sudah merasakannya maka dia hanya tinggal memilih apakah harus melanjutkan atau berhenti.
Seperti itu lah Galih di mata Abima sejak dulu bahkan sampai sekarang. Tidak ada yang berbeda darinya.
Namun, semua rasa penasaran itu juga tidak mengarah kepada hal yang buruk. Ketika Galih hampir salah dalam memilih lingkungan ataupun ketika dia terjebak sendiri dalam sesuatu yang salah, maka di sanalah tugas Abima sebagai teman untuk mengingatkan dan kembali menariknya ke lingkungan yang benar. Abima tidak akan melepaskan Galih begitu saja, sebab dia tahu bahwa laki-laki itu masih memiliki bimbingan walaupun dia sudah dewasa.
Galih itu sangat mudah terpengaruh oleh orang lain, maka dari itu terkadang dia suka terjebak dalam pergaulan yang salah.
“Ini masih mau lanjut cerita apa udahan aja? Sekarang udah jam berapa sih?” pertanyaan tiba-tiba dari Galih membuat Abima sedikit terkesiap dan langsung kembali tersadar, dia baru saja mengingat sedikit tentang sosok Galih dalam ingatannya, namun laki-laki itu malah mengagetkan Abima dengan suaranya sendiri.
Abima mengambil handphonenya di atas meja dan melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Dirinya dan juga Galih ternyata sudah harus berkemas agar tidak ada perlu terburu-buru ketika pergi nanti. Namun, rasanya Abima enggan untuk bangun dari kursi dapur, sepertinya tidak apa-apa jika mereka beristirahat sedikit lebih lama, lagipula Abima juga sudah memperhitungkan waktu yang akan mereka jalani nanti dan jika dia tidak salah hitung maka mereka bisa berangkat sekitar pukul sepuluh atau sebelas siang nantinya.
Agenda mereka hari ini pasti akan lancar dan Abima yakin akan hal itu.
Ngomong-ngomong, percakapan mereka pagi ini sungguh menyenangkan sekali, Abima tidak menyangka bahwa sarapan pagi bersama Galih justru akan membawanya untuk bernostalgia ke masa lalu dan mengingat hal-hal yang sempat terlupakan oleh dirinya sendiri. Mungkin untuk sebagian orang, membahas hal semacam ini adalah sesuatu yang sangat membosankan, tapi kenyataannya tidak semembosankan itu.
Abima justru merasa senang dan bahagia karena pada akhirnya dia bisa mengingat lagi bagian-bagian kecil yang sempat terlupakan dalam hidupnya. Memang tidak mudah untuk mengingat itu semua, sebab ingatannya pun sudah mengabur dimakan usia. Belasan tahun sudah terlewati dan jangka waktu itu terbilang sangat lama untuknya.
Apalagi, Abima bukanlah tipe orang yang suka menulis sebuah diary ketika kecil, jadi dia tidak bisa membaca tulisannya sendiri sebagai bentuk pengingat tentang apa saja yang pernah terjadi di masa lalunya. Mungkin jika ada sebuah catatan kecil yang pernah dia tinggalkan, akan sedikit lebih mudah bagi Abima untuk mencari memori-memori masa kecilnya tersebut.
Tidak apa-apa jika tidak bisa mengingat semuanya, hanya sebagian kecil ingatan saja sudah berhasil membuat Abima merasa begitu bahagia.
Jika boleh jujur, sebenarnya Abima sangat rindu sekali dengan masa kecilnya. Hari-hari di mana dia masih tak tahu tentang apa itu masalah, yang dia ketahui hanyalah bermain saja dan meminta sesuatu ketika ingin, dan jika keinginannya tidak terpenuhi maka Abima bisa menangis dengan kencang agar kedua orangtuanya mau menuruti apa yang dia inginkan.
Sungguh mudah menjadi seorang anak kecil, kita juga tidak perlu takut akan masa depan yang menanti, sebab otak di dalam kepala kita masih belum bisa menangkap arti sesungguhnya dari masa depan. Kita pun tidak bisa meraba apa-apa dan hanya bisa menunggu saja sampai kita dewasa. Di masa kecil, sungguh tidak ada hal memusingkan yang perlu ditakutkan karena semua akan berjalan lancar jika ada orang dewasa di sekeliling kita dan orang dewasa yang Abima maksudkan tentu saja orangtuanya.
Terkadang ada keinginan di dalam kepala Abima untuk kembali, jika ada seseorang bertanya apakah dia ingin kembali ke masa lalu atau tidak? Tentu saja jawabannya adalah ingin. Abima ingin kembali pada masa di mana kedua orangtuanya masih ada, mereka masih hidup dan berada di sisinya. Abima masih ingin merasakan menjadi seorang anak dengan keluarga yang lengkap, sebab menurutnya terlalu cepat Tuhan mengambil Ayah dan Ibunya untuk dibawa ke atas sana. Abima masih ingin melihat mereka dalam waktu yang lama, sayangnya Tuhan tidak mengizinkan hal tersebut.
Abima telah berhasil melewati masa-masa kehilangan kedua orangtuanya, meskipun berat tapi pada akhirnya dia bisa bertahan dan sekarang masih bisa hidup dengan tenang. Ada banyak orang baik di sekelilingnya dan Abima amat sangat menghargai hal itu. Kehadiran mereka semua menjadi alasan dari mengapa dirinya masih ingin hidup dalam waktu yang lama dan tidak ingin cepat-cepat menyusul kedua orangtuanya di atas sana.
Abima tahu bahwa ayah dan ibunya pasti sangat ingin melihat Abima sukses. Mereka selalu memperhatikan Abima dari atas sana dan mereka tentu melihat setiap perkembangan yang ada dalam diri Abima. Karena Abima juga tahu bahwa dirinya diawasi, maka dari itu Abima ingin tumbuh dewasa tanpa harus mengecewakan kedua orangtuanya.
Abima berusaha tumbuh di lingkungan yang baik, menjalani hari-harinya dengan sangat baik dan menghindari segala kesalahan yang mungkin saja akan membuatnya terkena sebuah masalah. Abima berusaha hidup dan tumbuh dewasa menjadi anak yang tak memiliki banyak masalah, sebab dia ingin kedua orangtuanya bangga ketika memperhatikannya dari atas sana.
Abima sangat menyayangi mereka dan Abima juga ingin yang terbaik entah untuk mereka di rumah Tuhan ataupun untuk dirinya sendiri.
Hari ini Abima akan kembali mendatangi mereka, Abima ingin menjenguk karena sudah tidak datang dalam waktu yang cukup lama. Untung saja Galih mau menemaninya, jadi untuk kali ini Abima tidak perlu sendirian lagi, sudah ada teman yang akan menemaninya.
Abima memperhatikan Galih yang tengah memakan kacang polong dari toples pemberian penyewa bawah rumah di pagi tadi. Mereka sungguh sangat berbaik hati karena memberikan semua ini untuk Abima dan Galih, padahal Abima pikir dirinya hanya akan disambut saja ketika datang. Tapi ternyata keluarga penyewa di bawah sana melakukan hal yang lebih dan membuat Abima merasa sedikit tidak enak.
Tetapi, yang namanya rezeki tentu saja tidak boleh ditolak bukan. Abima dan Galih menerimanya dengan senang hati, mereka juga berhasil menghabiskan semua sarapan yang sudah diberikan dengan sepenuh hati itu. Mungkin nanti ketika Abima kembali lagi ke sini dari Jakarta, dia akan membawakan beberapa oleh-oleh yang dapat dia berikan kepada keluarga penyewa bawah tersebut sebagai rasa terima kasihnya.
Abima tiba-tiba saja berdiri, dia teringat untuk mengecek sesuatu. “Lih, gue ke kamar bentar, mau ambil kamera.” Kalimatnya itu langsung diangguki oleh Galih sebagai jawaban.
Tidak lama kemudian Abima kembali dari kamarnya dengan membawa tas kamera yang sudah tidak asing lagi dalam pandangan Galih. Karena terlampau sering bersama laki-laki itu, membuat Galih jadi sangat tahu apa saja barang-barang milik Abima yang sering laki-laki itu bawa dan kamera adalah salah satunya. Tapi jika pergi ke sekolah, Abima tidak sering membawanya, kecuali jika ada acara besar yang mengharuskannya ikut bertugas menjadi seksi dokumentasi.
Galih membiarkan Abima sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak ingin mengganggu laki-laki itu, sedangkan dirinya pun masih memakani kacang polong yang sudah mereka dapatkan dari keluarga penyewa yang ada di lantai bawah. Namun, karena yang namanya Galih tidak akan bisa diam dalam waktu yang lama kecuali ketika dia sedang tertidur, akhirnya laki-laki itu pun kembali melontarkan tanya kepada Abima.
“Bim, ngomong-ngomong, lo udah susun rencana hari ini mau ngapain aja? Kita bakalan ke mana aja gitu, lo udah tahu?” Galih yang tengah menikmati camilan di atas meja dapur pun bertanya kepada Abima, dia tidak tahu rencana apa saja yang akan mereka lakukan hari ini, jadi agar tidak kebingungan maka dari itu dia mempertanyakannya agar tahu apa saja yang ingin Abima lakukan bersamanya di hari ini.
“Udah kok, gue udah pikirin semalam mau ngapain aja,” sahut sahabatnya tersebut. Abima tengah melihat-lihat isi kameranya untuk memastikan apakah masih banyak sisa slot kosong yang dia pakai untuk memotret di hari ini, jadi dia tidak menoleh ke arah Galih ketika menjawab. Tapi tentu saja Abima masih bisa mendengar dengan jelas apa yang Galih katakan.
“Gue boleh tahu nggak kita bakalan ke mana aja? Atau lo nggak mau kasih tahu jadi kayak kasih kejutan aja buat gue?” tanya Galih, sudah memiliki ekspektasi.
“Kejutan kayak apaan aja, gue cuma ajakin lo hunting foto bukan mau kasih kejutan. Ekspektasi lo ketinggian. Tapi, sebenernya gue ada pilihan sih, ini tergantung aja lo maunya yang mana mumpung masih jam setengah delapan jadi lo bisa nentuin pilihan,” sahut Abima mengutarakan apa yang dia pikirkan.
“Oke, kalo gitu kasih tahu gue biar gue pilih.”
Abima meletakkan kameranya di atas meja, dia sudah selesai mengecek apa yang dirinya butuhkan dan tidak ada masalah sejauh ini. Jadi, sekarang Abima kembali memfokuskan dirinya kepada Galih untuk memberikannya penjelasan.
“Jadi tuh, sebenernya agenda kita hari ini ada tiga. Pertama kita harus ke makam orangtua gue dulu waktu pagi, terus siangnya kita lanjut hunting foto dan selesai hunting kita bakalan kulineran. Gue mau ajakin lo makan di tempat-tempat enak yang dulu sering gue datangi waktu kecil, tiap kali datang ke Bandung buat tengok orangtua gue pun, gue selalu mampir ke beberapa tempat makan itu,” jelas Abima.
“Wih! Seriusan lo mau ajakin gue kulineran?!” tanya Galih dengan kedua matanya yang berbinar penuh rasa antusias.
“Iya, serius, buat apa juga gue bohong sama lo. Mumpung lo lagi di sini dan lo juga bilang belum pernah ke Bandung kan? Makanya gue pingin kenalin sedikit ke lo kayak apa sih Bandung itu sebenernya.” Abima mungkin memang hanya menghabiskan masa kecilnya di Bandung dan ketika beranjak dewasa dia justru pindah merantau dengan bersekolah ke Jakarta. Tapi bukan berarti Abima jadi kehilangan seluruh wawasannya tentang kota tempat dia lahir tersebut.
Abima justru banyak mengerti dan masih ingat betul beberapa hal yang dulu sering diceritakan oleh kedua orangtuanya ketika dia kecil. Abima pun sering makan di luar bersama kedua orangtuanya, jadi tak heran jika Abima lebih banyak mengetahui tempat-tempat makan yang enak di kota ini.
Senang rasanya jika bisa membagi itu semua kepada Galih yang tidak tahu apa pun soal Bandung. Abima juga senang karena pengetahuannya ternyata berguna untuk bisa dia ceritakan kepada orang lain. Jika masih ada kedua orangtuanya di sini, mereka pasti amat sangat bangga kepada Abima yang bisa membuat orang lain merasa senang untuk berkunjung ke kota ini.
“Tadi lo bilang ada pilihan yang harus gue pilih, terus pilihannya apa? Gue sih senang aja kalo lo mau ajakin gue kulineran, soalnya lo kan tahu banget gue memang suka makan. Atau jangan-jangan lo sengaja masukin agenda kulineran ke jadwal kita hari ini karena lo kan udah tahu kalo gue suka makan?” tebak Galih yang tentu saja langsung tepat sasaran.
Abima hanya bisa cengengesan karena alasannya sudah ketahuan lebih dulu oleh sahabatnya itu. Galih memang memiliki firasat yang kuat, dia pasti mudah tahu tentang rencana yang sudah Abima susun untuknya. “Iya, gue memang masukin agenda kuliner karena gue udah tahu lo suka makan. Kita udah temenan dua tahun lebih, jadi gue udah tahu banyak tentang lo Galih.”
“Lo benar juga,” Galih mengangguk setuju. “Jadi, apa pilihannya?”
“Ini tentang hunting foto sih, tapi ada hubungannya juga sama kulineran yang bakalan kita jalanin. Gue tuh sebenernya punya dua pilihan tempat buat hunting foto hari ini, pertama gue mau ngajakin lo ke daerah puncak yang juga sering didatangi sama banyak orang tapi minusnya kalo kita pergi ke sana bakalan makan lebih banyak waktu dan kalo sesuai hitungan gue kita bakalan sampai di rumah lagi waktu udah malam, jadi waktu kita lebih banyak abia di jalan dan kita bakalan jadi capek banget. Minus lainnya adalah kulinerannya nggak bisa ke beberapa tempat, cuma bisa makan di sana aja karena waktu kita udah kebuang banyak cuma untuk hunting foto.
“Terus yang kedua gue pingin ajakin lo ke taman kota aja, ini yang paling gampang sih pilihannya. Taman kota Bandung juga bisa jadi tempat gue hunting karena temanya juga sesuai dan gue bisa dapetin banyak gambar bagus di sana. Selain itu, kalo kita pergi ke taman kota kita nggak akan menghabiskan banyak waktu jadi pulang juga bisa lebih cepet, terus kita nggak akan sampai rumah kemalaman. Tapi yang paling penting dari taman kota, tempat kulinerannya lebih deket jadi kalo mau ke sana lebih mudah, kita juga jadi bisa datengin banyak tempat buat kulineran.
“Sekarang pilihannya gue serahin sama lo soalnya kan niat gue ajak lo ke Bandung karena pingin lo rasain sesuatu yang memang lo pingin. Mau itu ke daerah puncak atau sekadar taman kota gue nggak masalah sama dua-duanya karena gue tetap bisa dapetin potret yang bagus dari dua tempat itu. Jadi, sekarang keputusan terakhirnya gue kasih ke lo. Lo mau ke mana Galih?”
Galih tak langsung menjawab pertanyaan Abima, tentu saja dia berpikir lebih dulu untuk pilihan mana yang sekiranya akan sangat menyenangkan untuk dilakukan. Untuk tempat tentu saja daerah puncak akan lebih indah daripada sekadar taman kota, hanya saja jika mereka nekat pergi ke taman kota hari ini maka akan ada dua kerugian yang mereka dapatkan.
Pertama soal waktu, kedua soal tidak bisanya mereka mendatangi banyak tempat untuk makan.
Jika dipikir-pikir kembali, sebetulnya memang lebih menguntungkan jika mereka mengambil pilihan kedua. Taman kota juga tak kalah indah, Galih pernah melihat di internet bahwa taman kota yang ada di Bandung lebih indah dan terawat tempatnya. Daripada hunting foto, sebenarnya Galih lebih mengincar soal kulinerannya, sebab dia memang hobi makan beda dengan Abima yang memang hobi memotret. Jadi, tentu saja Galih sudah mengetahui jawabannya.
“Gue pilih pilihan yang kedua deh, kayaknya memang lebih baik kita ke taman kota aja. Tempatnya lebih strategis dan lebih mudah buat didatangi ‘kan? Lagipula kita bisa dapat banyak keuntungan kalo perginya ke taman kota. Nanti kalo seandainya lo ada pergi ke Bandung lagi dan punya rencana untuk hunting di daerah puncak, gue bisa ikut lagi dan gue bisa pergi ke sana. Masih ada kesempatan lain.” Galih tersenyum lebar, merekomendasikan diri untuk kembali ikut jika seandainya nanti Abima memiliki rencana untuk kembali ke kota ini.
Abima ikut tersenyum, tentu saja dia tidak masalah jika nanti Galih memang ingin ikut lagi dengannya. “Oke, nanti kalo gue ada rencana ke sini lagi dan bakalan hunting ke puncak, gue pasti ajakin lo lagi biar lo bisa tahu tempatnya,” jawab Abima, dia serius dengan jawabannya barusan.
“Kalo gitu kita berangkat kapan?” tanya Galih lagi yang sudah tidak sabaran.
“Kalo cuma ke taman kota kita bisa berangkat jam sepuluh nanti. Masih ada banyak waktu buat santai-santai dulu. Lo terserah mau ngapain, kalo mau jalan-jalan juga boleh itu di ujung gang ini ada toko, siapa tahu lo mau jajan. Bawa uang nggak? Ini gue kasih kalo nggak ada,” tawar Abima kepadanya.
“Kalo gue jalan-jalan, nanti lo ngapain?” tanya Galih lagi, dia bingung kenapa Abima tak ikut serta menawarkan diri untuk pergi bersamanya.
“Enggak ngapa-ngapain sih paling cuma cek barang dan main handphone aja, lo mau gue temenin?” tanya Abima.
“Iya lah! Nanti kalo gue nyasar kayak gimana?” ujar Galih kesal. “Kita bisa cek barang nanti bareng-bareng, gue bantuin deh buat beres-beresnya biar lo nggak perlu pusing sendirian. Mending sekarang kita ke depan dulu karena jujur aja gue masih lapar dan gue mau jajan.”
Abima menghela napas pasrah, jika sudah begini mana bisa lagi Galih dibantah. Bahkan sekarang laki-laki itu sudah berdiri dan menarik tangan Abima untuk ikut pergi bersamanya. Baiklah, lagipula masih banyak waktu yang tersisa dan jika hanya beres-beres saja Abima yakin tidak akan memakan waktu yang lama. Jadi, daripada dia juga tidak tahu harus melakukan apa lebih baik ikut saja bersama Galih.
“Sebentar gue ambil dompet dulu,” kata Abima seraya melepaskan lengannya dari tangan Galih.
“Oh, iya, gue juga belum ambil dompet,” jawab Galih sambil menepuk keningnya.
Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam kamar masing-masing untuk mengambil dompet.
Jika tidak membawa uang nanti mereka akan membeli menggunakan apa?
Tentu saja tidak mungkin jika harus kembali lagi, sungguh melelahkan jika harus melakukan hal tersebut sekali. Setelah mengambil dompet, baik Abima dan Galih langsung keluar dari rumah di lantai dua. Mereka turun dengan berhati-hati menggunakan tangga yang ada dan keduanya bertemu dengan Ibu penyewa bawah sedang bersama dengan putrinya, sepertinya hendak mengantar putrinya tersebut untuk berangkat ke sekolah.
Lantas saja Abima tersenyum melihat kehadiran keduanya, tadi pagi dia tidak sempat bertemu ketika Ibu penyewa bawah itu memberikan makanan, sebab Abima masih tertidur dengan nyenyak, sehingga Galih lah yang menerima makanan itu darinya. Akan tetapi, untung saja mereka bertemu sekarang sehingga Abima bisa mengatakan terima kasih secara langsung kepada wanita paruh baya itu.