33. Obrolan Kecil

2351 Kata
Sungguh cukup komedi sekali pagi ini. Abima hanya tertawa kecil dan menyetujui perintah Galih tadi, pertanyaannya bisa dia simpan nanti ketika makan bersama laki-laki itu, lebih baik sekarang Abima membersihkan dirinya lebih dulu sebelum malah mengobrol lebih jauh dengan laki-laki itu. Masih ada banyak waktu untuk membicarakan banyak hal dengan Galih di sini karena mereka masih memiliki waktu sampai besok bukan? Tidak perlu terburu-buru dalam melakukan segala hal jika nyatanya semuanya bisa dijalankan dengan perlahan, jika memang nantinya ada sebuah kejadian yang tidak diinginkan dengan tiba-tiba terjadi begitu saja, barulah mereka berdua bisa terbilang panik dan waktu yang akan mereka habiskan di tempat ini mungkin saja akan berkurang. Akan tetapi Abima tidak mau terlalu memikirkan hal itu, akan lebih baik jika sekarang dirinya pergi ke kamar mandi dan segera membersihkan dirinya di sana. Lantas dengan begitu saja Abima langsung berbelok ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan semakin menyegarkan kepalanya sehabis bangun dari tidur yang nyenyak semalam penuh di hari kemarin. Tadi malam Abima memang sudah mandi, tapi pagi ini dia mandi lagi karena paksaan yang Galih berikan kepadanya. Tapi Abima juga memang sudah terbiasa mandi pagi dan tidak bisa melewatkan kebiasaannya yang satu itu, hanya butuh waktu lima belas menit hingga akhirnya laki-laki itu kembali lagi ke meja makan dan mendapati piring Galih yang sudah hampir kosong, sahabatnya itu sudah hampir selesai makan. “Lo di sini aja, temenin gue makan,” ujar Abima ketika melihat Galih bangkit dari kursinya ketika piring laki-laki itu sudah bersih. “Iya, Bim. Gue mau taruh piring kotornya dulu bentar sekalian cuci tangan. Oh, iya, nanti juga gue aja yang cuci piring sama punya lo sekalian,” balas Galih akhirnya benar-benar bangun dan menuju tempat cucian piring. “Gue aja Gal yang beresin, lo nggak perlu repot-repot.” “Enggak, nggak bisa gitu,” bantah Galih cepat. “Gue ikut karena gue yang pingin, walaupun lo pemilik rumahnya tapi bukan berarti semua hal harus lo yang kerjain, gue juga mau bantu sedikit-sedikit yang bisa gue lakuin, jadi lo jangan bantah, udah sekarang mending lo makan aja sana.” Abima terkekeh melihat raut serius dari wajah Galih. “Oke, kalo gitu,” putusnya tidak mau membantah lagi. Padahal Abima juga tidak masalah jika harus dia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah ini karena Abima adalah pemilik resminya sedangkan Galih hanya tamu saja di sini. Namun, ternyata sahabatnya itu tidak mau jika dia hanya datang, menumpang dan mendapatkan kesenangan saja, ternyata laki-laki itu juga mau membagi tugasnya bersama Abima. Tentu saja Galih merasa sangat tahu diri bahwa dia tidak bisa hanya menumpang saja di sini sedangkan Abima yang mengurus semua pekerjaan rumah walaupun hanya dua hari saja mereka tinggal. Jika hanya pekerjaan kecil seperti mencuci piring Galih juga bisa melakukannya, dia sudah diajak untuk hunting foto bersama Abima saja sudah senang bukan main, maka dari itu Galih tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, dia juga harus membalas budi kepada Abima yang sudah meyakinkan diri untuk mengajaknya. Kalau saja Abima tidak mengajaknya untuk ikut ke Bandung kemarin, mungkin Galih sudah habis bersama dengan teman-temannya yang lain tanpa melakukan apa pun. Galih juga sebenarnya merasa bahwa perkumpulan itu tidak membawa untung untuk dirinya sendiri dan membuatnya malah merasa tak nyaman tiap kali berada di sekitar anak-anak yang sok berkuasa itu. Akan tetapi, Galih kan memiliki niat tersendiri mengapa dia ingin bergabung dengan mereka. Tentu saja Galih tidak bisa melupakan tujuannya untuk menarik perhatian para gadis di sekolah. Galih memang memiliki sedikit obsesi untuk menjadi terkenal, dia ingin orang-orang mengenalnya dengan baik dan Galih tidak ingin menjadi siswa tertutup yang tidak banyak dikenal orang. Maka dari itu Galih melancarkan rencananya untuk bergabung bersama anak-anak yang memang sudah terkenal cukup nakal untuk bisa mendapatkan banyak perhatian. Namun, sepertinya Abima tidak memiliki pemikiran yang sama sepertinya karena laki-laki itu justru menentang keras untuk bergaul bersama mereka. Daripada berkumpul dengan anak-anak tersebut, sepertinya Abima lebih memilih untuk belajar saja dan menghabiskan waktu di asramanya yang sangat dia cintai itu. Galih yang baru saja kembali dari menaruh piring pun duduk lagi di tempatnya semula selagi menunggu Abima menghabiskan waktu makanannya, waktu masih pagi sekali sehingga mereka tidak perlu terburu-buru, sekarang masih pukul tujuh kurang jadi memang masih banyak sekali waktu yang tersisa. “Ini tadi pagi si Ibu yang datang ke atas atau lo lagi di bawah dan nggak sengaja ketemu ketika dikasih makanannya, Lih?” pertanyaan tiba-tiba dari Abima membuat fokus Galih yang tadinya berada pada ponsel langsung teralihkan ke arah laki-laki itu. “Si Ibu yang datang ke lantai atas, pas banget waktu gue selesai mandi gue dengar suara orang ketuk pintu depan. Jadinya, gue samperin aja dan ternyata Ibu udah bawa makanan pakai nampan gitu,” jelas Galih memberitahu apa yang sudah terjadi di pagi tadi. “Lo udah bilang makasih kan ke Ibunya?” tanya Abima. “Iya, udah lah Abim. Masa iya udah dikasih makanan tapi gue enggak bilang makasih ke dia. Tadi juga Ibunya sempet nanyain lo sih dan gue bilang masih tidur, tadinya gue udah sempat nawarin buat bangunin lo kalo seandainya ada yang mau diomongin, tapi dia bilang nggak usah dan biarin aja lo tidur soalnya si Ibu cuma tanya aja,” ungkap Galih lagi, memberitahu semua hal yang terjadi ketika Abima masih berada di alam mimpinya. “Gue udah lama sih nggak ngobrol sama si Ibu, biasanya kalo pulang memang selalu ngobrol gitu waktu gue lagi nggak ngapa-ngapain. Nanti atau besok kalo lagi kosong gue samperin deh ke bawah buat ngobrol sebentar dan tanya kabar,” jawab Abima, lalu kembali fokus kepada makanannya lagi. “Lo nih memang tipikal anak berbakti yang ramah banget ya, Bim. Gue nggak heran lagi sih soalnya ini lo.” Kekehan kecil keluar dari bibir Galih, dia tidak menyangka bahwa dirinya bisa berteman dengan sosok Abima yang kenyataannya memiliki sifat yang sangat berbanding terbalik dari dirinya sendiri. Galih bisa bilang bahwa mereka berdua benar-benar sangat berbeda, entah dari sifat, karakter, prestasi, ataupun banyak hal lainnya. Lihat saja, ketika Abima selalu masuk ke dalam peringkat tiga besar di dalam kelas mereka, Galih justru selalu berada pada peringkat lima terbawah dari kelasnya, tapi dia masih bersyukur karena wali kelasnya masih memberikan dia naik kelas dan Galih juga yakin bahwa dirinya akan tetap diluluskan. Lalu untuk urusan sifat dan juga karakter, mereka juga sangat berbeda. Baik Galih ataupun Abima pun memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menatap kehidupan. Galih yang terus ingin mencari kesenangan, tetapi Abima yang ingin serius dengan semua hal yang dia kerjakan, sebab Abima pernah berkata kepadanya bahwa mereka sudah bukan anak kecil lagi jadi sudah tidak ada waktu bagi mereka untuk bermain. Sekarang ini, hal yang paling mereka butuhkan adalah belajar untuk mengejar masa depan mereka menjadi lebih baik. Namun, tentu saja Galih tidak bisa berpikiran seperti itu. Dia dan Abima memiliki pandangan yang berbeda dan untungnya merka tidak mempermasalahkan perbedaan itu dalam berteman, nyatanya walaupun sudah tahu kalau Galih sangat berbeda dengannya, Abima masih tetap ingin bermain dengannya dan tidak pernah meninggalkannya untuk berteman dengan orang lain. Terkadang Galih sampai bingung, padahal Abima tumbuh besar tanpa kehadiran orangtua di sisinya, tapi bagaimana mungkin dia bisa tumbuh menjadi laki-laki yang sangat baik hati dan memiliki wawasan yang sangat luas? Tentu saja Galih pernah merasa iri kepadanya karena dia tidak memiliki pandangan seperti Abima dan juga tidak memiliki kepintaran seperti laki-laki itu. Tetapi semua manusia diciptakan berbeda-beda jadi Galih hanya bisa bersyukur untuk keadaan yang dia miliki saat ini. Galih juga sadar bahwa Abima memiliki kekurangan dengan tidak adanya sosok orangtua dalam masa pendewasaannya, sedangkan Galih masih memiliki sosok orangtua yang lengkap di sisinya. Jadi, setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing. Ngomong-ngomong soal orangtua, Galih jadi ingat bahwa dia memiliki satu pertanyaan yang ingin sekali dia tanyakan kepada Abima sejak lama. Galih pun melirik ke arah Abima untuk memastikan bahwa sahabatnya itu sudah selesai makan dan sekarang sedang menghabiskan lauk pauk yang tersisa. “Bim, gue mau tahu sesuatu dong. Tapi, kalo lo nggak mau cerita juga nggak apa-apa sih, gue cuma penasaran sama sesuatu aja,” Kalimat tiba-tiba yang Galih ucapkan membuat fokus Abima jadi teralihkan sepenuhnya kepada laki-laki itu. Ia menghentikan segala kegiatan yang ada dan kini hanya menatap Galih dengan minat yang begitu besar. Atensinya diberikan semua kepada laki-laki itu, sebab Abima memang tipe pendengar yang akan langsung fokus kepada seseorang apalagi ketika sedang berbicara. “Sebentar, gue taruh piring kotor dulu,” katanya yang memang baru saja menyelesaikan makanannya. Abima pun berdiri dari tempatnya dan segera menaruh piring kotornya ke tempat cuci piring, setelahnya dia kembali ke meja makan dan melihat Galih. “Lo mau tanya apa? Kalo pertanyaannya nggak sulit pasti bakalan langsung gue jawab kok,” ujar Abima serius. Ia jadi penasaran kira-kira hal apa yang ingin Galih pertanyakan sampai harus memperhatikan perasaannya segala. “Beneran enggak apa-apa?” “Iya, beneran! Ih, kayak sama siapa aja sih lo,” sungut Abima terheran-heran, tidak biasanya Galih merasa ragu jika ingin bercerita seperti ini. “Kalo menurut gue ini pertanyaannya nggak susah sih, cuma karena kedua orangtua lo udah nggak ada, gue jadi agak ragu buat tanya, gue takut lo merasa nggak nyaman aja dan malah sedih kalo gue bahas orangtua lo,” ujar Galih memberitahu tentang kekhawatirannya tersebut. “Enggak apa-apa, Lih. Rumah ini juga kan bagian dari kedua orangtua gue, bahkan mereka yang lebih dulu ada di rumah gue sebelum gue lahir ke dunia ini. Gue akan selalu senang kalo diajak buat bahas kedua orangtua gue. Walaupun mereka udah nggak ada di dunia ini, bukan berarti mereka akan hilang dari hati dan pikiran gue,” jawab Abima jujur, laki-laki itu bahkan tersenyum untuk memberikan Galih pengertian. “Berarti lo nggak masalah?” tanya Galih. “Iya, gue nggak masalah sama sekali,” jawab Abima. “Oke, kalo gitu,” sahut Galih lagi, “gue sebenernya cuma pingin tahu sih, setiap rumah kan pasti punya kenangan yang beda-beda di mata setiap penghuninya. Gue pingin tahu dari sudut pandang lo, kira-kira kenangan apa aja yang masih lo ingat sampai sekarang tentang rumah ini? Spesifiknya tentang rumah ini dan juga keluarga lo yang terlibat di dalamnya. “Misalnya kayak gue nih, gue tuh punya ingatan masa kecil tentang rumah gue. Lo kan udah sering ya main ke rumah gue dan udah tahu kalo rumah gue tuh punya ruang bawah tanahnya. Jadi tuh, dulu waktu masih kecil gue pernah terperangkap di dalam ruang bawah tanah itu hampir tiga jam karena gue nggak sengaja kunci pintu dari luar. Untungnya Papa sama Mama gue cepet sadar kalo gue nggak ada sampai akhirnya mereka cari gue dan kemudian nemuin gue di ruang bawah tanah itu. Lo bayangin aja, gue terperangkap sendirian di ruang bawah tanah selama tiga jam, untung aja tempatnya nggak gelap dan banyak mainan gue juga di sana, jadi gue nggak takut dan main aja sih. Lagian untuk anak kecil apa lagi sih yang dipikirin selain main?” Abima terkekeh mendengar cerita Galih tersebut. Rasanya menyenangkan juga untuk berbagi pengalaman masa kecil seperti ini. Abima jadi banyak tahu tentang Galih, pun sebaliknya di mana Galih juga bisa tahu tentangnya. Abima tak keberatan untuk bercerita karena kenangan-kenangan itu tentu bukanlah menjadi suatu hal yang buruk untuk diceritakan. Abima akan mengingat-mengingat lembaran memori ingatan dari masa lampaunya, yang pasti tersimpan pada sudut ingatannya. Berupa kenangan masa kecil yang menyenangkan berada di rumah ini dan melibatkan kedua orangtuanya. Abima ingat bahwa dia punya banyak sekali ingatan itu. “Gimana kalo kita saling cerita satu-satu, jadi kayak gantian gitu?” usul Abima, yang kemudian langsung diangguki oleh Galih. “Boleh! Berarti sekarang lo, soalnya tadi gue udah cerita,” balasnya kemudian. Abima mengangguk, dia juga sudah punya satu cerita di dalam kepalanya sekarang. “Cerita gue mungkin nggak se-ekstrem cerita lo tadi. Tapi ini nggak kalah seru,” ujar Abima untuk memulai. “Gue lupa kapan tepatnya umur gue waktu itu, tapi yang pasti gue masih kecil. Jadi, dulu tuh di depan halaman sana pernah ada ayunan yang dibuat sama Ayah gue, gue masih inget banget gimana bentuknya, tapi sayang ayunan itu harus dirobohin dan diganti sama tempat untuk jemur waktu gue udah masuk SMP, soalnya aneh juga sih kalo gue masih main ayunan ketika gue udah beranjak remaja. “Waktu itu karena rumah gue tuh satu-satunya yang punya ayunan, jadi anak-anak dari rumah lain sering banget dateng ke rumah ini buat main ayunannya juga. Awalnya gue nggak masalah karena pikir gue bakalan seru kalo ada banyak temen di rumah, tapi lama-lama kok mereka makin banyak dan malah lama banget mainin ayunan gue sampai gue nggak kebaikan waktu buat main. “Dari situ gue marah banget dan nangis kenceng di depan rumah gue sampai kedua orangtua gue keluar. Mereka tanya ada apa dan gue bilang temen-temen gue itu jahat karena udah mainin ayunan gue. Tapi, mereka juga malah bela diri dan bilang kalo mereka mau punya ayunan. Akhirnya lo mau tahu apa yang ayah gue lakuin? Dia beneran bikinin ayunan buat semua anak-anak di komplek gue, ada beberapa orangtua yang bayar dalam bentuk makanan—karena ayah gue nggak mau dikasih uang. Tapi, dengan begitu semuanya jadi adil dan gue seneng karena udah nggak ada lagi yang mainin ayunan gue. “Tadinya gue sempat kesal juga karena ayah gue harus bikinin ayunan yang sama buat anak-anak lain. Tapi, pada akhirnya ayah gue merombak sedikit milik gue dan bikin ayunannya jadi lebih bagus dari punya yang lain. Ayah gue bahkan tambahin lampu di sekelilingnya jadi tiap malam bisa dihidupin itu dan ayunan gue jadi kelihatan cantik. Ini beneran random banget sih sebenernya, tapi dulu waktu masih kecil gue jadi seneng banget karena semua itu.” Laki-laki itu mengulas senyum tipis begitu dia selesai menceritakan kisah masa lalunya, menyenangkan sekali rasanya ketika dia bisa mengingat potongan masa lalu yang sempat terlupakan. Abima ingin berterima kasih kepada Galih yang sudah memberikan topik ini sebagai obrolan mereka, sebab tidak salah untuk membicarakannya. Abima malah senang karena bisa bernostalgia di masa lalu. Sejujurnya Abima memang sempat melupakan tentang insiden ayunan tersebut, namun karena Galih memintanya untuk berpikir akhirnya Abima bisa mengingat tentang kenangannya yang satu itu. Sangat lucu sekali jika harus dipikirkan ulang, bisa-bisanya Abima bersikap seperti itu sewaktu kecil, dia sungguh tidak habis pikir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN