32. Di Pagi Hari

3652 Kata
Abima mulai berpikir keras tentang kegiatan apa yang sekiranya bisa dia lakukan malam ini. Sejak tadi Abima disibukkan dengan ponselnya yang terus berdering karena pesan dalam grup chat asramanya tidak berhenti. Beberapa penghuni masih terus menjalin beberapa percakapan dengan sosok yang baru bergabung di dalam Asrama Kartapati dan Abima yakin bahwa pesan itu pasti sangat menyenangkan untuk dibaca. Namun, sayangnya kedua mata Abima sudah terlalu lelah untuk menatap layar ponselnya sendiri dikarenakan selama perjalanan tadi sore Abima memang menghabiskan banyak waktu untuk bermain game bersama Galih. Mungkin karena sudah terlalu lama menatap ponselnya, kedua netra Abima menjadi lelah dan mengharuskannya untuk beristirahat sejenak dari layar bercahaya tersebut. Abima tidak mau merusak matanya sendiri, dia terbiasa langsung berhenti ketika merasa bahwa keadaannya sudah tidak baik. Daripada nantinya malah memperparah, lebih baik Abima berhenti dan mengingatkan dirinya sendiri bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Abima akhirnya mematikan layar ponselnya, tak lupa menghidupkan mode silent lebih dahulu agar notifikasi yang terus masuk tidak akan mengganggunya dalam melakukan apa pun. Biarlah pesan-pesan itu Abima baca nanti pagi saja, dia juga masih memiliki waktu untuk membaca semua itu. Libur Abima di kota ini masih cukup panjang, alangkah lebih baiknya dia menikmati apa yang ada di sekitarnya daripada berpatokan dengan segala hal yang sedang jauh. Apalagi, Abima juga cukup jarang pulang ke rumahnya sendiri. Pastilah dia merasa rindu dengan semua hal yang ada di rumah ini dan setiap kali pulang, rasanya Abima seperti bernostalgia ke masa lampau untuk mengingat-ingat kenangan lama yang sempat terkubur dalam ingatannya. “Apa gue lihat-lihat album foto dulu kali ya? Mungkin abis lihat semua foto-fotonya gue bisa ngantuk,” gumam Abima kepada dirinya sendiri, sedang mencari kegiatan yang bisa dia lakukan untuk membuat dirinya segera mengantuk. Dengan keadaan kedua matanya yang begitu segar akhirnya Abima memilih bangkit dari kasurnya sendiri dan keluar dari kamar tidur. Abima mendatangi sudut bagian rumah, di mana terdapat beberapa kotak kardus yang sudah terlihat sangat usang dan berdebu. Abima bahkan lupa kapan terakhir kali dia menyentuh kotak-kotak tersebut dan melihat-lihat isi di dalamnya. Semua kesibukan yang dia hadapi dalam masa sekolahnya membuat Abima tak pernah sempat untuk membuka kotak tersebut. Abima terbatuk kecil ketika berusaha menggapai kotak-kotak itu, tapi dia berusaha untuk menahannya karena jika tidak begini maka sampai kapanpun dia tidak akan pernah membuka kotak itu lagi. “Kayaknya gue harus cari waktu untuk pulang lagi dan beresin semua ini, seenggaknya buat beberapa barang jadi nggak berdebu lagi dan bersihin semuanya satu per satu. Dengan begitu enggak akan ada kuman di rumah atas dan siapa pun yang datang bisa tinggal dengan nyaman.” Abima mencatat informasi tersebut di dalam ingatannya, dia akan mengingatkan dirinya sendiri untuk melakukan hal itu. Jika Abima terus menunda-nunda yang ada debu itu malah semakin banyak dan akan semakin sulit untuk membersihkannya. Abima yakin bahwa membersihkan semua barang peninggalan orangtuanya ini tidaklah lama, Abima hanya memerlukan tekad dan niat yang kuat untuk bisa menyelesaikannya. Lagipula, pasti akan terasa begitu menyenangkan. Abima bisa mengingat masa lalu sembari membersihkan barang-barang peninggalannya. Anggap saja seperti wisata masa lalu dari sebuah benda. Dengan begitu juga Abima jadi bisa kembali mengenang kedua orangtuanya lewat ingatan akan benda-benda tersebut. Abima tersenyum senang setelah memikirkan semua itu. “Ide bagus! Pokoknya gue harus pulang lagi nanti dan coba beresin semua barang-barang ini,” putus laki-laki itu akhirnya. Dia adalah si ahli pembuat rencana di dalam kepalanya dan Abima lebih sering ingat tentang setiap hal yang sudah dirinya rancang. Jika semesta memang memperbolehkan dan tidak akan ada kesibukan yang berlebihan dalam masa sekolahnya, Abima yakin bahwa dia pasti akan bisa kembali lagi dalam waktu dekat. Setidaknya Abima bisa pulang ke Bandung setiap satu bulan sekali untuk menengok rumahnya di lantai dua—sebab lantai satu sudah pasti terurus dengan benar karena ada penghuninya di sana. Jika dia bisa pulang sebulan sekali maka Abima juga bisa lebih sering menjenguk kedua orangtuanya ataupun membersihkan rumah yang sudah pasti akan berdebu, akan menyeramkan jadinya jika Abima meninggalkannya terlalu lama. Setelah menyusun rencana tersebut di dalam kepalanya dan sudah mengingat dengan benar akan rencana tersebut. Akhirnya Abima kembali melanjutkan kegiatannya lagi yang sempat tertunda. Dia mulai membuka kotak besar tersebut dan mulai mengeluarkan beberapa album foto dari sana untuk bisa dia lihat. Ternyata album-album itu juga berdebu di dalam sana sehingga Abima harus beranjak ke dalam kamarnya untuk mengambil tisu yang memang sudah dia persiapkan dibawa dari asrama siang tadi. “Kalo album foto di dalam kotak aja berdebu, berarti banyak dari barang-barang lain yang juga ada di dalam kotak pasti berdebu dong?” gumam Abima kepada dirinya sendiri, ingin sekali rasanya laki-laki itu mengecek untuk memastikan. Namun, tubuhnya enggan untuk beranjak lagi, dia terlalu malas untuk kembali berdiri. Alhasil, Abima membiarkan saja dan nanti dia akan mengeceknya jika sudah ada waktu dan jika memang Abima sudah memiliki keinginan. Jika ingin membereskan sesuatu memang terkadang membutuhkan niat yang besar, tidak bisa sembarang keinginan saja, sebab jika hanya terdapat keinginan maka akan sulit untuk melaksanakan rencana pembersihan tersebut. Dengan telaten Abima menghapus noda-noda debu dalam album foto lamanya. Pinggiran album foto itu pun sudah rusak, tentu saja lapuk di makan usia, memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Entah barang apa pun itu pasti juga akan bisa rusak jika lama tidak digunakan ataupun jika terlalu sering digunakan dan Abima sudah memastikannya sendiri. Dibukanya satu per satu lembaran pada album foto tersebut, Abima tersenyum lebar melihat potret dirinya ketika masih kecil dan memegang sebuah bunga. Abima langsung bisa mengingat foto itu ketika ayahnya memberikan bunga atas hadiah pernikahan ayah dan ibunya, tapi malah Abima yang disuruh memegang bunga tersebut dan kemudian difoto oleh kedua orangtuanya. Jika saja tidak melihat foto tersebut, mungkin Abima akan lupa bahwa dia pernah mengambil foto itu. Memang melihat album foto bisa membantunya mengingat banyak kenangan yang sempat terlupakan. Berlanjut pada lembar foto setelahnya. “Ah, foto ini!” pekik Abima begitu antusias begitu menemukan sebuah foto keluarga besar pada lembaran selanjutnya. Di sana terlihat keluarga Abima bersama dengan saudara-saudara dari pihak Ibunya. “Keluarga Ibu ternyata banyak juga kalo digabungin,” gumam Abima seraya memperhatikan satu per satu wajah yang ada di dalam foto usang tersebut. Abima juga masih ingat kapan foto tersebut diambil, waktu itu ulang tahun neneknya yang ke delapan puluh tahun. Beliau meminta untuk mengambil foto keluarga pada ulang tahunnya tersebut dan meminta keluarga besarnya untuk datang berkumpul. Bahkan Abima masih ingat bagaimana sibuknya sang Ibu menelepon para kakak dan adiknya yang tinggal di luar kota untuk datang agar bisa mewujudkan impian sang nenek. Karena permintaan tersebut datang dari nenek, alhasil tidak ada yang berani untuk menolak dan semua orang serempak datang pada hari ulang tahun neneknya. Mereka mengadakan acara bersama dan melakukan foto keluarga yang mana sangat jarang sekali dilakukan. “Ibu, Ayah,” Abima mengusap wajah kedua orangtuanya pada saat itu yang berdiri pada sisi kiri. Sedangkan dirinya sendiri duduk di terpal bawah bersama dengan saudara-saudaranya yang lain untuk berkumpul menjadi satu. Sungguh menyenangkan mengingat kejadian di balik foto tersebut, walaupun Abima juga tidak bisa mengingat dengan jelas apa saja yang terjadi pada hari itu. Namun, secara samar-samar dirinya masih bisa mengingat kejadian itu. Abima menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit lebih hanya untuk melihat semua foto dalam satu album tersebut. Tadinya laki-laki itu ingin melihat semua album, namun ternyata Abima sudah diserang kantuk lebih dulu setelah menyelesaikan album foto pertama. Namun, memang ini lah tujuannya, Abima memilih untuk melihat album foto agar dia cepat mengantuk setelah melakukan berbagai macam aktivitas yang membuatnya menjadi lelah. Dengan kesadaran yang masih tersisa, Abima akhirnya kembali memasukkan beberapa album foto tersebut ke dalam kotak, kemudian mengembalikan kotaknya juga ke sudut ruangan sebelum akhirnya laki-laki itu dengan cepat beranjak menuju kamar tidurnya sendiri. Abima langsung merebahkan dirinya tanpa menunggu apa pun lagi, dia butuh beristirahat sekarang agar besok bisa lebih segar ketika menjalani kegiatannya. *** Pukul enam lewat dua puluh pagi, Galih tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Dia tidak mengalami sebuah mimpi ataupun hal lain, bangunnya juga tidak terjadi secara tiba-tiba yang membuatnya jadi terkejut, hanya secara tiba-tiba saja kedua matanya terbuka dengan sempurna dan Galih jadi tidak mengantuk lagi. Laki-laki itu memilih untuk duduk dan berusaha memproses dulu apa yang tengah terjadi saat ini, ketika isi kepalanya mulai memutar seluruh kejadian yang sudah terjadi kemarin barulah Galih sadar bahwa dirinya sedang berada di Bandung, tepatnya di rumah Abima dan memang sedang ikut sahabatnya itu kemari karena mereka memiliki beberapa agenda yang harus dilakukan. “Tumben banget gue bisa bangun sepagi ini tanpa harus dibangunin dulu, padahal biasanya gue nggak akan bisa bangun sendiri, apalagi sepagi ini. Bukan gue banget,” ujarnya kepada diri sendiri, lebih seperti memberikan sebuah apresiasi, sebab Galih memang tidak pernah begini sebelumnya. Karena rasa kantuknya sudah hilang dan tidak mungkin Galih harus kembali tidur, akhirnya laki-laki itu memilih untuk bangun. Dia keluar dari kamarnya dan melihat bahwa lampu ruang tamu masih dimatikan yang berarti Abima masih terlelap di alam mimpi miliknya sendiri. Galih pun membuka sedikit pintu kamar sahabatnya untuk memastikan dan benar saja bahwa Abima masih tertidur. “Enggak usah dibangunin kali ya? Gue memang belum tahu rencana hari ini, tapi kayaknya nggak mungkin kalo Abima ngajakin gue langsung pergi sepagi ini, jadi kayaknya biarin dulu nanti juga anaknya bangun sendiri.” Galih pun memilih untuk menutup kembali pintu kamar Abima dan kini dia berjalan ke arah dapur kecil yang ada di lantai dua ini dan mengambil minum dari dalam kulkas. “Sekarang gue harus ngapain?” tanyanya untuk diri sendiri. Ketika hari biasa, Galih terbiasa dibangunkan pukul setengah tujuh pagi dan kemudian dia akan langsung bersiap untuk ke sekolah, itu pun terkadang Galih masih sulit untuk bangun. Mamanya harus membangunkan beberapa kali dulu baru dia benar-benar bangun. Lalu ketika hari libur biasanya dia tidak akan dibangunkan, Galih akan bangun pada waktu yang dia inginkan sendiri sampai rasa kantuknya sudah benar-benar menghilang dan setelahnya dia akan bermalas-malasan seharian di rumah atau akan pergi jika memang sudah ada rencana yang harus dilakukan. Akan tetapi, sekarang kan dia sedang berada di rumah orang lain, apalagi ini bukan di Jakarta, jadi Galih harus apa sekarang? “Kayaknya karena gue ada di rumah orang lain makanya bisa bangun cepet, ini kan bukan kamar gue jadi masih kerasa asing aja buat tidur di sini. Dibilang nyaman sih iya nyaman, tapi karena nggak kebiasa kali ya makanya gue bisa bangun tiba-tiba,” Galih kembali bergumam kepada dirinya sendiri, masih memikirkan kenapa dia bisa bangun sepagi ini padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu. Padahal dia sendiri yang mengalami tapi dirinya juga yang merasa heran. “Gue mandi aja deh, sambil nunggu Abima bangun daripada enggak ada yang bisa dilakuin,” putus laki-laki itu akhirnya, dia tidak mungkin duduk diam menunggu Abima bangun tanpa melakukan apa-apa, jadi lebih baik Galih mandi duluan agar nanti mereka tidak bisa berebut untuk memakai kamar mandi yang hanya ada satu di lantai dua ini. Galih langsung kembali ke kamarnya dan mengambil pakaian yang akan dia butuhkan nanti, kemudian segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Galih juga baru ingat bahwa semalam setelah mereka sampai dia langsung tidur karena kelelahan, tetapi Galih sempat mendengar suara air dari kamar mandi yang berarti Abima memang mandi dulu sebelum tidur, tidak seperti dirinya. Badan Galih juga sudah terasa gerah karena keringat, pasti juga kotor karena telah melakukan perjalanan yang cukup panjang selama beberapa jam kemarin. Jika dia mandi sekarang pasti tubuhnya akan terasa lebih segar dan Galih bisa lebih mudah menjalani aktivitasnya sendiri. Galih tidak butuh waktu lama untuk mandi, tetapi tidak cepat juga, standar untuk waktu mandi para laki-laki pada umumnya. Ketika laki-laki itu keluar dari kamar mandi, ada handuk kecil yang tersampir di atas kepalanya dan rambutnya juga basah pertanda bahwa dia baru saja melakukan keramas. Lebih segar rasanya setelah mandi hampir lima belas menit, Galih juga lebih merasa bersemangat daripada sebelumnya yang masih terasa lemas. Memang air dingin adalah cara paling ampuh untuk membangunkan seseorang. Ketika keluar dari kamar mandi Galih mendengar suara ketukan di pintu depan dari lantai dua ini, dia langsung menoleh dan menebak-nebak siapa kiranya tamu yang mendatangi mereka sepagi ini. “Siapa ya yang udah datang sepagi ini? Enggak mungkin kan kalo orangtua Abima mau nge-prank gue dan sengaja bikin gue takut pagi-pagi? Enggak mungkin lah, mana mungkin ada hantu pagi-pagi.” Walaupun sedikit ragu, tapi pada akhirnya Galih benar-benar mendatangi pintu depan untuk melihat siapa kiranya yang bertamu, sebab pintu depan itu terus saja diketuk beberapa kali dan dia juga jadi penasaran akan siapa dibaliknya. Ketika pintu dibuka, Galih langsung bisa mengenali wajah yang ada di balik pintu tersebut. “Lho, Ibu yang tinggal di lantai bawah kan?” tanyanya refleks, Galih masih mengingat wajahnya karena kemarin mereka bertemu sebentar ketika Abima dan Galih sampai, hanya menyapa saja tapi Galih tidak semudah itu melupakan wajah seseorang. “Iya, kamu temennya Abim, ya?” tanya si Ibu itu kepadanya. Galih langsung mengangguk dengan penuh semangat, kedua matanya tak sengaja melirik ke arah nampan besar yang dibawa oleh wanita paruh baya itu. Sungguh maaf sekali, tetapi Galih benar-benar tidak bisa menutupi rasa penasarannya akan apa yang wanita itu bawa. “Iya, Ibu, saya temennya Abima.” Kemudian wanita paruh baya itu menyodorkan nampan yang telah dia bawa ke arah Galih. “Ini saya sebenarnya udah bikin sarapan, karena kalian datang jadi saya sengaja buat lebih buat kalian sarapan juga. Diterima ya, karena buat sarapan kalian pasti bakalan beli, daripada sayang uangnya mending makan buatan saya aja. Maaf kalo seandainya kurang, tapi saya udah coba lebihin kok.” “Wah, jangan repot-repot, Ibu. Saya jadi enggak enak,” balas Galih, tetapi kedua tangannya tetap menerima nampan yang disodorkan. “Enggak apa-apa, Abima sudah seperti anak Ibu sendiri jadi kalau cuma sarapan kayak gini enggak ada masalah, jangan merasa nggak enak sama Ibu. Ngomong-ngomong Abimanya di mana?” “Abimanya belum bangun, kayaknya dia bergadang sih tadi malam entah ngapain soalnya saya juga bangun duluan. Mau saya bangunin, Ibu? Kali aja ada hal penting yang mau Ibu bicarain sama Abima,” kata Galih memberikan penawaran, seharusnya tidak sulit sih untuk membangunkan Abima. Galih sangat yakin kalau sahabatnya itu tidak susah bangun sepertinya. Wanita paruh baya itu tersenyum lalu menggeleng kecil. “Tidak perlu dibangunkan Abimanya, biarkan saja kalau masih tidur, masih ada waktu juga jika ingin berbicara soalnya kalian tidak buru-buru pulang ‘kan?” “Enggak kok, saya sama Abima masih sampai besok di sini.” “Iya sudah kalau begitu, saya tinggal lagi ya ke bawah. Silakan dinikmati sarapannya.” “Terima kasih banyak Ibu, pasti bakalan saya dan Abima makan sampai habis.” Galih menunduk sopan untuk memberikan rasa terima kasihnya sebagai salam karena wanita itu akan segera turun ke bawah. Di dalam hatinya saat ini sesungguhnya Galih sedang bersorak begitu senang karena tidak menyangka dirinya akan mendapatkan sarapan di pagi hari seperti ini. ‘Sungguh rezeki anak baik,’ pikirnya, sebab Galih tadi memang sempat memikirkan akan makan apa mereka pagi ini. Mungkin saja Abima akan mengajaknya untuk membeli makanan lagi, tapi siapa sangka bahwa keduanya malah mendapatkan makanan dari Ibu penyewa di bawah sana. Sepeninggalan Ibu tadi, Galih langsung membawa nampan itu masuk ke dalam dan menaruhnya di meja makan. Karena Abima belum bangun jadi Galih berpikir untuk menata makanannya lebih dulu di meja makan, tapi ngomong-ngomong sekarang Galih sangat lapar apalagi setelah dia melihat semua makanan yang sudah tersaji di meja makan tersebut. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta-ronta minta diisi oleh makanan. “Enggak apa-apa kali ya kalau gue makan duluan? Nanti Abima bisa nyusul kalau dia udah bangun. Kayaknya Abima juga enggak akan marah deh kalo gue makan duluan soalnya gue beneran udah laper banget,” gumam Galih seraya melihat ke arah pintu kamar Abima yang masih tertutup rapat. “Enggak apa-apa deh, gue makan duluan aja. Maaf ya, Abim, gue udah lapar banget soalnya tapi pasti gue bakal sisain buat lo juga banyak jadi jangan khawatir.” Galih akhirnya duduk dengan tenang di kursi dapur dan mulai mengambil makanan di piring miliknya, dia sungguh tidak menunggu Abima karena perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Galih akan meminta maaf nanti jika seandainya Abima memang marah kepadanya, tapi seharusnya laki-laki itu tidak perlu marah karena Galih masih menyisakan juga makanan untuknya, tentu saja Galih tidak akan menghabiskan semuanya, dia bukan tipe orang seperti itu. “Abima, gue makan duluan. Kalo nanti gue udah selesai makan tapi lo belum bangun juga gue janji bakalan bangunin lo karena gue takut lo juga kesiangan. Jadi, gue bakalan nikmatin sarapan gue lebih dulu baru setelah itu bangunin lo.” Pada akhirnya, Galih benar-benar menikmati sarapan paginya seorang diri di hari itu. Di sisi lain dari Galih saat ini, sepuluh menit kemudian ada Abima yang baru terbangun di pagi hari dengan keadaan segar luar biasa seolah tidur malamnya tadi terasa sangat amat nyenyak hingga membuatnya jadi bisa melewati dunia di hari ini dengan penuh semangat yang membara di dalam diri. Apakah mungkin ini karena efek dirinya yang tertidur di dalam rumah lama setelah sekian lama? Sudah terhitung hampir satu tahun Abima tidak pulang ke rumah ini jadi wajar saja jika dia merasa senyaman ini, karena definisi rumah yang sesunggunya memanglah sebuah tempat yang bisa membuat kita merasa sangat nyaman ketika berada di dalamnya bukan? Karena ini rumahnya dan karena ini adalah kali pertama Abima kembali lagi setelah sekian lama maka dari itu tidurnya bisa terasa sangat menyenangkan dan dia jadi bisa terbangun di pagi buta dengan keadaan hati yang sangat gembira. Rasanya seperti ada kedua orangtuanya di rumah ini yang juga sedang tinggal bersama dengannya, yang semalam memeluknya erat ketika tertidur sehingga Abima tidak perlu takut akan gangguan dunia yang ada di luaran sana. Rasanya seperti dipeluk oleh sebuah kenyamanan yang tidak pernah Abima bisa temukan di mana pun. Semenyenangkan itu dan semenenangkan itu, Abima sangat mengakuinya. Niat hati ingin keluar dari kamar setelah cukup mengumpulkan nyawanya yang masih belum terkumpul dengan sempurna, kemudian ketika keluar nanti Abima bisa membuatkan sarapan untuknya dan juga Galih yang berkemungkinan besar masih terlelap dengan nyaman di kamar sebelah karena kemarin dia terlihat sangat kelelahan. Di asramanya Abima memang sering membuatkan sarapan untuk dirinya sendiri karena biasanya dia memang selalu bangun lebih pagi daripada yang lain dan pergi lebih pagi juga dari mereka semua, maka dari itu Abima adalah orang yang paling jarang terlihat ketika sarapan karena dia biasanya akan sarapan lebih dulu. Bukan karena sifatnya yang terlalu kerajinan sehingga membuatnya datang lebih pagi ke sekolah, tapi karena memang menjadi sebuah kebiasaan saja yang tidak bisa dihilangkan oleh dirinya sendiri, sejak Sekolah Menengah Pertama Abima memang sudah sering berangkat begitu pagi. Tapi tidak setiap hari Abima pergi sepagi itu, dia memang selalu bangun begitu pagi namun bukan berarti setiap harinya akan pergi sepagi itu ke sekolah. Terkadang tujuan dari bangun paginya laki-laki itu adalah karena dia ingin membantu Pak Karta menyiram tanaman di pagi hari, dia ingin menyiramnya lebih dulu sehingga ketika sudah siang nanti terkadang Pak Karta tidak perlu lagi menyiram tanaman itu karena sudah Abima yang melakukannya. Terkadang juga Abima terbiasa membersihkan dapur sebelum digunakan oleh para penghuni untuk sarapan bersama. Pak Karta dan Ibu Ana itu tidak memiliki seorang pembantu, semuanya mereka lakukan seorang diri, tapi Abima yang selama ini sudah merasa banyak terbantu dari mereka berdua akhirnya selalu berusaha untuk menyisihkan waktunya untuk kemudian membersihkan beberapa tempat yang bisa dia bersihkan. Abima selalu melakukannya pagi-pagi sekali agar tidak ada yang melihat tindakannya tersebut, dia tidak ingin ketahuan karena pernah suatu hari Ibu Ana memarahinya karena melakukan hal itu. Katanya, Abima itu penghuni di sini yang juga membayar sama seperti anak-anak lainnya, jadi bukan tugas Abima untuk membersihkan setiap tempat yang ada di sini, biarlah menjadi tugas Pak Karta dan Ibu Ana saja. Tapi, Abima yang keras kepala ini tentu saja tetap melakukannya di esok hari dengan waktu yang lebih pagi agar dia tidak akan ketahuan untuk kedua kali. Tapi, Abima tidak tahu saja bahwa terkadang Tarisa yang sering terbangun itu justru memergokinya ketika sedang membersihkan dapur. Namun, Tarisa diam saja dan tidak mengatakannya kepada siapa pun karena Tarisa sangat tahu bahwa kakaknya yang satu itu tidak akan bisa dihentikan, dia akan tetap melakukan apa yang menurutnya benar walaupun sang ibu sudah memarahinya sekalipun. Tarisa tidak mau melihat Abima kembali dimarahi maka dari itu dia biarkan saja laki-laki itu melakukan apa pun sesukanya selagi itu tidak merugikan dirinya atau siapa pun yang lainnya. Dan sekarang keinginan Abima untuk membuatkan Galih sarapan memang datang dari keinginannya sendiri bukan karena adanya paksaan orang lain ataupun rasa tanggung jawabnya karena dia yang sudah mengajak Galih untuk datang ke rumahnya. Memang ada sih sedikit perasaan itu tapi bukan berarti Abima merasa pamrih melakukan segalanya, dia tetap senang-senang saja tanpa adanya alasan apa pun. Abima selalu senang ketika dirinya bisa melakukan apa pun sesukanya tanpa perlu menyusahkan orang lain. Abima itu senang sekali membantu, terutama kepada orang-orang terdekatnya, jika dirasa dia mampu membantu maka akan dirinya lakukan tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan balasan apa pun. Semua itu terjadi atas kehendaknya yang memang merasa ingin bukan karena hal lainnya. Namun, ketika Abima sudah mengumpulkan semua niat yang sudah dia bangun untuk melakukannya, Abima justru dikejutkan dengan sosok Galih yang sudah duduk di meja makan dengan berbagai macam makanan yang ada di meja tersebut sudah terjadi dengan sempurna dan hanya tinggal dinikmati saja. Galih sudah terlihat lebih segar daripada semalam, sepertinya dia sudah mandi dan sekarang laki-laki itu sedang bermain ponsel di meja makan tersebut. “Galih?” “Loh, udah bangun, Bim. Padahal rencananya mau gue bangunin lima belas menit lagi,” ujar Galih sembari menatap sahabatnya itu. Ponselnya dia letakkan di meja makan. “Mandi sana, terus kita sarapan bareng, abis itu siap-siap buat pergi tengokin orangtua lo.” Kenapa di sini kelihatannya malah Galih yang terlihat seperti pemilik rumah daripada dirinya? Dengan Galih yang mengatakan semua hal itu membuatnya jadi terlihat sebagai anak dari pemilik rumah ini dan Abima hanya terlihat seperti tamu yang kebetulan ikut kemari. Peran mereka seketika terbalik begitu saja, karena seharusnya Abima yang ada di meja makan sana dan menunggu Galih bangun, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN