Ucapan Abima tidak salah, sehingga Galih semakin yakin bahwa mereka harus cepat pulang dan kembali ke Jakarta. Di perjalanan, Abima segera memesan tiket kereta untuk mereka berdua, untung saja ada jam yang mendekati sehingga mereka tidak terlalu lama menunggu dan tidak terlalu buru-buru karena masih dua jam lagi keberangkatan, sehingga masih bisa mengemasi barang-barang mereka di rumah lama Abima.
“Nanti makannya deket stasiun aja lah, ya?” celetuk Abima seraya menoleh ke arah Galih.
“Terserah lo deh, gue udah nggak bisa mikir. Nggak nafsu juga paling makan,” sahut Galih.
“Jangan gitu lah, lo sama gue kan belum sarapan pagi. Bubur ayamnya tadi pakai nggak jual sih. Makanya kita harus sarapan dulu sebelum berangkat perjalanan naik kereta nanti,” ucap Abima.
Galih hanya mengangguk singkat, ia benar-benar terlihat cemas. Abima jadi kasihan dan ia juga bisa merasakan di posisi ini, perasaan berdebar kala menunggu orang yang sedang kritis. Alhasil, Abima memutuskan tidak mau mengajak Galih berbicara sampai mereka tiba di rumah. Suasana angkutan umum yang ramai dengan pembicaraan para wanita paruh baya di sekitar mereka membuat suasana jadi tak hening, Abima malah takut jika hening nanti Galih malah semakin memikirkan tentang neneknya. Jadi, lebih baik masih ada pembicaraan di sekitar mereka walaupun Abima tak langsung mengajaknya bicara.
Rumah lama Abima tidak memakan waktu lama, hanya butuh perjalanan sekitar dua puluh menit sampai akhirnya kedua laki-laki itu kembali lagi pada ujung gang dari rumah lama Abima. Keduanya segera turun dan tak lupa membayar ongkos angkutan umum tersebut, Galih membiarkan Abima yang mengurusi bayaran karena tadi laki-laki itu yang sudah meminta.
Setelah selesai Abima dan Galih pun akhirnya kembali berjalan memasuki gang untuk mendatangi kembali rumah Abima. Abima sangat yakin bahwa Ibu Rina pasti belum pulang dan gerbang depan masih terkunci rapat. Benar sekali tebakannya itu karena ketika mereka sampai Abima sudah bisa langsung melihat gerbang depan yang masih terkunci. Sepertinya mereka akan pulang tanpa berpamitan.
Tapi tidak apa-apa, Abima bisa mengirimkan pesan kepada Ibu Rina nantinya yang mengatakan bahwa dia sudah pulang bersama temannya karena keadaan darurat.
Mereka segera pergi ke kamar Abima, memasukkan kembali baju-baju ke dalam tas setelah sempat mengacak-acaknya tadi pagi karena harus mengambil kemeja hitam mereka yang terselip di bawah.
“Gue sampai Jakarta bakalan dijemput di stasiun dan langsung ke rumah sakit,” kata Galih yang membuka obrolan bersama Abima karena sejak tadi mendiamkannya untuk memberikan waktu agar cowok itu bisa menenangkan dirinya terlebih dahulu.
“Boleh, Lih, lo nggak usah mikirin gue karena gue bisa balik sendiri.” Abima mencairkan suasana dengan tawa kecilnya.
Selesai berkemas, Galih mengangguk dan menatap Abim. “Yaudah ayo kalau gitu, gue udah pesenin mobil online, kita tunggu di depan aja,” ajak Galih yang keluar dari kamar Abima lebih dulu, sementara Abima menghela napas panjang, ia menatap kamarnya dan masih merindukan tempat ini. Bahkan ia sempat memberikan senyuman kecil ke arah pigura kecil yang terletak di dekat meja kamarnya tersebut sebelum benar-benar keluar dan menutup pintunya.
Selama perjalanan menuju stasiun, Galih terus memperhatikan ponselnya. Abima tahu bahwa temannya ini sedang berkomunikasi bersama orangtuanya tentang perkembangan neneknya. Abima hanya dapat berdoa agar neneknya lekas membaik dan tersadar dari masa kritis. Mendengar cerita betapa dekatnya Galih dengan neneknya, tentu Abima bisa merasakan kecemasan Galih dan membayangkan apa yang tengah dipikirkannya saat ini.
Mereka turun dari mobil setelah tiba di Stasiun Hall yang berada di perbatasan Kelurahan Pasir Kaliki dan Kebon Jeruk. Abima segera mencari warung terdekat karena setelah ia melihat jam, waktu mereka masih cukup untuk mengisi perut yang kosong terlebih dahulu.
Nyatanya mereka sekarang kelaparan karena tadi sarapan pagi sekali dan sekarang sudah memasuki siang.
“Makan dulu Lih, biar perut kenyang dan hati yang gelisah sedikit tenang, hehe.” Abima mencoba untuk menghibur Galih.
“Gue nggak bisa tenang kalau nggak dengar kabar nenek gue bakalan baik-baik aja,” ucap Galih seraya menatap Abima serius.
“Iya gue tahu, tapi yang harus kita lakuin sekarang kirim doa. Gue yakin Nenek lo bakalan baik-baik aja kok. Dia udah pernah kritis kan sebelumnya? Jadi paling dia lagi lelah, makanya butuh istirahat sebentar, baru nanti bangun lagi.” Abima mengatakan ini untuk menenangkan Galih.
“Kalau lelahnya bikin dia tidur selamanya gimana? Gue takut banget kehilangan Nenek yang gue sayang,” celetuk Galih yang membuat Abima langsung melotot ke arahnya.
“Makan dulu Lih, lo kalau laper omongannya ngelantur. Lo lupa apa kalau omongan itu doa?” ketus Abima seraya menyodorkan makanan yang telah dibuat ke arah Galih.
Mau tidak mau, mood tidak mood, Galih menurut pada Abima karena bagaimana pun ia sendiri juga lapar. Melihat makannya Galih lahap, Abima ikut senang karena mereka jadi punya energi dan tenaga untuk perjalanan pulang ke Jakarta.
“Sampai Jakarta jam berapa?” Galih bertanya karena mungkin orangtuanya yang akan menjemput dia ingin tahu jam tibanya kereta Galih di Stasiun Gambir Jakarta nanti.
“Paling sore sekitar jam dua atau jam tiga, kan biasanya tiga jam setengah kita perjalanan, Lih.”
“Okay.”
“Ditanyain sama yang jemput, ya?” tanya Abima.
“Iya, Papa gue nanya soalnya biar siap-siap dan sekarang mereka lagi ambil baju ganti juga dari rumah karena berencana nemenin Nenek di rumah sakit sampai pagi.”
“Ya udah pokoknya lo harus berpikiran positif dulu ya. Gue yakin Nenek lo baik-baik aja, dia masih mau lihat lo jadi orang sukses,” tutur Abima pada Galih.
“Amin, gue cuma takut aja karena umur nenek kan udah tua. Jadi gue belum siap kalau harus kehilangan Nenek gue,” ucap Galih yang masih terdengar overthinking.
Geleng-geleng kepala, tentu membuat Abima tak habis pikir. “Jodoh, kematian, rezeki, semua udah ada di tangan Tuhan Lih. Lo nggak bisa nentuin kapan Nenek lo bakalan meninggal walaupun lo tahu kalau Nenek lo sakit keras. Serahin semuanya sama Tuhan Yang Maha Esa,” ucap Abima seraya menepuk-nepuk bahu Galih dengan tangannya yang bebas.
Galih tidak menjawab, ia malah mengambil uang untuk membayar makanan mereka sebelum cabut dari sana dan langsung menunggu di dalam untuk dipanggil masuk ke area kereta yang akan diberangkatkan.
Pandangan mata Abima melihat ke arah yang menarik, ia juga mendengar samar-samar obrolan mereka. Seorang anak dan Ibu, Abima memberitahu Galih juga agar tidak melewatkan waktu untuk melihat kehidupan orang lain juga.
“Papa bakalan baik-baik aja kan, Ma?” tanya anak tersebut.
“Iya sayang, ayo kita masuk dan pulang untuk menemui papamu, ya.”
Perasaan hangat walaupun tidak berada dalam situasi anak dan ibu tersebut, tentu saja hati Abim bergetar.
“Lo lihat kan? Kadang gue iri sama orang yang punya semangat hidup karena mereka punya orang yang disayang untuk terus berada di dalam sisinya,” ucap Abima yang justru menjadi sesi curhat. “Tapi lo sadar nggak sih? Semangat hidup itu datang dari dalam diri kamu sendiri, jadi meski pun lo lagi mikul beban berat nih, atau lo lagi sedih, semangatnya pasti turun, kan? Maka dari itu, lo harus punya semangat dan optimis, semua bakalan baik-baik aja. Karena kadang doa bukan datang dari ucapan lo aja yang dibibir, tapi juga bisa datang dari prasangka baik, buruk, atau pikiran-pikiran positif yang berhasil lo kumpulkan supaya lo bisa jadi semangat hidup nenek lo yang dalam keadaan kritis.”
Tentu saja Galih jadi terdiam mendapatkan ceramah dari temannya, ia juga sedikit lebih tenang karena pengaruh-pengaruh positif yang merasuki jiwanya akan otomatis menyertai sikap Galih untuk terus berdoa yang terbaik demi kesembuhan neneknya.
“Thanks banget lo udah ngusir pikiran negatif dan kekhawatiran gue yang terlalu berlebihan, Abim.”
“Tentu, begitu lo sebaliknya.”