39. Kembali ke Asrama

1261 Kata
Abima kembali ke asrama setelah berpisah dengan Galih di stasiun tadi. Ia memberikan pesan kepada Galih untuk mengabari dirinya jika neneknya sudah melewati masa kritisnya. Tentu saja Galih mengangguk, ia melambaikan tangan dan mengukir senyum tipis waktu mereka berpisah. Walaupun sebelumnya Ibu Galih sempat menawarkan tumpangan kepada Abima untuk di antarkan ke asrama dulu, tapi Abima menolak dan tak mau merepotkan mereka karena ia tahu mereka sedang terburu-buru. “Terima kasih banyak Bibi, saya doakan Nenek cepat pulih.” Hanya itu yang dapat Abima katakana saat kaca mobil Galih masih terbuka setengah sebelum benar-benar tertutup dan mobil itu pun pergi dari hadapannya. Abima menatap kepergian itu dengan senyuman, lantas ia segera mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi salah satu temannya yang berada di asrama. Beruntungnya, di grup asrama ada yang online dan mereka menjawab dengan cepat, berebut ingin menjemput Abima, tapi salah satu di antara mereka langsung Abima sebut saja namanya. Sehingga temannya yang bernama Randu yang sepantaran dengannya itu yang akan menjemput dirinya di stasiun. Jarak antara stasiun dan asrama mereka sekitar tiga puluh menitan, jadi Abima harus menunggu dulu di stasiun seorang diri. Abima : Halo, ada yang lagi kosong nggak ya? Kalo ada gue mau minta tolong jemput dong di stasiun. Kak Anjar : Loh, kok tiba-tiba udah pulang aja? Bukannya pulangnya besok? Dika : Bim, kemarin lo bilang sama gue kalo pulangnya minggu, tapi kok sekarang udah di stasiun? Abima : Ada hal urgent yang harus Galih urus jadi kita berdua pulang, nanti gue ceritain. Abima : Ada Randu nggak di asrama? Minta tolong jemput gue dong. Randu : Iya, ada. Gue jalan sekarang. Tiga puluh menit berlalu cepat karena Abima nungguin di warung dekat sana, sambil membeli minuman dan jajan. Ternyata Randu menjemputnya menggunakan mobil Kak Anjar. “Lo udah izin minjem mobilnya?” tanya Abima saat ia masuk ke dalam mobil. Randu terkekeh, ia segera memutar balik dan meninggalkan stasiun untuk kembali pulang ke asrama. “Masa gue maling mobil sih? Udah dong Abim, kebetulan Kak Anjar nyuruh gue pakai mobilnya malahan buat jemput lo. Tapi omong-omong kok lo cepet banget baliknya? Terus katanya lo bareng temen lo kok malah sendiri?” tanya Randu seraya menoleh ke arah Abim sekilas karena ia juga membagi fokusnya dengan mengemudi. “Tiba-tiba dia ada musibah.” “Kenapa?” potong Randu, padahal Abima belum menyelesaikan ucapannya. “Neneknya kritis. Dia dekat banget sama neneknya, jadi nggak bisa kalau nggak lihat dan nemenin neneknya yang lagi kritis itu. Gue harap neneknya baik-baik aja sih, karena dia terus cemas dan nggak tenang gitu. Jadi rencana gue mau nikmatin liburan sama dia gagal, tapi nggak apa-apa, dia harus mengutamakan keluarganya.” Abima memberikan cerita singkatnya, ia juga tak lupa mengukir senyuman agar dapat menenangkan lawan bicaranya. “Kasihan juga ya,” celetuk Randu seadanya. Abima hanya manggut-manggut, ia belum menceritakan semuanya karena Abima merasakan kepalanya sedikit pusing. Sehingga Abima menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata sejenak. “Gue merem bentar, ntar lo bangunin gue kalau udah sampai asrama, Randu.” Randu mengangguk pelan dan hanya bisa membuang napas pendek. Ia fokus menyetir saja sampai ekor matanya menemukan penjual roti goreng dan cakue. Alhasil Randu menepikan mobilnya sejenak, membiarkan Abima tetap tidur sementara dirinya turun dari mobil untuk membeli camilan tersebut. Selesai beli roti goreng, cakue dan pisang molen yang cukup banyak agar sekalian buat makan bersama anak-anak di asrama, Randu kembali ke mobilnya dan melanjutkan perjalanan pulang. Sampai asrama tentu Abima langsung dibangunkan oleh Randu. “Abim, udah nyampe asrama nih,” kata Randu seraya menggoyangkan lengan Abima. Perlahan kedua mata Abima terbuka, ia menguceknya sekilas sambil menguap lebar. “Udah nyampe? Ngantuk banget gue,” gumam Abima sambil melihat asramanya sebelum ia meraih tas dan melihat di samping Randu tiba-tiba sudah ada makanan karena dari baunya Abima menebak sendiri. Terdapat sebuah kantung plastik cukup besar, entah apa isinya Abima tidak bertanya. “Bawa turun sekalian ya, gue parkir mobil Kak Anjar dulu,” ucap Randu seraya menatap ke arah kantung plastik di sampingnya tersebut. Dengan muka bangun tidur, Abima turun lebih dulu membawa camilan yang mungkin dibeli Randu waktu ia tidur, sementara Randu memarkirkan kembali mobil Kak Anjar ke tempat semula. “Halo, gue pulang,” ucap Abima seraya membuka pintu kamar asrama dan masuk menuju ke ruang tengah yang ternyata ada anak-anak asrama sedang berkumpul. “Halo, Abima,” sahut mereka bersamaan. Ada yang melihat kedatangan Abima, ada yang masih memainian ponselnya, ada yang melihat ke layar televisi di mana channel-nya diganti-ganti oleh Anjar. Mereka semua penghuni asrama ini sedang berkumpul rupanya. “Loh, kok ada anak putri juga? Udah izin sama Bapak sama Ibu?” tanya Abima yang langsung terkejut menemukan beberapa anak putri di asrama laki-laki. Ini hal yang sangat jarang terjadi, bahkan baru pertama kali. “Udah izin kok, ini rencananya mau nonton bareng sekalian karena kebetulan ada film baru. Tadi Kak Anjar yang ajakin dan banyak dari anak putri juga yang mau nonton makanya sekarang pada kumpul buat nonton bareng-bareng,” jelas Rashi yang pada saat itu sudah duduk di sofa. “Kalo udah izin, oke deh. Gue pikir kalian main kumpul-kumpul aja tanpa izin,” sahut Abima lagi. “Tumben lo udah balik aja?” tanya Anjar yang sedang tiduran di kasur lipat milik asrama setiap mereka kumpul pasti kasur lipat itu akan digelar untuk mereka yang ingin rebahan. “Iya katanya lo balik hari minggu?” sahut Dika menambahkan. Abima menghela napas panjang, ia membuang tasnya dengan asal dan langsung menyerahkan camilan yang dibeli Randu kepada Rea. “Wih, bawa oleh-oleh dari Bandung nih?” seru Rea yang belum melihat saja apa isinya. “Bukan, itu camilan yang dibeli Randu. Minta tolong disajikan gitu,” sungut Abima yang langsung mengambil tempat untuk selonjoran di sebelah Anjar. Rea dan beberapa teman lainnya membuang napas panjang karena mengira Abima akan membawakan makanan khas Bandung gitu. Tetapi Abima masih belum membuka suara untuk bercerita kepada mereka tentang kepulangannya yang mendadak cepat. “Kak, thanks ini kunci mobil lo,” kata Randu yang sudah kembali sambil menyerahkan kunci mobilnya kepada Anjar. “Oke, sama-sama.” Anjar menyimpannya di dalam saku, lalu ia menatap ke arah Abima yang tampak memejamkan matanya. “Serius nanya nggak ada masalah kan lo dateng-dateng lesu banget, kecapean?” tanya Anjar lagi yang terlihat begitu peduli. “Gue ngantuk belum ngopi, terus capek di kereta juga.” Abima menjawab dalam posisi mata terpejam. “Dia tuh batal jalan-jalan sama Galih, Kak. Makanya bisa pulang cepet,” sungut Randu yang sudah mendengar sebagian cerita dari Abima. “Loh kok bisa udah berangkat naik kereta ke Bandung tapi balik lagi dan batal jalan-jalan? Bukannya kalau udah ke Bandung udah jalan-jalan, ya?” celetuk Ilham sambil meraih cakue yang telah disajikan oleh Rea ke dalam baskom plastik agar bisa di makan bersama-sama. “Katanya sih Galih mendadak dapat telepon dari orangtuanya disuruh balik ke Jakarta gitu, soalnya neneknya kritis.” “Hei, pada mau dibikinin kopi nggak cowok-cowok? Gue lagi pengen bikin cokelat hangat nih.” Alicya menyahut di tengah-tengah seriusnya obrolan mereka. Abima langsung membuka matanya, ia menatap Alicya dengan cengiran, sementara ada Randu, Anjar, Dika, Ilham dan Tara segera manggut-manggut kepada Alicya bahwa mereka juga menitip. Karena pesanan kopi banyak dan minuman untuk yang cewek-cewek juga, maka Alicya pergi ke dapur bersama Bintang dan Rashi supaya ada yang membantu membawakan minuman tersebut. “Serius? Jadi gimana cerita lengkapnya Abim?” tanya Tara penasaran sambil duduk di sebelah Randu. “Bentar dong kalau nanya satu-satu kenapa. Gue masih ngantuk ini, nunggu kopi dateng lah baru gue ceritain.” Abima mengubah posisi menjadi duduk, ia menatap lelah wajah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN