Pukul sepuluh malam Abima pamit kepada para penghuni asrama lain untuk masuk ke kamarnya karena hari ini dia terlalu lelah jadi ingin beristirahat lebih cepat. Dika yang tadi pergi bersamanya pun sudah pamit sejak awal, Abima yang tadi memilih bertahan karena tak enak—sebab topik pembicaraan pada malam itu lebih banyak membahas tentang dirinya pun akhirnya memilih untuk menetap lebih lama—meskipun sebenarnya badan Abima sudah berteriak meminta untuk segera beristirahat.
Bagaimana tidak, hari ini adalah hari paling melelahkan bagi Abima karena sejak pagi hingga malam menjelang dia sudah menghabiskan banyak sekali waktunya untuk melakukan berbagai kegiatan hingga beristirahat menjadi pilihan nomor kesekian untuknya. Belum lagi fakta bahwa besok adalah hari senin, yang mana sudah pasti Abima harus bangun pagi seperti biasa karena harus berangkat ke sekolah.
Tapi untungnya para penghuni asrama yang lain mau mengerti untuk membiarkan cepat beristirahat sehingga sekarang Abima sudah bisa bertemu dengan kasurnya yang nyaman dan bisa merebahkan dirinya setelah semua rasa lelah yang sudah menggerogotinya hari ini. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan hunting foto bersama Dika hari ini cukup menyenangkan, laki-laki itu juga sudah membantunya mencari tempat baru.
Abima sangat tahu bahwa Dika termasuk orang yang aktif, salah satu teman asramanya itu memiliki kepribadian ekstrovert hampir mirip seperti Kak Anjar yang mudah akrab dengan banyak orang karena sifatnya yang sangat friendly, tidak seperti Abima yang terkadang masih malu-malu jika bertemu dengan orang baru.
Sifat Dika tersebut yang membuat semua hal jadi menyenangkan diri hari ini, walaupun terasa melelahkan tapi Abima sangat menikmatinya, lagipula dia jarang keluar berdua bersama Dika dan laki-laki itu sudah bilang sebelumnya bahwa dia sangat ingin ikut jika seandainya Abima akan pergi untuk hunting foto lagi. Daripada dirinya, justru Dikalah yang banyak aktif pergi ke sana kemari di hari ini, Abima hanya fokus menjadi sosok yang mengikuti sembari menjalankan pekerjaannya dengan baik.
Abima harus berterima kasih kepada Dika karena dia yang memberikan saran tempat yang bagus untuk lokasi foto Abima hari ini, karena sejujurnya Abima sudah kehabisan akal untuk pergi ke mana. Dia tidak terlalu banyak mengetahui tempat-tempat trendi yang ada di kota ini karena memang jarang sekali main ke luaran sana, mungkin jika anak-anak asrama sedang ingin berkumpul di luar barulah Abima bisa pergi bersama mereka.
Abima memang harus mengeksplorasi lebih banyak tempat setelah ini agar kebingungan di hari ini tidak akan terjadi lagi.
“Oh, iya, gue belum tanya kabar apa pun dari Galih, dia juga nggak ada kabarin gue, padahal kan gue penasaran gimana kondisi neneknya di sana,” Abima bermonolog seorang diri dan kebingungan karena masih belum mendapatkan kabar apa pun dari Galih, padahal dia juga menunggu informasi terbaru dari sahabatnya itu.
Dengan cepat Abima menyambar ponselnya yang tadi dia letakkan di dalam tasnya dan belum dibuka lagi setelah makan malam. Tanpa basa-basi langsung mendial nomor Galih untuk langsung bisa mendengar suaranya, daripada harus berkirim pesan yang belum tentu akan dibaca oleh laki-laki itu karena pesan Abima pasti tenggelam oleh pesan-pesan yang lain.
Ponsel Galih memang sudah seperti asrama, sungguh ramai sekali, terutama dari para gadis-gadis yang Abima juga tidak tahu siapa saja.
“Halo, Bim?”
Abima tersentak begitu mendengar suara Galih di seberang telepon. “Halo, Gal, gimana kabar nenek lo? Gue nungguin kabar tapi lo nggak kasih tahu apa-apa, ini juga gue baru ingat makanya baru bisa telepon lo sekarang,” beri tahunya.
“Sorry, sorry, gue juga lupa mau ngabarin lo,” ujar Galih, lalu terdengar helaan napas lega di seberang sana. “Syukurlah nenek gue udah bangun dari masa kritis, Bim. Gue memang belum bisa bilang kalo dia baik-baik aja, cuma tadi pagi nenek udah sadar walaupun masih kelihatan lemah banget, tapi seenggaknya gue bersyukur dia masih ada dan masih bisa bertahan.”
Tanpa sadar Abima ikut menghela napas lega dari tempatnya saat ini, hatinya turut merasa senang karena kabar tersebut, melihat Galih yang panik kemarin membuat Abima bisa menyimpulkan bahwa laki-laki itu memang sangat dekat dengan neneknya, jadi tidak bisa dibayangkan bagaimana terlukanya Galih jika sampai harus kehilangan sang nenek.
Tapi untung saja beliau masih bisa bertahan dan masih hidup hingga detik ini.
“Syukurlah, gue turut senang dengarnya, semoga keadaannya lekas membaik, ya, Gal. Gue bakalan bantu doain dari sini supaya nenek lo selalu baik-baik aja,” ujar Abima tulus, kalimatnya bukan hanya sekadar kalimat semata, dia benar-benar akan turut menyematkan doa untuk kesembuhan nenek Galih ketika dia menunaikan ibadahnya nanti.
“Makasih banyak, Abima. Sorry banget buat kemarin karena gue udah ngacauin rencana lo, sebagai gantinya besok-besok gue bakalan traktir lo di kantin selama beberapa hari karena jujur aja gue ngerasa nggak enak banget.”
Abima langsung tertawa. “Sebenernya gue nggak masalah sama kejadian kemarin, lagipula lo nggak perlu minta maaf karena prioritas lo udah bener kemarin. Cuma kalo lo mau tetep traktir gue selama beberapa hari ke depan sih gue nggak masalah ya, Gal.” Laki-laki itu masih cengengesan, membayangkan betapa menyenangkannya hidup Abima dalam beberapa hari ke depan karena dia akan mendapatkan makanan gratis dari sahabat sebangkunya itu.
“Iya, tenang aja gue bakalan tetap traktir lo, karena dengan cara itu gue jadi bisa ngilangin rasa bersalah gue. Tapi, lo beneran nggak apa-apa ‘kan, Bim? Besok pas di sekolah lo nggak akan musuhin gue cuma karena kejadian kemarin ‘kan?” Ada nada takut-takut dalam suara Galih yang membuat Abima kontan terkekeh lagi, temannya yang satu ini memang penakut sekali.
“Gue nggak apa-apa, beneran deh. Soalnya hari ini juga udah ditemenin hunting foto sama Dika jadi kerjaan gue nggak terbengkalai, nanti lain kali kita bisa dateng lagi ke Bandung kalo lo masih minat nemenin gue hunting foto, ya, Gal.”
“HARUS!” sahut Galih cepat dengan penuh semangat, “Gue masih pingin ikut dan lihat lo gimana kalo foto, lagian seru juga bisa jalan-jalan, pokoknya lo masih hutang satu perjalanan sama gue ya, Bim, lo harus ajakin gue lagi kapan-kapan!” lanjutnya lagi dengan mengancam, keinginan Galih yang satu ini memang sudah ada sejak lama, namun tidak pernah terealisasi karena Abima juga belakangan ini jarang pulang ke Bandung, baru kemarin saja dia ada waktu senggang dan sayang sekali Galih harus menghancurkan semua rencananya.
“Oke, gue janji bakal ajak lo lagi kapan-kapan. Kalo gitu gue tutup dulu teleponnya, lo pasti lagi sibuk juga di sana dan gue mau istirahat, bye, Gal!” pamit Abima.
“Bye, Abima.” Panggilan pun terputus.
Dengan begini Abima sudah bisa tidur nyenyak karena rasa penasarannya sudah terjawab, syukurlah jika keadaan nenek Galih memang sudah lebih baik dari sebelumnya, Abima turut senang sekali, semoga wanita paruh baya itu bisa segera sehat kembali seperti semula.
Sekarang Abima sudah bisa mengistirahatkan dirinya dari semua rasa lelah yang ada dan kemudian bangun dengan segar di hari esok lalu bersiap untuk kembali menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar.