Setelah Randu dan Rashi pergi, Kinan juga sudah selesai berpikir tentang hubungan mereka berdua. Sebetulnya gadis itu tidak berniat untuk merasa penasaran, Kinan juga tidak akan bertanya kepada Rashi—tentu saja dia tidak akan melakukan hal itu. Kinan hanya senang saja mendengar interaksi keduanya, sebab Randu terdengar sangat khawatir dengan keadaan sang gadis jika Rashi sampai terkena hujan. Sosok Randu sudah seperti laki-laki di dalam novel impiannya yang seringkali Kinan baca.
Sekarang Kinan berniat masuk ke dalam ruang musik lagi dan menutup pianonya, bersiap untuk kembali. Sepertinya latihan hari ini harus dia sudahi saja, sebab suara deras hujan yang sangat nyaring di luar sana menembus sampai ke ruang musik, jadi Kinan pasti akan sulit mendengar melodi yang dia mainkan jika latihan ini tetap dilanjutkan.
Akan lebih baik jika Kinan berhenti dulu dan melanjutkannya lagi besok, apalagi sekarang juga sudah sore, Kinan sudah terlalu lama bermain hingga tak sadar akan berapa lama waktu telah berjalan dan membuatnya jadi tak fokus dengan kenyataan.
“Deras banget,” gumam kecil Kinan saat dia berbalik sehabis menutup pintu ruang musik.
Langkahnya maju dua kali, kepalanya menengadah untuk melihat mendung di atas sana. Gelap sekali. Kinan suka hujan, tapi dia tidak suka dengan suasana langitnya. Terlalu menyeramkan dan Kinan tak kuasa melihatnya lama-lama.
“Lho, Nak Kinan?”
Kinan menoleh ke arah kiri dan menemukan sosok Ibu Ana bersama dengan Pak Karta, baju mereka berdua sedikit basah di beberapa bagian. Kinan tebak bahwa keduanya baru saja pulang dari suatu tempat dan kebasahan ketika turun dari mobil.
“Hehehe, halo Bapak, Ibu,” sapa Kinan, kemudian menyalimi tangan keduanya secara refleks.
Padahal Pak Karta dan Ibu Ana adalah sosok yang cukup jarang Kinan temui, tapi entah mengapa dia bisa dengan mudah merasa akrab dengan keduanya. Hanya di hari pertama bertemu saja Kinan merasa canggung, tapi semakin ke sini keduanya justru menjadi orang-orang pertama yang dapat membuat Kinan merasa nyaman.
Mungkin karena pembawaan mereka berdua yang terasa sangat hangat dan mampu membuat Kinan merasa aman. Gadis itu jadi merasa seperti berada di rumah bersama dengan kedua orangtuanya, Bapak Karta dan Ibu Ana benar-benar sehangat kedua orangtuanya, maka dari itu Kinan merasa tenang tiap kali berbicara dengan keduanya.
“Kamu ngapain 'toh di luar sini?” tanya Ibu Ana, suaranya terdengar khawatir. “Sekarang lagi hujan, dingin, kamu nggak pakai jaket nanti sakit.” Ternyata benar dia sedang khawatir karena Kinan berada di luar sini ketika sedang hujan.
“Betul itu kata Ibu. Kamu ngapain, Nak?” Bapak Karta ikut menimpali dengan persetujuan dan juga bertanya kepada Kinan.
Kinan menunjuk ruang musik di belakangnya dengan jari telunjuk. “Aku habis latihan tadi, tapi ternyata hujan jadi aku berhenti. Aku baru aja keluar dari ruang musik dan ketemu Bapak sama Ibu di sini.”
“Ya ampun, iya loh Pak, Kinan kan pemain piano ya, Ibu lupa sampean. Tadinya Ibu kebingungan kamu ngapain sampe ada di teras depan kayak gini, Ibu lupa kalo kamu main piano, maaf, ya, Nak.” Ibu Ana menepuk kecil keningnya karena melupakan fakta penting tentang anak asramanya yang satu ini, padahal Kinan juga tidak masalah, sebab faktor umur memang akan mempengaruhi daya ingat seseorang bukan?
“Enggak apa-apa kok, Bu. Aku juga kan masih baru di sini, jadi wajar aja kalo Bapak sama Ibu lupa kalo Kinan itu pianis.” Kinan tersenyum lebar ke arah keduanya, menandakan bahwa dia tidak apa-apa jika mereka berdua lupa. Lagipula tidak ada kewajiban untuk mengingatnya, seiring berjalannya waktu mereka berdua pasti akan hapal dengan kebiasaan Kinan dan tidak akan lupa lagi seperti ini.
“Ngomong-ngomong Bapak sama Ibu darimana?” Kini berbalik, Kinan yang bertanya kepada mereka.
“Habis dari pasar, Nak. Itu bahan makanan di dapur kan sudah pada habis, jadi Bapak sama Ibu tadi ke pasar buat isi dapur lagi yang udah kosong,” jawab sang Ibu sembari menjelaskan.
Kinan akhirnya hanya mangut-mangut saja pertanda dia mengerti.
“Ini sekarang kamu mau balik ke asrama 'kan, ya?” tanya Pak Karta, dan Kinan langsung mengangguk lagi.
“Bapak sama Ibu mau titip ini dong Nak, tadi kami beli gorengan di pasar, udah dibagi dua buat asrama putri sama asrama putra. Kamu sekalian balik ke asrama boleh tolong bawa ini sekalian? Yang punya asrama putri aja, biar yang putra nanti Bapak yang antar.”
Kinan menerima kantung kresek berisi beberapa aneka gorengan itu dengan senang hati. “Boleh, Pak, biar Kinan aja yang bawa punya asrama putri biar sekalian.”
“Makasih, ya, Nak Kinan. Kalo gitu Ibu sama Bapak pamit dulu masuk ke dalam mau bebersih, kamu juga segera masuk ya, ini anginnya kencang loh nanti kamu masuk angin.” Ibu Ana menepuk pundak Kinan beberapa kali sebelum akhirnya pamit pergi bersama Pak Karta untuk masuk lebih dulu ke dalam asrama.
Ketika melewati dapur, Kinan menoleh sebentar dan menyadari bahwa ruangan itu sudah kosong. Pasti Kak Anjar sudah kembali mengingat bahwa Kinan juga terlalu lama berapa di ruang musik. Tanpa mampir, Kinan lanjut berjalan menuju asrama putri sembari menenteng kantong kresek berisi gorengan pemberian dari Pak Karta dan juga Ibu Ana.
Hanya ada Bintang, Bella dan juga Rashi di asrama karena memang hanya mereka bertiga saja yang baru pulang. Kinan yang melihat itu, selain itu rasanya Kinan tidak menyadari kehadirannya. Kak Rea dan Kak Alicya sepertinya memang belum pulang ke asrama.
Di depan pintu asrama putri, Kinan terdiam cukup lama. Gadis itu tidak peduli dengan rintik-rintik hujan yang memercik kulit tangan dan juga bajunya beberapa kali, taman di depan asrama mereka sudah sangat basah, jika ada hujan angin maka kemungkinan besar sebentar lagi Kinan juga akan mulai kebasahan.
Tapi dia sendiri kebingungan sebelum masuk ke dalam sana.
“Apa yang harus aku lakukan ketika masuk ke dalam? Apakah aku harus mendatangi kamar mereka satu per satu dan berkata bahwa ada gorengan dari Pak Karta dan juga Ibu Ana? Aku rasa tindakan itu terlalu aneh untuk dilakukan, tapi aku tidak ada pilihan lain,” Kinan bermonolog seorang diri di depan pintu sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam.
Begitu sudah berada di dalam asrama, Kinan langsung bertemu dengan Bintang yang sudah duduk nyaman di ruang tv seraya menonton kartun di sana. Hal biasa yang sudah sering Kinan lihat belakangan ini, Bintang memang langganan sekali menonton televisi. Daripada kebanyakan orang yang lebih sibuk dengan ponsel mereka di zaman sekarang, Bintang justru lebih suka duduk tenang seraya menonton beberapa acara kartun yang menurutnya menyenangkan untuk ditonton.
“Apa tuh?!” Kantong kresek di tangan Kinan menyita perhatian Bintang hingga gadis itu menatapinya dengan penuh rasa penasaran.
“Ini tadi gue ketemu Pak Karta sama Bu Ana yang baru pulang dari pasar, terus mereka titipin ini ada gorengan katanya kita disuruh makan bareng-bareng,” jelas Kinan.
“Wuih, gorengan!” Gadis berperawakan tomboy itu langsung loncat dari tempat duduknya seraya merampas kantong kresek dari tangan Kinan sembari tersenyum lebar. “Makasih udah dibawain, Kinan.”
“Iya, sama-sama, Bintang.”
Kinan lantas hendak berjalan pergi dari ruang televisi. “Lho, kok lo pergi? Mau kemana?” protes Bintang cepat yang langsung kebingungan karena melihat Kinan melangkah pergi begitu saja.
“Gue mau panggil Bella sama Rashi? Mereka udah pulang kan?” Kedipan mata Kinan terlihat kebingungan.
“Oh, itu ....” Bintang berjalan cepat mendekat ke arah Kinan. “Enggak usah disamperin, ada satu hal yang bisa langsung lo lakuin biar mereka semua tau.”
“Gimana tuh?”
“Lihat gue, ya,” Bintang memberikan aba-aba. Kemudian gadis itu menatap ke arah jejeran kamar mereka sebelum akhirnya Kinan bisa mendengar teriakan melengking gadis itu yang jujur saja membuatnya langsung terkejut setengah mati. “BELLA! RASHI! INI ADA GORENGAN DARI IBU SAMA BAPAK, KALO MAU TURUN SEKARANG, KALO GAK MAU NANTI DISISAHIN DI TARUH MEJA!”
Tidak lama terdengar suara teriakan lain yang menyahut.
“IH GUE MAU! BENTAR GUE KELUAR!” ini suara Rashi.
“PUNYA GUE TARUH DI MEJA AJA DULU, GUE NGANTUK MAU TIDUR!” Bella menyahut juga setelahnya.
Kinan langsung menatap Bintang yang sekarang masih tersenyum lebar sembaru melihatnya, gadis itu menjentikkan jarinya. “Mudah 'kan caranya?” katanya dengan begitu bangga.
Kinan hanya tertawa kecil sebagai jawabannya, gadis itu kehilangan kata-katanya untuk bisa menjawab dan juga merasa speechless bahwa akan ada tindakan seperti itu di dalam asrama ini. Asrama Kartapati memang beda dari asrama-asrama yang pernah Kinan datangi sebelumnya, bukan hanya asramanya saja tetapi ternyata semua penghuninya juga berbeda.