Dua pasang gema dari langkah kaki terdengar di koridor depan Asrama Kartapati, disusul dengan gelak tawa menyenangkan seolah-olah keduanya sedang membicarakan hal yang sangat lucu hingga tawa itu tidak hilang dari bibir keduanya, para pelaku tersebut adalah Bintang dan Bella yang kebetulan baru saja pulang dari sekolah dan sampai di asrama tepat waktu.
Tawa dan langkah Bintang mendadak berhenti, Bella yang kebingungan juga berhenti dan berbalik untuk menatap temannya tersebut. “Kenapa lo, Bin?” tanyanya kebingungan melihat ekspresi Bintang yang tiba-tiba saja menjadi begitu serius.
“Bell, lo ada dengar sesuatu nggak?”
Mendengar itu Bella langsung cepat-cepat berlari dan mendekat lagi ke arah Bintang. “Ah, lo, mah! Jangan nakutin gue gitu dong, lo kan tahu gue anaknya penakut banget!” ujar gadis itu sudah ketakutan duluan. Di asrama ini, Bella adalah orang yang paling penakut namun juga yang paling sering merekomendasikan film horor ketika sedang ada acara untuk nonton bersama, gadis itu memang aneh sekali.
Bintang mengetuk kepala Bella pelan. “Maksud gue dengar sesuatu tuh bukan menjurut ke horor, Bella! Makanya coba lo diem dulu terus pasang telinga bener-bener, dengarin apa yang gue dengar.”
“Ih, gue takut!” Bella masih merengek ketakutan, jujur saja, gadis itu sepertinya akan menangis sebentar lagi.
“Diam dulu, terus dengarin!” paksa Bintang sekali dengan sengaja menutup mulut Bella menggunakan sebelah tangannya agar gadis itu segera diam dan mendengarkan sesuai dengan perintahnya.
Selama beberapa detik keduanya benar-benar diam hingga hanya terjadi hening di antara mereka, saking heningnya mereka berdua bahkan dapat mendengar suara angin yang berembus cukup kencang karena langit saat ini sedang sangat menggelap dan kemungkinan besar sebentar lagi akan menjatuhkan rintik-rintiknya.
Baru saja Bella ingin berontak dan bicara lagi, sebuah suara alunan piano perlahan terdengar pada kedua gendang telinga mereka. Mulanya hanya sebuah nada yang halus dan terdengar pelan sekali, tapi lama-kelamaan suara itu menjadi lebih bertenaga seolah-olah mengikuti perasaan pemain yang sedang memainkan alat musik tersebut.
Sejenak Bintang dan Bella hanya saling pandang dalam keheningan, berusaha menebak-nebak apakah yang mereka dengar saat ini memang nyata atau tidak, sebab biasanya tidak pernah ada yang memainkan piano itu sesore ini. Jika ada yang memainkannya pula tidak mungkin salah satu anak asrama itu sepandai itu menekan tuts-tuts piano tersebut hingga menciptakan nada yang begitu indah.
“Gimana kalo seandainya yang mainin piano itu hantu?!” Bella tiba-tiba bersuara, masih tidak bisa menghilangkan rasa takut dalam dirinya yang entah mengapa malah semakin menjadi-jadi dan membuatnya merinding sebadan-badan.
“Ini masih sore, hantu masih tidur jam segini, Bell. Job mereka bekerja tuh pada malam hari, kalo berkeliaran jam segini enggak bakalan digaji,” jawab Bintang malah meladeni teman satu asramanya tersebut dengan candaan.
Tetapi sayangnya candaan tersebut tidak bisa mengurangi rasa takut dalam diri Bella dan sialnya rasa takut itu menular juga kepada Bintang perlahan-lahan karena suara alunan piano tersebut tidak mau berhenti hingga saat ini. Padahal Bintang itu adalah orang yang paling berani di asrama putri, tapi mengapa hanya mendengar suara piano saja dia jadi takut?
Bintang menoleh ke arah Bella. “Anak asrama enggak ada yang bisa main sebagus dan sehalus ini sih setahu gue,” ucapnya berusaha berpikir positif dan mencari jawaban.
“Gue juga berpikiran hal yang sama, maka dari itu gue bilang kalo yang mainin pianonya tuh hantu!” Bella masih ngotot saja di tempatnya.
“Coba kita pikirin lagi siapa yang kira-kira berkemungkinan besar bisa mainin piano sebagus ini.”
Kedua gadis itu menghela napas panjang, dengan Bella yang masih sedikit gemetaran karena rasa takutnya. Namun di detik berikutnya kedua gadis itu kontan tersentak dan langsung saling menatap antara satu sama lain, seakan-akan ada sebuah ingatan yang sempat terlupakan dan kini baru saja kembali mereka ingat secara bersamaan.
Dengan begitu ajaib ada satu nama yang kini datang di dalam kepala mereka.
“Sebentar ....” ucap keduanya secara bersamaan.
“Lo pasti mikirin apa yang lagi gue pikirin,” kata Bella sangat jelas, tidak ada gemetar lagi dalam tubuhnya, sebab dia sudah menemukan jawabannya sekarang.
Bintang hanya mengangguk kecil karena gadis itu juga yakin bahwa dirinya memikirkan hal yang sama seperti Bella. “Mending kita samperin aja nggak sih?”
“Oke, ayo kita samperin.”
Kedua gadis itu akhirnya membawa sepasang tungkai mereka untuk berjalan dengan cepat menuju ruang musik yang berada di ujung bagian asrama sebelum belokan menuju asrama putra dan putri. Melodi yang dimainkan masih berbunyi dan kini terdengar lebih nyaring, sebab jarak keduanya dengan ruang musik tersebut sudah menjadi lebih dekat.
Pintu ruang musik tidak tertutup rapat karena Abima yang terakhir mengintip di sana memang sengaja tidak menutupnya dengan rapat agar Kinan tidak mendengar bunyinya. Kali ini Bintang dan Bella yang mendesakkan kepala mereka untuk mengintip dari celah pintu dan mencaritahu siapa dalang dibalik permainan piano yang indah tersebut.
“Wow ... beneran Kinan ternyata, lo juga mikir kalo itu Kinan, ‘kan?” tanya Bintang kepada Bella dengan arah pandang yang masih fokus memperhatikan Kinan di depan sana.
Bella mengangguk kecil. “Sumpah permainannya bagus banget, gue sampai merinding.”
“Sama, gue juga.”
Kedua gadis itu memperhatikan dalam diam sembari sembunyi-sembunyi karena takut memecah fokus dari Kinan. Mereka bisa melihat dengan jelas bahwa kedua mata Kinan sekarang tengah terpejam erat mengikuti melodi yang dihasilkan antara tekanan jari-jarinya dengan tuts piano di bawah sana. Hanya tangan gadis itu saja yang bekerja, tapi dia bisa menghipnotis Bintang dan Bella untuk larut dalam permainan yang telah dirinya ciptakan.
Sesekali kepala Kinan ikut bergerak untuk menyesuaikan dengan melodi yang tengah gadis itu mainkan, terkadang dia hanya diam dan meresapi saja permainannya untuk mendengar apakah ada yang salah atau tidak. Tapi sejauh ini Kinan sangat puas dengan permainannya sendiri, tentu saja semua ini hasil dari latihannya selama ini. Tidak mungkin Kinan bisa langsung memainkannya tanpa miss sedikitpun jika tidak latihan sebelumnya.
Sejak awal lomba itu diumumkan, Kinan bahkan sudah langsung menentukan lagu dan mempelajarinya ketika masih berada di Bandung agar mempermudah semuanya ketika sudah mendekati hari-hari lomba tersebut.
Beberapa menit kemudian, Kinan akhirnya berhasil menyelesaikan lagu yang dia mainkan dengan bunyi tuts terakhir yang dia tekan. Gadis itu perlahan membuka matanya ketika semua suara dari pianonya sudah menghilang seiring waktu. Tapi gadis itu langsung tersentak kaget begitu mendengar suara asing dari arah luar ruangan.
Suara tepukan tangan yang tidak Kinan prediksi akan dia dapatkan dari Bintang dan Bella yang baru saja muncul dari daun pintu ruang musik. Bintang masih bertepuk tangan untuknya dengan penuh semangat seraya mengatakan ‘keren’ berkali-kali. Sedangkan Bella kini tengah mengacungkan kedua jempolnya ke arah Kinan dengan ekspresi terharu yang kentara sekali terlihat di wajahnya.
Kinan mendadak merasa malu, dia tidak pernah terpikirkan bahwa akan ada orang lain yang melihat permainan dari latihannya selain dari kedua orangtua sendiri ataupun guru musiknya. Seperti biasa, Kinan akan selalu lupa dengan keadaan sekitar tiap kali dia sudah menyentuh piano, gadis itu akan kehilangan kesadaran akan kenyataan yang tengah dia pijaki dan menjadi fokus sepenuhnya ke dalam alunan melodi yang dia mainkan dari piano tersebut, kesadarannya seperti tersedot dalam permainannya sendiri, menuntun Kinan untuk menikmati setiap tekanan jarinya pada balok-balok dari piano tersebut, agar Kinan juga bisa lebih merasakan permainannya sendiri dan membuat lagu yang dia mainkan jadi lebih hidup.
Begitulah seni bekerja, terkadang orang-orang yang mencintai seni akan selalu tenggelam dalam kegiatan yang mereka lakukan. Seolah-olah mereka masuk ke dalam seni yang telah mereka ciptakan sendiri. Namun, bukan hanya mereka saja yang menjadi targetnya, tetapi semua orang yang turut menyaksikan juga pasti akan ikut hanyut dalam seni tersebut.
Begitu pula yang baru saja terjadi kepada Bintang dan Bella terhadap permainan Kinan beberapa saat lalu.
“Sumpah, lo keren banget!” Bella mengatakan satu kalimat itu dengan penuh penekanan di setiap katanya, dia ingin Kinan tahu bahwa pujian itu sangat tulus dan juga jujur keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Bintang yang berada di samping gadis itu langsung mengangguk dengan penuh semangat, seakan memberitahu Kinan bahwa apa yang dikatakan oleh Bella barusan adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat.
Kinan yang tadi masih terkejut perlahan mulai bisa merilekskan ekspresinya dan sebuah senyum mulai terpatri di bibir indah gadis itu. “Makasih, Bella, Bintang,” ujarnya bahagia.
Bella mendekat dengan cepat ke arah Kinan, lalu bercerita secara tiba-tiba. “Tahu nggak, Ki. Tadi tuh gue sama Bintang sempat mikir kalo lo itu hantu, soalnya selama ini nggak pernah ada yang bisa mainin piano sore-sore dengan permainan sebagus itu. Kita juga lupa kalo lo bisa main piano, tapi setelah beberapa waktu mikir gue sama Bintang langsung ingat kalo lo itu pianis dan bener aja ketika kita berdua cek, ternyata memang lo yang lagi mainin pianonya.”
Wajah Bella tiba-tiba saja berubah menjadi dipenuhi dengan raut penyesalan. “Sorry, karena gue udah anggap lo hantu, padahal maksud gue nggak kayak gitu. Masa orang secantik lo jadi hantu sih, nggak mungkin banget lah.”
Kinan tertawa saja mendengar itu, lucu sekali bisa mendengarkan cerita Bella barusan. “Enggak apa-apa, jangan minta maaf, Bell. Ini juga pertama kalinya gue mainin piano ini kok, jadi kalian pasti masih ngerasa asing banget. Harusnya gue yang minta maaf karena udah bikin takut.”
“Sekarang, karena udah tahu kalo lo yang bakalan sering mainin pianonya, kita-kita enggak bakalan takut lagi sih. Malah bakalan seneng karena bisa dikasih pertunjukkan setiap harinya. Jujur aja permainan lo bagus banget, Kinan!” Kali ini Bintang yang bersuara, gadis itu juga tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memberikan pujian tulus kepada permainan Kinan yang sudah membuatnya terpana beberapa menit lalu.
“Syukurlah kalo kalian suka, gue nggak perlu takut mainin lagi kalo gitu. Bisa aja ada yang merasa terganggu sama permainan gue nantinya.”
“Enggak! Gue yakin pasti enggak bakalan ada yang terganggu sama permainan lo nantinya,” jawab Bella cepat.
Kinan benar-benar bersyukur jika seandainya dua gadis itu menyukai permainannya, dia tidak perlu takut juga jika seandainya anak-anak asrama yang lain mendengar karena kedua gadis tersebut sudah memberitahu Kinan bahwa tidak akan ada yang mempermasalahkan permainannya. Lagipula, Kinan juga sudah memiliki jadwal latihannya sendiri, dia cukup tahu diri untuk tidak bermain di malam hari ataupun waktu-waktu tertentu yang berkemungkinan besar dapat mengganggu yang lainnya.