56. Permintaan Anjar

1528 Kata
Abima menghentikan langkah kakinya begitu menemukan sebuah punggung familiar yang tengah duduk di salah satu kursi dapur dan tengah membelakanginya. Dia adalah Anjar yang tentu belum beranjak dari kursi itu selama berjam-jam lamanya, laki-laki tertua itu sangat betah berada di sana sembari mengerjakan skripsinya yang untung saja bertambah lumayan banyak di hari ini. Abima pun melangkah mendekat, mengurungkan niatnya untuk segera masuk ke asrama putra dan memilih untuk mengambil tempat duduk di sebelah Anjar dan langsung mengambil cemilan yang kebetulan sedang ada di genggaman laki-laki itu. “Eh, kurang ajar lo bocah,” komentar Anjar setengah kesal dan setengah kaget begitu ada seseorang yang mencuri cemilan dari tangannya, dia kira itu Rea karena biasanya memang gadis itu yang seringkali menjahilinya dengan cara seperti ini. Tapi begitu berbalik, laki-laki yang lebih tua itu justru menemukan sosok Abima yang tengah nyengir lebar ke arahnya tanpa dosa sembari memakan cemilan yang baru saja dia curi dari tangan Anjar tanpa mengatakan apa-apa. “Gue kira Rea,” ujar Anjar sembari mendengus. “Kenapa, Kak? Apa lo lebih berharap kalo yang dateng sekarang itu Kak Rea, bukannya gue?” tanya Abima, lebih tepatnya menggoda Anjar secara terang-terangan. Sudah dibilang bukan bahwa dua laki-laki ini adalah penghuni asrama yang paling lama mengenal, mereka juga sudah banyak tahu antara satu sama lain seakan-akan tidak ada lagi rahasia yang keduanya sembunyikan antara satu sama lain, saking dekatnya mereka berdua. Jadi, sudah bisa disimpulkan bahwa sebenarnya Abima juga sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara Anjar dan juga Rea. Siapa lagi seseorang yang akan Anjar datangi hanya untuk bercerita mengenai gadis itu? Tentu saja Abima akan menjadi satu-satunya yang dia datangi untuk bercerita, mengeluh ataupun meminta bantuan dan juga saran. Anjar menyukai Oreana, itu fakta. Lalu fakta lainnya adalah hanya Abima yang mengetahui rahasia tersebut. Mungkin bagi anak-anak lainnya, pertengkaran Anjar dan Rea yang terjadi setiap hari itu memang sudah menjadi kebiasaan yang tidak akan pernah hilang untuk dapat meramaikan kondisi asrama, sebab di antara semua orang yang ada di asrama itu memang hanya mereka berdualah yang paling berisik. Padahal fakta sebenarnya adalah memang Anjar saja yang suka mengganggu Rea dan laki-laki itu juga suka diganggu oleh Rea, karena bagi Anjar, Rea akan selalu menjadi lucu tiap kali marah karena candaannya atau ketika dia sedang mengganggu Anjar. Jatuh cinta itu memang bisa membuat buta seseorang ya, buktinya sekarang Anjar sudah buta sekali akan Rea dan dia benar-benar jatuh cinta terhadap gadis itu secara nyata. Entah sebenarnya ada yang menyadari atau tidak tentang perasaannya ini, yang pasti hanya Abima saja yang tahu dan sudah Anjar ceritakan secara langsung. Namun jika seandainya memang ada yang menyadari, maka Anjar juga tidak akan masalah, mungkin orang-orang tersebut terlalu peka hingga bisa dengan mudah membaca isi hatinya seberusaha apa pun Anjar menutupinya. “Lo jangan gitu dong, Bim. Nanti kalo ada yang dengar gimana?!” Anjar berujar panik, takut ada yang menguping pembicaraan mereka saat ini. Abima tertawa kecil, kakaknya yang satu ini tampang dan kelakuannya saja yang menyebalkan, padahal sifat aslinya dia itu mudah panik dan juga takut jika perasaannya terungkap oleh orang lain. “Tenang, belum ada yang pulang jam segini, palingan pada sampai asrama sepuluh menitan lagi.” “Tapi, lo kok udah pulang?” “Guru gue tadi keluar lebih cepat, Kak. Jadi, anak-anak di kelas gue pada bisa pulang langsung pas bel bunyi, gue sih buru-buru pulang karena langit udah kelihatan mendung banget, daripada kehujanan di jalan atau kejebak hujan di sekolah mending gue langsung pulang aja buru-buru, untung nggak keujanan,” jelas Abima sangat lengkap. “Bagus deh kalo gitu, mending ngadem aja di asrama daripada kelayapan di luar. Dika tuh yang sering banget punya kegiatan di luar rumah, Tama juga sih cuma kan kalo Tama pasti selalu ada di wilayah kampusnya atau tempat kerjanya.” Abima mengangguk membenarkan. “Kalo Dika juga sibuk karena kegiatannya memang banyak, Kak, bukan karena dia mau main aja sih setahu gue. Kalo Kak Tama tuh, jadwalnya beneran padet banget ya? Kayaknya akhir-akhir ini dia beneran yang sibuk banget gitu gue jadi kasihan lihatnya tiap pulang lemes banget.” “Dia lagi di masa-masa ujian, Bim. Terus harus tetap kerja juga, jadi belajarnya harus ditambah gitu. Kelihatan sih kalo itu anak pusing banget, nanti deh gue coba ajakin ke luar sekalian sama yang lain biar anaknya refreshing bentar. Gue juga kasihan, dia kusut banget dari beberapa hari lalu.” Abima menyomot lagi cemilan yang ada di toples. Isi toples yang tadinya penuh itu sekarang hanya tersisa seperempat bagian saja, siapa lagi yang menghabiskannya jika bukan Anjar? Tapi tenang saja, Anjar termasuk tipe orang yang tahu diri kok, dia tahu bahwa bukan hanya dirinya saja yang menyukai cemilan itu, jadi ketika cemilannya habis maka Anjar akan membeli yang baru atau memberikan uang kepada seseorang lalu meminta tolong untuk membelikannya. Malah Anjar yang paling sering menyetok cemilan di asrama ini untuk semua orang, bukan hanya di dapur utama saja, Anjar juga sering menyetok cemilan khusus untuk asrama putra. Jika asrama putri memiliki Alicya yang tentu akan sering sekali mentraktir penghuninya dengan makanan-makanan enak, maka asrama putra juga memiliki Anjar yang paling sering berbagi sedekah kepada para penghuninya yang lain. Maklum saja, keduanya sama-sama berasal dari keluarga berada dan memiliki pendapatan yang lebih banyak daripada yang lainnya, jadi wajar saja jika mereka berdua yang lebih sering mengeluarkan uang untuk hal-hal semacam itu. Tapi, baik Anjar maupun Alicya tidak pernah protes dan mengeluh jika mereka lagi dan mereka lagi yang mengeluarkan uang, keduanya justru senang-senang saja dan tidak merasa keberatan sama sekali. Seluruh anak asrama sudah seperti keluarga dan adik-adik mereka sendiri, jadi tidak ada salahnya untuk berbagi antara sesama saudara bukan? “Ngomong-ngomong, Bim, lo ada ketemu Kinan nggak tadi?” Pertanyaan tiba-tiba Anjar membuat sebelah alis Abima terangkat tinggi. “Kinan?”— ‘Kenapa Kak Anjar tiba-tiba tanyain Kinan?’ “Iya, Kinan. Tadi sih terakhir pamit ke gue mau ke ruang musik, tapi itu anak nggak balik-balik, gue takut aja kalo sebenernya dia kabur dari asrama karena takut sama gue karena udah gue ajakin ngobrol,” ujar Anjar sambil tertawa, tentu saja dia bercanda. Sebenarnya juga Anjar sudah tahu bahwa Kinan masih di ruang musik, karena permainan gadis itu terdengar sampai ke dapur, sebab jarang ruang musik dengan dapur memang tidak sejauh itu. Tapi, laki-laki itu hanya ingin memastikan saja, sebab Abima pasti melewati ruang itu juga dan ada suatu hal lain yang ingin Anjar bicarakan dengan Abima mengenai gadis itu. “Dia masih ada di ruang musik kok, tadi gue sempat dengar permainannya bentar dan ternyata Kinan emang jago, gue aja terpukau sama permainannya,” Abima memberitahu dengan penuh semangat, dia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa permainan Kinan memang sebagus itu. “Kalo gitu ajakin kenalan yang bener dong, ngobrol juga sering-sering. Dia punya minat di bidang yang sama kayak lo tuh, Bim. Lo juga dulu sempat belajar piano ‘kan? Mungkin bisa nyambung ngobrol sama Kinan.” “Gue tahu lo sebenernya punya tujuan lain ngomong ini ke gue, kasih tahu aja rencana lo apa?” tuding Abima langsung tanpa basa-basi lagi, jika Anjar sudah mengatakan hal semacam ini, biasanya ada rencana yang sedang bersemayam di kepalanya saat ini dan Abima menjadi target untuk dijadikan tumbal dalam rencana tersebut. Anjar hanya terkekeh, tidak menyangka bahwa Abima sangat amat mengenalnya dan langsung tahu bahwa dia memiliki niat lain. Tapi tenang saja, niat Anjar baik kok, dia tidak mungkin menjatuhkan adik-adiknya dalam rencana yang salah. “Gue perhatiin Kinan itu agak sulit buat dekat sama orang baru, kebetulan dia juga sekarang home schooling dan nggak pernah bener-bener punya temen dekat. Gue pingin aja buat dia jadi bisa berbaur sama kita-kita, tapi gue tahu hal itu nggak akan mudah dilakuin mengingat bahwa Kinan sulit buka obrolan lebih dulu. “Jadi, gue kepikiran kalo salah satu dari kita itu coba deketin dia dulu dan ngebuat dia jadi bisa ngobrol nyaman. Karena lewat satu orang tersebut biasanya akan menyambung dan nantinya Kinan jadi bisa dekat juga sama yang lain. Siklusnya biasanya juga gitu kan tiap kita kedatangan orang baru. “Berhubung Kinan itu punya niat yang besar di bidang seni, gue jadi kepikiran kalo orang yang berusaha buat dekat sama dia duluan itu antara lo sama Dika, karena cuma kalian berdua yang punya minat yang sama kayak Kinan. Tadinya gue juga mau masukin Tarisa, tapi itu anak lagi sibuk banget jadi gue nggak mau ganggu. Cuma masalahnya di sini Dika juga kelihatan lagi sibuk banget, dia juga jarang di asrama kayak apa yang lo bilang kalo Dika punya banyak kegiatan. “Jadi, pilihan terakhir gue cuma lo, Abima, karena lo yang paling banyak waktu dan selalu bisa gue andalkan. Jadi, apa lo mau menerima permintaan gue untuk coba dekat sama Kinan duluan dan coba ajak dia buat bisa berbaur sama yang lain?” Abima tahu bahwa niat Anjar adalah sesuatu hal yang tulus untuk dilakukan, sejak dulu juga mereka selalu melakukan cara ini untuk menarik para penghuni baru untuk menjadi dekat dengan yang lain. Kasus terakhir adalah Kak Tara dan waktu itu Kak Anjar sendiri yang mencoba mendekatinya. Ini kali pertama bagi Abima untuk melakukannya, maka dari itu dia ragu, haruskah Abima menerima permintaan Anjar atau justru mengusulkan orang lain saja untuk melakukannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN