Jika ada yang bertanya seperti apa keseharian Abima selama dua tahun ini tinggal di Asrama Kartapati? Abima pasti akan menjawab dengan lugas bahwa kesehariannya tetap berjalan biasa saja, tapi selalu terasa menyenangkan karena dia menjalankan keseharian itu bersama dengan orang-orang yang dia sayangi.
Siapa itu? Tentu saja seluruh penghuni asramanya, pun dengan para pemiliknya.
Ketika secara tiba-tiba dia merasa rindu dengan kedua orangtuanya, kadang kala ada salah satu dari penghuni asrama yang mengajak untuk pergi keluar dan menikmati indahnya dunia luar hanya untuk menghibur Abima, padahal Abima tidak mengatakan apa pun, namun semuanya terasa mengalir begitu saja seolah-olah para penghuni itu memang bisa membaca isi hatinya.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah salah satu dari penghuni asrama putra memang sangat peka terhadap kondisi hati Abima, seseorang itu adalah Anjar. Anjar adalah penghuni utama yang juga menjadi orang yang paling lama mengenal Abima, pun begitu sebaliknya.
Karena saking lamanya mengenal, Anjar jadi paham bagaimana kondisi hati adiknya itu hanya dengan melihat wajahnya saja. Anjar bisa tahu kapan Abima merasa rindu dengan kedua orangtuanya, kapan dia merasa tidak mood entah karena masalah yang datang dari luar ataupun dalam asrama, kapan dia sedang merasa begitu excited karena sesuatu, dan juga hal-hal kecil lain yang bisa langsung Anjar pahami hanya dalam sekali lihat saja.
Entah Abima yang memang terlalu mudah dibaca oleh Anjar, atau justru Anjar yang memang sangat peka terhadap hal semacam itu. Tapi yang pasti, Anjar banyak sekali membantu Abima tanpa harus dia katakan, sebab laki-laki itu sering menjadi si pengajak paling utama ketika Abima sedang dalam kondisi hati yang buruk.
Namun, Abima tidak pernah menyadarinya. Tapi di sisi lain Anjar juga tidak butuh pengakuan, dia melakukan semua itu memang atas dasar keinginannya sendiri dan bukan paksaan atau karena ingin diakui saja bahwa dia memang peka terhadap orang lain.
Tapi, bukan hanya Anjar saja yang sering membantu Abima. Abima pun sering berada di sisi kakaknya itu ketika dia sedang membutuhkan bantuan. Keinginan Anjar itu tidak pernah muluk-muluk, dia hanya ingin sering didengar ketika butuh untuk mengutarakan masalahnya—yang mana masalah itu pasti tidak akan pernah jauh-jauh dari keluarga ataupun perkuliahannya.
Jika Anjar sudah butuh teman bercerita maka pasti akan selalu ada Abima yang menjadi pendengar setianya, yang selalu mau mendengarkan walaupun Anjar akan mengajaknya bicara berjam-jam tanpa mengeluh sedikitpun. Abima tidak pernah protes walaupun Anjar banyak mengambil waktunya, dia malah senang-senang saja jika bisa membantu walaupun hanya dengan mendengarkan saja.
Terkadang Anjar juga secara random meminta jemputan dari anak-anak penghuni asrama putra ketika dia sedang berada di luar, sebab laki-laki itu adalah tipe orang yang sangat malas membawa kendaraannya sendiri padahal dia punya mobil yang terparkir di asrama. Tapi laki-laki yang lebih tua itu justru lebih senang menebeng daripada membawa kendaraannya sendiri, alhasil penghuni yang lain sering menjemputnya ketika secara tiba-tiba dia menghubungi.
“Besok-besok bawa kendaraan sendiri deh, Kak. Lo mah tiap hari juga nyusahin mulu minta jemput padahal gue baru mau tidur siang, lo tuh punya mobil dipake dong buat nyetir sendiri, percuma punya mobil kalo dianggurin doang di parkiran asrama,” komentar Randu di suatu hari, ketika dia menjadi seseorang yang mendapatkan chat dari Anjar untuk meminta jemputan.
Pada saat itu Anjar hanya menghela napas panjang saja sebelum akhirnya melontarkan jawaban dalam bentuk dua pilihan kepada Randu. “Lo pilih gue isiin bensin full apa gue pinjemin mobil gue setiap hari? Tapi dengan catatan lo harus selalu mau tiap gue minta jemput.”
“Oh, jelas gue bakalan pilih mobil lo! Oke mobil lo gue bawa tiap hari dan kalo lo butuh jemputan tinggal kabarin gue aja!” jawaban Randu datang dalam penuh semangat juga dengan binar di kedua matanya.
Tentu saja Randu akan memilih mobil Anjar karena kapan lagi dia dikasih pinjam mobil gratis buat dipake sehari-hari, bensin juga dari Anjar dan Randu hanya perlu membayar dengan jemputan tiap kali laki-laki itu membutuhkannya. Jadi sudah pasti sangat menguntungkan untuk Randu yang akan pamer bahwa dia bisa bawa mobil ke sekolah.
Tapi, pada akhirnya Randu tidak benar-benar membawa mobil Anjar karena katanya dia takut akan membuat mobil itu lecet dan ganti ruginya pasti akan lebih mahal. Randu lebih memilih untuk hidup tenang dengan tidak mengganggu barang-barang orang lain. Sebagai gantinya, Anjar akhirnya mengisikan full bensin motor adiknya itu.
Lalu untuk urusan jemput-menjemput?
Hal itu masih sering terjadi hingga hari ini dan bukan hanya Randu saja yang sering menjadi korban, terkadang Abima yang justru lebih sering menjemput laki-laki itu karena Abima memang bukan tipe penolak kecuali dia memang ada jadwal yang penting di hari itu. Maka dari itu Anjar juga jadi lebih sering meminta jemputan kepada Abima, karena katanya dibandingkan dengan yang lain ... Abima adalah orang yang paling sabar menghadapinya.
Adiknya yang satu itu tidak pernah marah-marah tiap kali Anjar meminta jemput, jika sedang sibuk maka Abima akan berbicara dengan bahasa yang baik bukannya memaki seperti yang lainnya. Dalam asrama putra itu yang paling galak adalah Tara, jadi sudah bisa ditebak bagaimana reaksi Tara tiap kali Anjar meminta jemput kepadanya?
Tentu saja laki-laki itu akan langsung marah besar.
Begitulah keinginan-keinginan kecil Anjar yang sangat mudah dipenuhi. Ada satu lagi hal yang sering dia lakukan, yaitu mengajak random anak-anak asrama untuk berkumpul di luar, tapi untuk yang satu ini seluruh anak asrama kompak mau ikut karena biasanya akan ada Anjar atau Alicya yang akan mentraktir mereka, jadi dompet anak pelajar seperti kebanyakan penghuni lainnya tidak akan menangis melihat banyaknya makanan yang telah dipesan.
Akan terasa sangat menyenangkan jika kita bisa memiliki seseorang yang sangat mengerti kita luar dan dalam, tidak perlu menjelaskan banyak hal maka seseorang tersebut akan langsung bisa mengerti apa yang sedang kita alami dan terkadang mereka juga tidak pernah menuntut untuk meminta diceritakan. Alih-alih melakukan itu, mereka justru akan memastikan lebih dulu untuk membuat kita merasa lebih baik, mengajak kita untuk menghabiskan waktu bersama agar kita bisa lupa dengan masalah yang sedang dihadapi, barulah setelah itu mereka memperbolehkan kita bercerita jika memang kita mau melakukannya.
Itupun tidak pernah mendapatkan paksaan secara nyata. Jika memang ingin, maka bersuaralah. Tapi jika tidak juga tidak masalah, karena tidak ada yang akan memaksa kita hanya untuk bercerita saja.
Mungkin itulah yang dirasakan oleh kakak-beradik ini—Anjar dan juga Abima yang sudah saling mengenal lama dan paling mengerti antara satu sama lain.