Kinan tidak langsung duduk di kursi khusus piano begitu dia sampai di ruang musik, gadis itu justru berjalan-jalan sebentar untuk melihat ruang musik ini pada sisi yang lain. Ada beberapa alat musik lain yang Kinan tahu namanya tapi tidak bisa dia mainkan karena fokusnya hanya kepada piano saja, tapi hari itu Kinan menyentuh alat-alat tersebut dengan tangannya dan mencoba sedikit untuk memainkannya secara iseng.
Waktu Ibu Ana memperkenalkan ruangan ini kepadanya, Kinan belum sepenuhnya melihat-lihat, jadi sebelum memulai untuk bermain piano dia memilih untuk berkeliling lebih dulu dan menikmati kesunyian di dalam ruangan ini.
Kinan menyadari bahwa asrama hari ini terlihat begitu sepi, dia hanya melihat Anjar saja hari ini dan belum bertemu dengan Ibu Ana ataupun Pak Karta, mungkinkah keduanya sedang memiliki urusan di luar sehingga Kinan tidak melihat mereka dan hanya menyisakan dirinya dan juga Anjar saja di dalam asrama ini?
“Padahal baru beberapa hari di sini, tapi udah kangen aja sama mama papa.” Kinan menghela napas panjang, memandangi kontak mamanya yang sedari tadi memang sudah dia buka di ponselnya, tapi merasa ragu untuk menghubungi sebab jam-jam seperti ini pasti mamanya sedang sibuk bekerja dan Kinan tidak mau mengganggunya.
Merasa tak ada lagi hal yang bisa dilakukan, akhirnya Kinan beranjak mendekat ke arah piano yang memang ingin dia mainkan. Kinan kehabisan ide untuk menghabiskan waktu, jadi pilihan terakhir yang bisa dia lakukan hanyalah berlatih saja sampai dia lupa akan waktu yang sedang berjalan.
“Mari kita coba pianonya.” Jari-jemari Kinan menekan kecil tuts-tuts piano tersebut hingga menghasilkan bunyi yang nyaring namun terdengar indah, Kinan sedang mencoba piano tersebut dengan memainkan beberapa lagu pendek yang sering dia mainkan hanya untuk pemanasan saja.
“Bagus juga ternyata, berarti piano ini sering dibersihkan dan tidak didiamkan selama bertahun-tahun,” komentar Kinan menyadari bagaimana kondisi piano milik Tarisa tersebut.
Kinan bersyukur karena setidaknya dia bisa mendapatkan semua hal yang dirinya butuhkan di asrama ini, belum lagi jarak antara asrama dengan rumah guru les piano dan juga tempat lombanya nanti tergolong dekat, jadi Kinan tidak akan merasa sulit jika ingin pergi kemana-mana. Bermodalkan ojek online, dia pasti akan bisa langsung sampai ke tempat tujuannya.
Hanya tiga bulan saja, dia akan tinggal di sini selama itu saja hingga akhirnya kembali pulang ke tanah kelahiran karena sudah tidak ada lagi hal yang harus dia lakukan di sini.
Kinan memejamkan matanya, meletakkan kedua tangannya di atas tuts piano tersebut dan pada detik berikutnya gadis itu sudah memainkan satu buah musik indah yang membuat siapa pun yang lewat pasti akan merasa penasaran dan memilih untuk mengintip siapa gerakan yang sedang memainkan piano tersebut.
***
Sore hari di awal bulan Oktober ini terasa begitu dingin, bahkan sekarang tengah disambut oleh hujan dan awan kumulus nimbus pekat yang memeluk langit dengan kuat. Hembusan angin semilir menambah suhu kian meminus dan menusuk tulang. Daun-daun kering saling bergesekan, membuat suara khas yang terkesan menyeramkan. Abima tidak memperkirakan cuaca akan seburuk ini, seketika dirinya menyesal karena sudah meminjamkan jaketnya kepada Galih dan sekarang dia hanya mengenakan seragam sekolahnya yang cukup tipis dan bahkan tidak cukup untuk dapat menghangatkan tubuhnya.
Tadi ketika pulang sekolah Galih memang meminjam jaketnya dengan alasan bahwa dia ingin terlihat keren di tongkrongannya seperti biasa, sahabatnya itu lupa membawa jaketnya sendiri sehingga jaket milik Abima-lah yang pada akhirnya dia pinjam.
Sebenarnya Abima tidak mau meminjamkan jaket itu, namun karena tahu bahwa dengan sifatnya Galih tidak akan berhenti meminta sampai Abima mau benar-benar memberikan, maka dari itu Abima langsung mengalah saja daripada harus mendengar rengekan panjang Galih yang tidak akan ada habisnya.
Untung saja laki-laki itu baru saja sampai di asrama tempatnya tinggal, sehingga Abima tidak perlu kedinginan sepanjang perjalanan, sekarang dia hanya harus cepat-cepat masuk ke dalam asrama dan mungkin akan langsung merebahkan diri sesampainya di kamar.
Abima baru saja memarkirkan motor kesayangannya dan sekarang berjalan cepat menuju pintu utama asrama sembari memeluk dirinya sendiri. Sesekali mendongak hanya untuk melihat langit yang sudah didominasi oleh kegelapan.
“Dingin banget,” gumam Abima selagi terus berjalan serta menggesekkan kedua telapak tangannya untuk mencipta kehangatan.
Baru saja dirinya ingin berbelok di koridor utama untuk menuju ke asrama putra, telinga Abima lebih dulu mendengar lantunan musik klasik Fur Elise dari Beethoven. Dentingan tuts piano terdengar lembut namun juga bertenaga. Sangat lembut dan juga berperasaan. Kesan lagu yang misterius dan tersembunyi masih terasa pada lantunan nadanya. Abima mencari sumber suara yang ternyata berasal dari salah satu ruang di sudut koridor yang Abima ketahui sebagai ruang musik milik asramanya. Abima yang sedikit mengerti tentang piano pun berniat melihat siapakah pianis hebat yang bersembunyi di dalam ruangan itu.
Setau Abima tidak ada satupun anak asrama yang bisa bermain piano sehebat ini. Bisa saja itu Tarisa, tapi Abima ingat sekali bahwa gadis kecil itu pernah mengatakan dia hanya bisa memainkan lagu-lagu normal saja yang memang kebanyakan orang tahu, namun lagu yang baru saja Abima dengar merupakan salah satu yang tersulit untuk dimainkan untuk orang seperti Tarisa.
Kemungkinan besar sih Dika, tapi tidak mungkin juga jika Dika bisa bermain sehebat ini, sebab laki-laki itu hanya hebat dalam memainkan gitar dan juga drum saja.
Akhirnya Abima membuka pintu untuk memastikan sendiri siapakah yang ada di dalam sana. Ketika pintu terbuka Abima terkejut begitu melihat Kinan yang duduk di sana, bagaimana Abima bisa lupa bahwa asramanya kedatangan seorang penghuni baru dari bagian putri yang katanya adalah seorang pianis hebat? Padahal mereka baru saja bertemu pagi tadi—walaupun nyatanya tidak terjadi sebuah interaksi ataupun obrolan kecil yang dapat mencairkan suasana sebab Abima langsung pergi begitu saja karena merasa canggung, tapi sekarang Abima lupa bahwa Kinan merupakan anak baru di asrama ini.
Dari daun pintu Abima bisa melihat jelas wajah gadis itu karena posisi duduk si pemain piano memang menghadap ke arah pintu. Tapi sepertinya Kinan tidak menyadari sama sekali bahwa sekarang ada Abima yang memperhatikannya, sebab mata gadis itu terpejam erat selagi jari-jarinya bermain lincah menekan setiap tuts piano hingga melantunkan nada-nada yang indah.
Syukurlah Kinan tidak menyadari kehadirannya, karena Abima juga tidak berencana beranjak pergi hingga permainan gadis itu selesai. Dia ingin mendengar keseluruhan permainan Kinan yang benar-benar terdengar mengagumkan, hanya sekali dengar seperti ini saja Abima sudah bisa mengatakan bahwa Kinan adalah seorang pianis yang hebat, dari ekspresinya Abima juga bisa menyadari bahwa gadis itu sangat mendalami permainannya, Kinan jatuh dalam permainannya sendiri dan perasaan dalam permainan itu bisa sampai langsung kepada Abima secara jelas.
Lima menit kemudian lantunan nada itu terhenti, pertanda bahwa gadis itu sudah menyelesaikan permainannya. Kinan merenggangkan jari-jarinya, menepuk-nepuk bahunya yang terasa sedikit pegal dan setelahnya mengambil botol minum di sisi kanan piano lalu meminumnya hingga bersisa setengah. Dan Abima masih di sana—di balik pintu ruang musik sambil menyaksikan semua hal yang Kinan lakukan.
Abima kian bimbang karena Kinan benar-benar tak menyadari hadirnya padahal dia sudah sengaja berdiri lebih lama di daun pintu itu. Sejujurnya Abima ingin sekali bertepuk tangan sekarang, lalu masuk ke ruang musik dan memuji permainan gadis itu namun rasanya tidak mungkin karena dia tidak dekat dengan Kinan, mereka bahkan tak pernah mengobrol dengan benar sejak kepindahan Kinan beberapa hari lalu.
Abima masih merasa sangat canggung dengan gadis itu, dan pasti Kinan juga merasakan hal yang sama terhadapnya.
Abima masih memperhatikan Kinan yang sedang bersiap untuk kembali memainkan piano, ketika tuts piano mulai gadis itu tekan Abima akhirnya mengambil pilihan untuk keluar dan menutup pintu ruang musik dengan pelan agar tak mengganggu Kinan di dalam sana.
Saat ini Abima tidak memiliki cukup nyali hanya untuk sekadar menyapanya. “Mungkin lain kali,” gumamnya pelan sembari tersenyum tipis. Akhirnya, kedua tungkainya kembali melangkah untuk menjauhi ruang musik.
Lain kali.
Abima berjanji lain kali akan berani menyapa gadis itu lebih dulu.